Koroh natiik Maria

The religion of Christian has been came in Amarasi. In the beginning, people in Amarasi had ethno-religion called re’u. The Portuguese brought the catholic and Holland brought protestant. When the Holland came in Timor, the Portuguese had been there. Times, both of them wared. In that time Amarasi’s king built a friendship with Portuguese, so the Holland, war not only with the Portuguese but Amarasi too. In the same time the society had been catholic because the influence from the Portuguese. Finally, Amarasi and Portuguese losed in the Penfui war. The king of Amarasi put down the catholic and took up the protestant, because the Holland pushed. So, the society called koroh natiik maria and they drawed in their traditional clothes. Nowadays, the society know the koroh natiik maria is a kind of symbol to their clothes that they called tais. Koroh, is the symbol of the king and kingdom, and maria is the symbol of catholic. This paper used history approach with library study.


Dalam kehidupan manusia, perlambangan dipakai untuk menginformasikan sesuatu secara tersirat (tersembunyi). Perlambangan yang tersembunyi ini digambar atau diukir pada berbagai media, seperti batu, kayu, di atas lembaran kain, bahkan lambang-lambang itu dapat ditera pada tubuh manusia, tubuh ternak piaraan, pada dinding gua dan lain-lain.
Sejarah mengisahkan dan menginformasikan bahwa bangsa Mesir Kuno sebagai satu bangsa yang kaya akan khazanah perlambangan. Mereka menggambar berbagai hal, dari kehidupan bertani, bahkan berpemerintahan pun digambar, sehingga kemudian orang harus mencari makna di balik lambang itu untuk menemukan informasinya. Hal ini dapat dipahami sebagai bahasa simbol, karena antar sesama manusia yang menggunakan bahasa yang sama maka mudah untuk saling mengerti, sedangkan dengan sesama manusia yang berbeda bahasa orang menggunakan simbol.
Simbol bukan saja dilakukan oleh bangsa Mesir Kuno, bangsa Indonesia yang beragam suku bangsa, bahasa, mendiami ribuan pulau dengan keragaman kebiasaan hingga budayanya, masing-masing mempunyai cara untuk menyampaikan informasi tertentu. Pada batu-batu nisan ditulisi dengan bahasan-bahasa tertentu yang hanya dimengerti oleh orang pada zaman itu. Pada zaman modern orang harus mempelajarinya untuk menemukan makna dalam tulisan (lambang/simbol) itu. Tidaklah mengherankan bila hal itu terjadi, karena sebagian suku bangsa di Indonesia mengenal aksara dalam bahasa setempat, sedangkan sebagian lainnya belum mengenal aksara, sehingga untuk menginformasikan sesuatu mereka menggunakan perlambangan.
Dalam budaya masyarakat suku Timor (atoni’ pah meto’) mereka menggunakan tanda (marak/malak) pada ternak sapi untuk menginformasikan tentang pemiliknya. Pada marga tertentu terutama di kalangan kaum ningrat, mereka mempunyai tanda (marak/malak) tertentu yang memberi tanda dan informasi kepada khalayak tentang siapa mereka. Simbol/tanda dalam hal ini sebagai perlambangan yang diperkanalkan kepada khalayak, sehingga bila khalayak melihat tanda itu, sekaligus dapat mengetahui secara pasti siapa pemiliknya.
Di Amarasi hal yang demikian juga berlaku. Sekitar 2-3 abad yang lalu, masyarakat menggambar tubuh mereka, yang dalam bahasa setempat disebut runat, (dewasa ini orang mengenal tato) dengan lambang-lambang tertentu. Pada kain-kain tenunan khas di Amarasi juga dibuatkan motif-motif yang sesungguhnya memberikan informasi tentang suatu peristiwa atau fenomena dalam masyarakat. Istilah yang dipakai dan dikenal secara umum di Amarasi adalah ‘kaif. Kaif artinya corak ragam motif yang dipakai sebagai patokan untuk menggambar pada bentangan benang/lungsing bakal tenunan. Masyarakat juga mengenal dengan baik istilah boraf, yang juga bermakna ragam hias, namun dibedakan dalam dua macam yaitu boor-ko’u (boraf besar) dan boor-ana’ (boraf kecil). Boraf besar berisikan kaif-kaif sebagaimana yang dikenal secara luas di bekas swapraja Amarasi adalah kai-ne’e, kai-fanu’, kai-bo’ dan lain-lain. Sedangkan boraf kecil yang diperkenalkan di dalam komunitas masyarakat yang dimaksudkan di atas, menggambarkan motif bunga-bunga pada helaian tenunan. Mereka menyebutkannya boor-ana’.
Koroh natiik maria, diterjemahkan secara harfiah artinya, koroh tendang maria sebagai salah satu corak ragam hias di Amarasi. Dari kaif koroh natiik maria ini yang melambangkan suatu kisah sejarah yang nyata terjadi, ketika Belanda hendak berkuasa di Amarasi. Kisah ini digambar/dilukis dan dilambangkan pada bentangan benang bakal kain, untuk mengenang peristiwa bersejarah itu.

Komentar

  1. Artikel ini sangat bagus kk. Tetapi yang menjadi pertanyaan: Koroh Nattiik Maria itu diligat dari segi apa dalam tenunan itu?

    BalasHapus
  2. yg menyimbolkan tentang maria itu motif yang mana kak?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya