Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Pinang Baroit/Puah Matsaos

Gambar
Akhir-akhir ini budaya makan sirih-pinang di kalangan masyarakat adat Amarasi dimodifikasi menjadi suatu budaya baru ketika sepasang mempelai berada di singgasana kehormatan ketika menjadi pengantin. Berikut ini beberapa cerita dari pengalaman menyaksikan acara potong pinang baroit, yang dilakoni beberapa orang. versi 1   Gaya yang diperlihatkan pada saat pengantin berada di sana adalah, pinang sudah disiapkan. Seseorang dipersiapkan untuk memandu acara pemotongan pinang baroit. seseorang yang memandu itu ketika mendapatkan kesempatan untuk melakukannya, ia akan terlebih dahulu bertanya pada pengantin, "kamu berpacaran berapa lama?" atau "kapan dan dimana bertemu? Siapa yang memulai? Dan beberapa pertanyaan lainnya. Selanjutnya  mereka diberi kesempata untuk membelah pinang yang secara sengaja disiapkan untuk maksud acara itu. Kedua mempelai membelah pinang, kemudian belahannya dipakai untuk salinng menyuap/melayani sebagai suami-isteri. Diteruskan dengan melayani

Koroh natiik Maria

Gambar
The religion of Christian has been came in Amarasi. In the beginning, people in Amarasi had ethno-religion called re’u . The Portuguese brought the catholic and Holland brought protestant. When the Holland came in Timor, the Portuguese had been there. Times, both of them wared. In that time Amarasi’s king built a friendship with Portuguese, so the Holland, war not only with the Portuguese but Amarasi too. In the same time the society had been catholic because the influence from the Portuguese. Finally, Amarasi and Portuguese losed in the Penfui war. The king of Amarasi put down the catholic and took up the protestant, because the Holland pushed. So, the society called koroh natiik maria and they drawed in their traditional clothes. Nowadays, the society know the koroh natiik maria is a kind of symbol to their clothes that they called tais. Koroh, is the symbol of the king and kingdom, and maria is the symbol of catholic. This paper used history approach with library study. Dal

Langit selatan haa' nua

Aku berdiri di gerbang kotaraja Dan memandang ke langit kota raja Sejauh pandang hingga langit selatan, haa’ nua Sejurus terlihat garuda satu-dua melintas langit Keduanya menjadi induk sejumlah anak garuda Berbaris muti’-muti’ di belakang induk garuda Hari itu langit kota raja hingga langit selatan, haa’ nua Menari, melambai, mengalun bersama awan gemawan Hingga hari menjelang senja, Manakala burung srigunting, baos bersiul Ditingkah hantu, kuturu’ menggoreng mangsa Keduanya laksana alim ulama Menebar pesona rohaniawan sejati Sedang selingkuh dalam raga dan sukma Srigunting baos menebar nyanyian minor Mendapat dukungan hantu kuturu’ bernada sumbang Perkutut sasaran kambing hitam Berharap   koro manu beria-ria Hai induk garuda! Srigunting baos bersembunyi na’koro nai’koro Sedang si hantu berlagak anak tuhan Berdo’a di sonaf simbol tak berdosa Bedak dan lipstik melabur wajah berdosa Hai induk garuda! Mereka akan berisik di antar

Feotnai haa' nua

Berdiri di hadapan cahaya putih si manas Aku bergidik tak berkutik Mata tajam mengarah pada feotnai haa’ nua Berpanas-panas di bawah manas Tetap manis muti’-muti’ dibalut uniform muti’-muti’ Seperti merpati putih terbang serombongan Mengalun angkasa muti’-muti’ Akh, .... Kudengar bisik-bisik ular yang sirik Mencari ruang dalam peluang Mendekati feotnai haa’ nua di lorong waktu Merapat dengan telapak   nobef kamomos Dengan setengah hati mendatangi feotnai haa’ nua Huum akmoe, neek maufinu Tersenyum si sirik bagai si nenek sihir Memakai marak pernik intrik kuasa Agar ‘piru ‘nakaf mohon dihormati Menggapai singgasana mulia tapi sepi Oooh... Feotnai haa’ nua, Perhatikan secara saksama sekelilingmu... Nfuun aan ko feotnai haa’ nua Beruang mencari ruang dalam peluang menggasak uang. Mencakar benda raga rasa pundi-pundi uang di ruang bisik. Tak disumpit, ia menyumpit. Bila disumbat, ia merembes trus menetes mencari ruang. Mem

Angin Selatan berhembus

Hari ini pah meto’ Hari ini angin selatan berhembus Engkau bukan sembarang pah meto’ Engkau boleh dihina karena makan peen meto’ Engkau boleh disindir karena omong uab meto’ Tetapi hari ini engkau atoin meto’ Engkau berkata dan berujar meto’-meto’ Ulurkan tanganmu untuk bekerja Arahkan kakiku untuk menuju zaman baru Buang mata ke masa depan Jangan pakai leher untuk menoleh Pakai telinga untuk menyimak Hatimu bijak tak meto’-meto’ Bangkit, maju dan bergeraklah terus Tateut pah meto’ Tateut pah Amarasi – teunraen-buraen Tateut Amfoan oe je matan – hau goe uun Retraen, 17 Agustus 2011

Tidak sengaja

Tidak sengaja Ketidaksengajaan itu noktah noda yang menodai sejarah Hati tulus rela dikorbankan di altar kebencian dan murkanya waktu Menjawab susah, membisu susah Ancaman,   terror, sarit   to’os menghias awan pegunungan Hina’an, ‘paran perendahan harkat manusia mewarnai birunya langit Siapa tahan berhadapan dengan mereka? Hati tulus rela berkorban di altar kebencian dan murkanya waktu Menjawab susah, membisu susah Engsel pintu berderak saat dibuka dan ditutup Mengabarkan, ada penyamun dan perampok berdiri di sekitarmu Tapi, pintu terbuka lebar untuk penyamun di sisi kanan si Isa. Pula kepada mereka yang berhati orang samaria, Dan tertutup rapat kepada hati berbulu, aet ma’funu’. Saat datang guruh menggemuruh Langit meluruhkan awan hendak gerimis Bumi bergolak menahan Guntur asnonot. Tanah diam bergeming menatap surya si manas Menanti putusan Sang Ilahi Uisneno Gundah gulana cacing di kolong tanah kering remuk retak Menanti sekedar g