Postingan

Menampilkan postingan dari Januari 12, 2020

Ike-Suti ma Panbuat

Gambar
Ike, Suti ma Panbuat Pengantar Tiga kata pada judul tulisan ini sesungguhnya merupakan ungkapan metafora yang sudah terlupakan, punah ditelan zaman yang makin maju. Semangatnya masih membara di tengah-tengah masyarakat adat Amarasi Raya (Pah Amarasi). Masyarakat adat Amarasi Raya mengubah istilah ini dengan kata berbahasa Melayu Kupang yang sesungguhnya diadopsi dari etnis tetangganya, antaran. Dalam Ike, Suti ma Panbuat , bukanlah semata-mata antaran , lebih dari sekedar antaran ketika sepasang mempelai telah resmi berada dalam ikatan perkawinan/pernikahan sebagai suami-isteri. Antaran, tidak cukup menggambarkan situasi emosional yang terkandung di dalamnya, walau patut dijempoli bahwa dengan mengantar seorang gadis yang telah menjadi isteri seorang pemuda terpilih, maka, keluarga pengantar (keluarga dari gadis) telah mencurahkan isi hati mereka kepada anak gadis tercinta. Mereka melepaskannya dari “gendongan” sehingga ia akan berada di “gendongan” keluarga pihak suamin

A Prayer for the Grimes Family

A Prayer for the Grimes Family by Bible translator Heronimus Bani in the Amarasi language, 15 August 2018 Beta pung do'a Abar-barat Uisneno, Amo'et-Apakaet neno-tunan ma pah-pinan. Au 'baiseun Ho pinam ma kraham, maski au uhiin ma 'naben au tuak ii ka ma'upa ma ma'osa' fa. Mes, au 'pirsai Yesus Kristus nanaib kau he 'paumaak Ko, tua. Au 'eik sukur ma makasi. Ho mfee kau tetus-athoen, hinef ma manoef. Ho mfee nneis neu Ho aan renu'-aan reka' sin, bapa Chuck nok nain in uim je nanan, esan re': in fenai, anah ma aan nanef. Nok ranan naan sin njarin tuaf ameput re' nbain-aetn ok anbin Pah Meto' he Ho Kabin ma Prenat re' nruun ma ntui Je neik Uab Yunani ma Uab Ibrani nabaint Ee neu Uab Meto', ma uab bian antein'. Mes, neno ia, hai mnuuk, Usi'. Tuaf ma fatuf asenu'-aseka' nbi mepu ia, re' nmanu-'naak mepu ia nbi kantoor, naiti tfeka' ma nahake'

Kantong Kenangan di Kantongku

Gambar
Kantong Kenangan di Kantongku beta pung dompet, au dompet Aku sudah lupa sejak kapan kau ada di tanganku. Lalu sejak saat itu juga kau langsung masuk ke kantong di bokongku. Kau masuk-keluar, lagi dan lagi dan lagi. Berbilang tahun ruang-ruang kecilmu kuisi dengan recehan. Kau tak punya ocehan sebab tugasmu menelan sementara saja di ruang-ruang itu. Bila ada rupiah, dan pernah Dollar dan Bath itupun hanya singgah sebentar. Kau pernah menemaniku ke tiga negara. USA khususnya di Honolulu-Hawaii (2011), ke Australia-Darwin terakhir pada 2017, lalu Chiang mai-Thailand 2019. Walau berkendara burung besi bermesin turbo atau jet, isianmu tak seberapa bagusnya. Lalu, kini kau kugeletakkan di sudut pondok. Kau telah berakhir tugasmu. Aku segera akan mencari pengganti dirimu. Sementara ini hujan mulai reda di sini. Jadi aku mau melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Aku membonceng pada motor di bawah kontrol anakku berhubung kuda besiku sedang sakit. Begitulah sudah kisah

