Musik dan Tari dalam Liturgi Ibadah

Musik dan Tari dalam Liturgi Ibadah


Satu kehormatan ketika saya diminta mengantar materi Musik dan Lagu Daerah. Materi yang dimintakan oleh Panitia Penyelenggara Lokakarya Pembinaan Sanggar Kesenian tingkat Kabupaten Kupang tahun 2019. Panitia ini dibentuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang.

Materi ini terasa amat susah pada saya. Mengapa? Saya tidak punyak besik pada musik dan lagu. Saya sempat menulis satu artikel pendek untuk menggambarkan kebingungan dan gugupnya saya di depan para peserta yang rerata adalah pelaku kesenian di sanggar masing-masing.

Tapi hal itu telah saya sanggupi melalui telepon ketika Ketua Panitia memintanya. Saya, ketika bertemu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang, Drs. Imanuel Buan, MM, ia menyampaikan bahwa dialah yang meminta agar panitia menempatkan saya sebagai salah satu pemateri. Sungguh suatu kehormatan pada saya yang buta ini. Sebagai si buta, saya diminta menuntun yang menyala mata dan tajam pendengaran.

seSingkat cerita. Materi tentang Menari selesai dipresentasikan dengan sejumlah teori, dan sejumput praktik oleh pemateri pertama. Saya duduk di belakang para peserta dan turut menyimak hingga tuntas materi itu.

Kini giliran saya. Saya mulai dengan sedikit informasi perkenalan, dilanjutkan dengan menyajikan tontonan pada para peserta. Satu nomor lagu berjudul Nekaf Mese' Ansaof Mese', karya Kris Niron/Roni Bani, divokali VG Pengawas SMP Kabupaten Kupang, lengkap dengan vidio klip di banyak tempat di sekitar Kabupaten Kupang dan Ngada. Berbondong-bondong komunitas menari dari lagu yang dinyanyikan itu. Mungkinkah itu benar, atau tipuan kamera?

Berakhir sudah tontonan itu. Apakah peserta suka? Saya tidak mengecek per individu. Saya tanyakan secara klasikal belaka. Jawabannya pun tak seberapa banyaknya. Sekitar tiga orang sempat bertepuk tangan, bagi saya itu sudah cukup. Saya sadar, para peserta punya potensi yang mumpuni, dan tentu saja lebih daripada saya yang sekali lagi tak punya besik musik dan lagu.

Saya melanjutkan memberikan motivasi. Saya sempat menyampaikan bahwa Perjanjian Baru dalam Bahasa Amarasi telah diterjemahkan dalam satuan waktu yang lama, 14 tahun. Hampir 50% peserta bertepuk tangan. Yang tidak bertepuk tangan dari gesturnya nampak ada rasa antara puas dan heran.

Kembali lagi saya berusaha sedapat-dapatnya memberikan yang terbaik dalam pengetahuan yang saya miliki dari beberapa aspek yang pernah saya pelajari dan tekuni dengan tetap fokus pada materi Musik dan Lagu Daerah. Lalu, tiba pada titik dimana saya menyebut nama akun feisbuk. Ada keterkejutan pada sekitar 2 sampai 3 orang. Saya tidak terkejut, karena saya sudah mengetahuinya sedari pagi ketika bersua.

Kini giliran diskusi, datanglah satu pertanyaan menarik, yang diawali uraian latar belakangnya. Pertanyaan itu datang dari seorang peserta yang sangat berkerinduan bermusik, berlagu dan bertari di dalam liturgi ibadah Kristen. Dapatkah itu dilakukan di zaman ini? Sementara para pihak pemangku kepentingan di gereja lokal tidak serta merta menerima musik, lagu dan tari "menajiskan" ibadah yang kudus. Bila telah dapat mengkoreografikan satu gerak tari yang siap tampil dalam liturgi ibadah, perasaan gundah-gulana, bagaimana respon jemaat/umat?

Saya teringat ketika raja Daud menari (2 Samuel 6 : 11 - 23). Satu perkataan indah dan menarik dari Daud. Perkataan itu bukan saja indah tapi sungguh menyayat bagai sembilu bersilet tajam mengiris-iris bila menyimaknya secara intens. "... di hadapan TUHAN aku menar-nari, bahkan aku akan menghinakan diriku lebih daripada itu; engkau akan memandang aku rendah, tetapi ... " Kutipan ayat ini saya cukupkan sampai di sini. Dapatkah orang memahaminya?

Saya mencoba memberikan sedikit peluang pencerahan. Bila saja dapat mengilustrasikannya, betapa sulitnya masuk ke dalam area liturgi ibadah yang kiranya sudah "beku" itu. Mesti dicarikan celah masuk walau itu teramat sempit. Tapi melalui celah itu cahaya dapat menembus lurus dan menunukkan seberkas cahaya di dalam ruang beku suara.

Masuklah dengan berteologi yang kontekstual. Kita tidak ditabukan untuk berpikir tentang Tuhan yang ada di alam semesta ini. Kita patut ingat bahwa ada penyataan umum dan penyataan khusus dari Tuhan pada kita. Penyataan umum tentang Tuhan itu ada dalam alam semesta ciptaan-Nya. Bukankah Tuhan dapat ditemui melalui penyataan umum itu. Tengoklah burung-burung di udara, bukankah mereka selalu bernyanyi memuliakan Tuhan. Lihatlah dan cermatilah, bukankah pepohonan berbunga dan berbuah lalu insan manusia memuji keindahannya, yang secara tidak disadarinya, mereka telah memuliakan Tuhan? Tengoklah, bila anjing menggonggong pertanda ada yang lewat. Tidakkah itu suatu hikmat padanya? Siapa yang memberikannya? Bukankah Tuhan menempatkan insting pada semua ciptaannya itu?  Lalu, pada manusia, Tuhan memberi keistimewaan: Hikmat dan Pengertian. Dalam hal itulah manusia menjadi sangat berbeda dari segala ciptaan-Nya. Mengapa tidak memuliakan Tuhan dengan segala rasa dan raga?

Tuhan tidak pernah menutup pintu istana-Nya agar lagu, musik dan tari dipentaskan. Bukankah orang meyakini bahwa di sorga tiada lagi kesusahan? Jika tiada lagi kesusahan, apa yang sedang dilakukan orang jika tidak sedang bersusahhati? Pastilah bernyanyi, bermusik dan bergoyang riang. Manusia sajalah yang menempatkan tarian yang meliuk-liukkan raga sempurna ini pada benak yang pornois, pornografi. Padahal, ketika orang menari, tarian itu dipentaskan dengan konstum dan perangkat pendukung tarian, dimana porn nya?

Musik. Bukankah suatu sukacita selalu mesti berwujud musik. Tidak perlulah orang bermusik dengan alat musik yang wah... Mulut, lidah, gigi, ruang resonansi, pita suara, jemari, sentakan jemari, tapak tangan bertepuk, hentakan kaki, semua itu dapat dijadikan perlengkapan musik, bila kreatif. Nada? Bukankah warna suara dapat dinadakan secara kolaboran?

Akh... pertanyaan yang menggugah olah pikir dan olah rasa ini menyebabkan saya mesti membaca lagi dan lagi...

Ha ha...

Terima kasih padamu seseorang yang telah memberikan pertanyaan itu padaku. Kukirimkan padamu tulisan ini, semoga berkenan.

Koro'oto, 2 November 2019

Heronimus Bani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria