Pinang Baroit/Puah Matsaos


Akhir-akhir ini budaya makan sirih-pinang di kalangan masyarakat adat Amarasi dimodifikasi menjadi suatu budaya baru ketika sepasang mempelai berada di singgasana kehormatan ketika menjadi pengantin. Berikut ini beberapa cerita dari pengalaman menyaksikan acara potong pinang baroit, yang dilakoni beberapa orang.

versi 1
 Gaya yang diperlihatkan pada saat pengantin berada di sana adalah, pinang sudah disiapkan. Seseorang dipersiapkan untuk memandu acara pemotongan pinang baroit. seseorang yang memandu itu ketika mendapatkan kesempatan untuk melakukannya, ia akan terlebih dahulu bertanya pada pengantin, "kamu berpacaran berapa lama?" atau "kapan dan dimana bertemu? Siapa yang memulai? Dan beberapa pertanyaan lainnya. Selanjutnya  mereka diberi kesempata untuk membelah pinang yang secara sengaja disiapkan untuk maksud acara itu. Kedua mempelai membelah pinang, kemudian belahannya dipakai untuk salinng menyuap/melayani sebagai suami-isteri.
Diteruskan dengan melayani orang tua dan para saksi serta orang-orang tertentu lainya di bawah komando ibu (atau bapak) yang memandu acara tersebut.
Di akhir dari saling melayani dan melayani orang-orang terdekat, si pemandu memberikan beberapa tips hidup baru dan catatan yang menggarisbawahi tujua suci perkawinan.


versi 2
 Versi yang satu ini sama dengan versi pertama yaitu meniru pola kue baroit, namun penjelasan/perintah kepada pengantin berbeda. Mereka diminta makan sirih-pinang-kapur, kemudian melayani orang tua, dan pihak lainnya, serta mendengarkan penjelasan tentang makna warna-warna hijau, putih, dan merah, bahkan hitam jika merahnya menjadi merah padam.

versi 3
Versi 3 baru pada tahap diusulkan/disarankan untuk digunakan. Bagusnya kalau dibuat dalam bentuk drama tanpa suara oleh para pengantin. Narator dalam hal ini orang yang memandu bercerita, sementara pengantin  melakukan apa yang disebutkan pemandu.
pengantin laki-laki mula-mula membawa tempat sirih-pinang-kapur (aruk). Ia bermaksud bertemu dengan gadis pujaan hatinya. Ketika ia bertemu denganya, ia memberikan mamat (sirih-pinang). mereka berdua makan. Pola ini yang disebut ma'keor ein nbin oe-hau. mamat lalu dibawa kepada orang tua gadis sebagai pemberitahuan yang disebut puah nesif-maun nesif. Dan akhirnya bersama-sama orang tua membawa mamat kepada banyak orang (pemerintah, tokoh adat, dan khalayak) untuk menyaksikan dan melegalkan perkawinan itu, yang disebut puah kninu', manu-kninu', puah matsaos - maun matsaos. Dengan begitu lebih banyak orang memahami makna puah matsaos - maun matsaos.

Demikian sari pendapat beberapa orang yang menghendaki agar versi-versi ini dipakai dengan memperhatkan aspek makna, bukan sekedar penghias acara resepsi pernikahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya