Menikahi Suka dan Duka
Menikahi Suka dan Duka[1]
(Heronimus Bani)
1.
Pengantar
Dalam
suatu kesempatan mengantar pengantin yang sudah diresmikan perkawinan mereka
melalui upacara agama dan pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang, saya
mendapat kesempatan berbicara. Ketika itu saya menerjemahkan ungkapan adat
Amarasi Raya yang berbunyi, noon reko – noon re’uf of hanaf ma beno
ntean kit. Kata kunci dari ungkapan ini ada pada frase pertama yaitu noon
reko – noon re’uf. Terjemahan lurusnya adalah pesta baik/bahagia maupun pesta
tidak baik (maksudnya kedukaan).
Dari
ungkapan ini ternyata bila dipersepsikan lebih lanjut secara terbuka ternyata
ada suka-duka yang akan dialami ketika sepasang kekasih menjadi suami-isteri.
Suka-duka itu tidak berhenti untuk dialami oleh mereka saja, tetapi akan
melibatkan keluarga-keluarga para pihak yang terlibat dalam mengurus perkawinan
itu.
Kembali
ke paragraf pertama. Ketika itu saya mengatakan, sesungguhnya ketika kami
berada di sini, kami mengantar mempelai perempuan sekaligus mengantar
suka-duka. Saya memperhatikan sejenak perubahan pada raut muka orang-orang yang
mendengar pernyataan saya. Rupanya sebagian (entah berapa prosen) di antara
mereka nampak kecewa dengan pernyataan itu. Ada pula yang memahami maksud saya
ketika saya menyampaikan persepsi saya pada ungkapan bahasa adatnya. Pada
kalangan muda hanya manggut-manggut saja mengamini diksi yang saya gunakan.
Lantas
apakah menikah dan beralih status sebagai suami-isteri itu berdampak pada
suka-duka? Tentu saja kita mesti mengatakan, YA. Mengapa? Mari merenung!
Ketika
mengambil keputusan untuk berumah tangga, dengan diketahui oleh orang tua,
sanak, kerabat, kenalan dan rekan, biasanya ada pertanyaan yang sudut
pandangnya adalah ekonomi (nilai nominal uang). Selalu diawali dengan berapa
besar biaya yang dikeluarkan untuk mengurus peresmian perkawinan itu. Biaya
yang dikeluarkan itu akan menjadi salah satu sebab-musabab adanya suka atau
duka. Mari kita telisik sejenak.
2.
Tanda dari Hukum Adat Perkawinan
Apakah
di kalangan kita memberi tanda sebagai wujud hukum adat perkawinan tanpa uang?
Perhatikan etnis: Timor, Rote, Sabu, Flores, Sumba dan lain-lain kalaupun
tandanya harus dengan ternak dan kain, semuanya itu berdampak uang. Apakah
semua orang tua akan dengan sangat sukacita mengeluarkan uang dalam jumlah
besar yang hanya dalam waktu antara 3 bulan sampai 1 tahun demi melepaskan
anak-anak mereka hidup sebagai suami-isteri? Mungkin ini perlu penelitian untuk
mendapatkan data yang akurasinya tidak dapat dibantah.
Sepanjang
pengalaman membantu dan ikut menyaksikan para pihak mengurus perkawinan untuk mendapatkan
pengakuan sah di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, banyak orang tua
mengeluh bahkan menangis (nkaen nuu moro’).
Pengeluhan itu terjadi oleh karena telah mengeluarkan uang dalam jumlah besar
untuk upacara-upacara seremonial demi mewujudkan hukum adat perkawinan.
Pengeluhan
itu bukan saja pada pihak orang tua pemuda (calon suami). Hal yang sama berlaku
juga pada pihak orang tua gadis (calon isteri). Hukum adat perkawinan manapun,
para pihak ini selalu harus menyediakan sejumlah besar uang. Tidak ada seremoni
perkawinan yang gratis.
Mari
menelisik agak dalam. Pertama, kalau
terjadi kesalahan fatal yang memalukan yang dilakukan oleh pasangan calon
suami-isteri (hamil sebelum menikah), maka harus menutupnya dengan denda yang
disebut tutup malu. Kemungkinannya
adalah sekian ratus ribu rupiah, sekian juta rupiah atau kain/sarung tenunan
sekian lembar, bahkan dapat saja berupa ternak atau barang mas sekian gram dan
sekian karat. Jika bukan uang, maka barang dan ternak. Jika barang dan ternak
tidak dimiliki, gantinya pasti uang.
Lalu,
... ? Ada suka-duka di dalamnya, bukan?
Sangat
sedikit orang tua gadis yang mau menerima fakta bahwa anak gadisnya hamil
sebelum pernikahan resmi. Orang Amarasi Raya punya istilah oe maka’ na’aaf dan dua istilah yang sejenis, yang menggambarkan
anak yang lahir di luar nikah dapat diterima tanpa harus memberi denda pada
pihak calon suaminya.