Pengantin Adat, Pinang Hias, Pinang Berhadiah

Gambar
Pengantin Adat, Pinang Hias, Pinang Berhadiah Januari 2020, tepatnya pada tanggal sepuluh, sepasang kekasih melangsungkan pernikahan di salah satu gedung gereja, di pinggiran kota So'e yang katanya kota dingin di Timor (Barat-NKRI). Keduanya mengikat janji setia sampai maut yang memisahkan. Singkat cerita, setelah janji setia itu diikarkan di hadapan pemuka agama, saksi, orang tua dan kerabat keluarga, mereka pun resmi menjadi suami-isteri.  Lalu, sebagaimana lazimnya suatu ritual pernikahan, para kerabatpun dihadirkan dalam suatu resepsi yang dikemas sederhana nan apik. Dekorasi sederhana tak menyolok. Di sana ditempatkan satu wujud hiasan yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Mengapa? Karena hal itu sudah lazim juga di beberapa acara serupa. Mereka menyebutkannya dengan istilah Pinang Baroit . Tepat atau tidaknya istilah itu, bukan suatu hal yang perlu diperdebatkan. Menariknya, beberapa kali saya menyaksikan bila pengantin menyediakan pinang baroit , maka pe

Tateut Bu'it ma So'it

Gambar
Tateut Bu'it ma So'it gambar unggahan di ranah publik Awal Aksara Secara iseng saya buka-buka catatan-catatan saya yang sudah lama terlampaui. Saya temukan satu catatan pada tanggal 16 Oktober 2008. Saya ingat, ketika itu saya dan sejumlah orang berada dalam satu percakapan pra pernikahan sepasang kekasih. Pada saat itulah istilah ini kami dengarkan dan saya mencatatnya di dalam catatan harian. Istilah itu bila diterjemahkan secara lurus (harfiah) artinya, menegakkan kembali sanggul dan sisir.  Ungkapan yang digunakan itu sangat metafor sehingga dibutuhkan telaah pada seseorang yang mewakili pihak keluarga untuk segera dapat menangkap maksudnya. Seseorang itu dalam Uab Meto' disebut mafefa' yang oleh kalangan umum di Nusa Tenggara Timur disebut, jubir ~ juru bicara. Peran jubir saya pernah lakoni dalam beberapa kali membantu mengurus pernikahan baik di sekitaran Kota Kupang hingga ke beberapa tempat di kampung dan sekitarnya. Makna dan Praktiknya Sebelum

Buku di Peminangan

Gambar
Buku di Peminangan Meminang nona dengan Buku Bolehkah meminang nona dengan buku? Mungkin perlu diskusi. Pada tanggal 9 Januari 2020, saya mengunggah di akun feisbuk Tateut Pah Meto sebagaimana yang saya beri huruf miring di atas. Lalu terjadilah diskusi yang menarik antara saya dan beberapa pembaca. Sampai dengan dibuatnya tulisan ini, telah ada 24 komentar baik yang disampaikana oleh pembaca dan jawaban dari saya. Komenter paling pendek berbunyi, keren.  Padahal, bukan itu yang saya harapkan. Ha ha ha... Saya cermati unggahan itu pada saat tulisa ini dibuat, di sana terdapat data 50 orang memberi emoji like, 18 orang memberi super like, dan 5 orang wow... Berikut ini komentar-komentar yang menarik dari mereka yang sempat membaca tulisan itu. Johny Banamtuan pertama kali menyampaikan pendapatnya demikian,  Saya pikir bisa-bisa saja. Biar itu jadi tren baru yg sekaligus memotivasi orang untuk belajar, membaca dan bahkan menulis.  Pernyataan ini bernada optimis dan sek

Cinta Mereka Padaku di Januari 2020

Gambar
Cinta Mereka Padaku di Januari 2020 Seorang anak menyapa, di titik waktu 00.00. Ia mencium hidung saya sebagaimana kebiasaan umum di Timor dan sekitarnya. Saya tidak terkejut, karena hari telah berganti memasuki hari baru, dan hari itu 11 Januari 2020, saya bertemu lagi dengan hari kelahiran saya yang terjadi di kelampauan sana, 11 Januari 1968.  Tiba-tiba lagu, Selamat Ulang Tahun diperdengarkan di tengah-tengah hingar-bingar pesta pernikahan. Saya yang sedang 'teler' langsung meninggalkan 'lingkaran' kaum teler itu. Saya masuk ke arena untuk ikut dalam kegembiraan anak-anak yang mencintai ayah mereka. Saya turut larut dalam lagu dan goyangan asal jadi demi menyenangkan anak-anak pada acara itu. Beberapa orang saudara yang turut menghadiri acara resepsi dan pesta pernikahan itu terkejut. Mereka lantas turun ke arena dan memberi salam dan ciuman yang khas, cium hidung. Saya sendiri yang mengambil inisiatif mulai mencium semua orang yang bersama-sama dala