Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Menikahi Suka dan Duka

Menikahi Suka dan Duka [1] (Heronimus Bani) 1.        Pengantar Dalam suatu kesempatan mengantar pengantin yang sudah diresmikan perkawinan mereka melalui upacara agama dan pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang, saya mendapat kesempatan berbicara. Ketika itu saya menerjemahkan ungkapan adat Amarasi Raya yang   berbunyi, noon reko – noon re’uf of hanaf ma beno ntean kit. Kata kunci dari ungkapan ini ada pada frase pertama yaitu noon reko – noon re’uf. Terjemahan lurusnya adalah pesta baik/bahagia maupun pesta tidak baik (maksudnya kedukaan). Dari ungkapan ini ternyata bila dipersepsikan lebih lanjut secara terbuka ternyata ada suka-duka yang akan dialami ketika sepasang kekasih menjadi suami-isteri. Suka-duka itu tidak berhenti untuk dialami oleh mereka saja, tetapi akan melibatkan keluarga-keluarga para pihak yang terlibat dalam mengurus perkawinan itu. Kembali ke paragraf pertama. Ketika itu saya mengatakan, sesungguhnya ketika kami berada di sini, kami mengantar

Hadirat Allah

Gambar
Renungkanlah! Bila saudara baru pulang dari mengikuti kebaktian/misa rutin, mengikuti kebaktian/misa sakramen, apa yang saudara rasakan bila berada di dalam gedung kebaktian? Mungkin saudara balik bertanya pada saya, apa maksudnya? Tentu saja kita yang berada di dalam gedung kebaktian menurut tata cara gereja masing-masing, mesti merasakan kehadiran Tuhan, hadirat Allah di dalam kebaktian ini. Artinya, semua orang mengetahui dan merasakan bahwa Allah yang adalah Roh sungguh-sungguh hadir di dalam kebaktian/misa tersebut. Maka, segala rasa hormat, segala kemuliaan dan kepujian hanya bagi-Nya. Jika demikian, apakah semua orang mau menundukkan keangkuhan dan kepongahan, ego dan keakuan kepada-Nya? Seringkali orang lupa bahwa Tuhan Allah hadir di dalam RohNya bersama umat-Nya dalam ibadah/kebaktian/misa. Kehadiran-Nya “diwakilkan” kepada imam yang memimpin ibadah/kebaktian/misa pada hari itu. Pancaran kuasa dan kemuliaan-Nya terpusat dari sang imam. Pancaran itu menyebar ke se-ant

Sofi, Pemberian kepada Uismina’

Gambar
Pengantar Sebagai orang di desa saya mengikuti paling kurang dua upacara dalam siklus kehidupan manusia. Upacara perkawinan adat dan upacara pemakaman. Pada etnis Timor ada banyak sebutan untuk upacara perkawinan adat seperti: ripa’-oko’, mapua’ mahonit, mnait noni, kninu’ matsaos, dan yang terkenal dalam bahasa Melayu Kupang, maso minta. Sementara untuk upacara pemakaman etnis Timor menyebutnya, subat. Menurut beberapa orang tua yang sudah sepuh, subat telah mengalami evolusi perlakuan. Evolusi apa saja, akan sedikit diuraikan di sini. Salah satu hal lain yang berevolusi adalah sofi. Uraiannya pada bagian kedua. Subat Berevolusi pada Etnis Timor (di Amarasi Raya) Orang Amarasi Raya, sebagaimana orang Timor ( atoin meto’ ) ketika meninggal akan dikuburkan. Tentu tidak perlu banyak cerita tentang penguburan. Orang cukup menggali lubang dengan kedalaman + 150 cm, lebar + 100 cm, dan panjang + 200 cm. Menurut cerita pada masa lalu, sebelum jenazah dikuburkan, ia dibungkus den

Kuburkan Aku Di Sisi Kekasihku (cerpen)

Gambar
 ilustrasi kuburan, dream.co.id Saat-saat terakhir telah menjelang. Mataku menerawang ke sekeliling kamar. Usahaku sia-sia. Anak-anakku berdiri bagai pagar mengelilingi sisi pembaringanku. Para menantu duduk terpekur. Cucu-cucuku berbisik-bisik. Aku sadar kini, malaikat maut segera akan menjemput dan mengawalku kembali ke asal-muasalku. Aku masih bisa menghitung dan mengingat anak-anakku. Simon, Noni, Onis, Soni, Menti, si kembar pertama Sanci dan Sarci, si kembar kedua Renci dan Rahab. Aku bersyukur diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk mengandung, melahirkan dan membesarkan mereka. Tentu saja aku tidak sendirian. Aku dan suamiku, Mozes. Aku benar-benar berusaha mengingat dan mengenang mereka. Seandainya saja aku bisa duduk dan berbicara kepada mereka, aku ingin berkisah dalam nostalgia masa kecil, masa remaja, dan seterusnya mengikuti arus waktu dalam kualitas isian yang kami lewati bersama. Mozes, suamiku yang teramat mencintai keluarga. Ia pekerja keras.

Tanggal Sudah Seragam Putih Merah (cerpen)

Gambar
Waktu itu hari Sabtu terakhir dalam tahun pelajaran di sekolah. Aku masih mengenakan seragam putih-merah. Topi putih-merah bergambar tutwuri handayani. Dasi merah bergantung di leher menjurai ke dada. Aku masih seorang siswa kelas tertinggi di sekolah dasar. Berduyun-duyun, sendirian atau berpasangan orang-orang dewasa menuju ke sekolahku. Mereka adalah para orang tua dari siswa-siswa kelas tertinggi di sekolah dasar kami. Salam jabat tangan dan saling sapa antarorang tua dengan guru terjadi. Beberapa menyuguhkan sirih-pinang kepada guru sebagai sebuah tindakan hormat. Tak lupa mereka saling berbagi untuk memamah bersama. Suasana keakraban ala desa di perbukitan itulah yang terjadi hari Sabtu itu. Jam dinding di kantor sekolah menunjukkan pukul sembilan lebih lima menit. Basa-basi ala suasana pedesaan diselimuti udara sejuk. Saling berkisah tentang hasil ladang dan ternak piaraan yang terkena flu. Ternak ayam kampung memberi protein secukupnya, walau tak selalu dimakan