Kondisi
seperti itu dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
melakukan perbuatan melanggar hukum, norma dan etika. Mereka dapat saja membual
secara gombal untuk mencintai seorang gadis kemudian, keduanya melakukan hubungan
sex tanpa nikah, hamil, ditinggal dan akhirnya melahirkan bayi/anak tanpa ayah.
Apakah suka atau duka yang dipetik?
Herlyn
Dj, dalam https://herlyndj.wordpress.com/ menulis satu judul menarik, Belis, penghargaan atau penjualan?
Kedua, Belis dengan nama apapun. Aer susu, suus oef, kaos nono, sea’nono,
sanu’ nono, saeb nono, kenoto, belis to’ok, dan masih banyak istilah yang
menyertainya. Sebagian kalangan kurang senang dengan istilah belis. Mereka
lebih suka menggunakan kata mas kawin.
Apapun itu namanya, isinya tetap menggunakan paling kurang hal-hal ini: uang,
barang mas, kain tenunan yang khas daerah, ternak, gading (bala), moko, dan lain-lain. Semua yang disebutkan di atas
bernilai uang. Oleh karena itu, suatu perkawinan menurut saya dari sudut
pandang ekonomi, ada suka-dukanya.
Mari
membayangkan semua orang tua dari pihak calon suami maupun pihak calon isteri,
manakah di antara keduanya yang tidak mengeluarkan biaya untuk meresmikan suatu
perkawinan?
Baik
pihak keluarga calon suami maupun keluarga calon isteri masing-masing
mengeluarkan biaya, dan materi/harta untuk suksesnya suatu upacara perkawinan.
Kalangan etnis Rote misalnya, bukan saja menanggung biaya konsumsi, tetapi juga
mempersiapkan apa yang disebutkan sebagai antaran.
Isi antaran berupa paket
perlengkapan rumah tangga yang dapat mereka bawa. Semua ini berdampak biaya
(uang). Mereka menikmati hal ini sebagai tindakan budaya sehingga terasa
seperti tidak membebani, padahal bila
ditelusuri ternyata mereka masuk area suka-duka pula.
3.
Biaya Penyelenggaraan Seremoni
Perkawinan
Paling
kurang ada tiga kegiatan besar yang dilakukan para pihak ketika mengurus suatu
perkawinan. Ketiganya itu adalah: meminang, pesta perkawinan, dan pesta syukuran.
Dalam
pengetahuan umum, pada kegiatan meminang pihak orang tua (dan keluarga calon
isteri) yang menanggung biaya dan materi/harta untuk konsumsi, termasuk
mempersiapkannya. Pola ini terjadi di kota. Bila terjadi di pedesaan, kedua
pihak bersama-sama mempersiapkan. Seringkali keluarga pihak calon suami ikut
menanggung sebagian biaya dan materi/harta. Di kalangan etnis Atoni’ (orang Timor), pendekatan maso minta sering tidak berlaku. Mereka
mempunyai tahapan pengurusan sehingga setiap tahapan pasti menanggung sejumlah
biaya.
Selain
meminang, pesta perkawinan sering disederhanakan dengan istilah resepsi perkawinan. Pada acara ini
biaya semakin besar dikeluarkan untuk berbagai keperluan. Pembiayaan jatuh
pada: konsumsi, perlengkapan suara musik (sound system), dekorasi, perlengkapan
tenda, isi tenda berupa kursi untuk para tamu baik tamu VIP, orang penting, maupun
tamu kelas ekonomi dan kelas “rombongan makan pesta” rompes. Sering terjadi
pembiayaan untuk mendatangkan pengantar acara profesional (MC), penari, pemain
musik dan penyanyinya, dan masih banyak hal yang dapat didatangkan untuk
menambah semarak dan kemewahan acara resepsi
perkawinan. Biaya untuk maksud ini diperoleh sebagian besar dari pihak
keluarga calon suami (mempelai pria).
Terakhir,
ketika keluarga mengantar kedua mempelai ke rumah suami (mempelai pria). Di
sana para keluarga telah menunggu. Mereka melakukan suatu acara yang disebut syukuran. Hampir sama dengan resepsi perkawinan, biaya konsumi dan lain-lain ditanggung seratus
prosen oleh keluarga pihak suami (mempelai pria). Apakah ini suatu kabar
gembira (suka)? Tentu saja kabar gembira.
Wajah suami nampak tersenyum, begitu pula dengan orang tuanya serta menantu
(isteri). Sayangnya senyuman yang kelihatan itu rasanya tidak tulus. Ada
gejolak di hati manakala terjadi kekurangan pada sisi tertentu dari acara itu
yang berdampak biaya (uang).
4.
Kematian
Para
leluhur Amarasi Raya meninggalkan satu warisan budaya yang disebut ike-suti ma panbuat. Istilah ini
semestinya digunakan ketika mengantar seorang perempuan (isteri) ke rumah
suaminya. Ike-suti perlambangan untuk segala perlengkapan sebelumnya sudah
menjadi milik gadis yang telah menjadi isteri dari seorang pemuda. Semestinya
yang dibawa adalah perlengkapan itu, bukannya malah mencari (membeli) barang
baru.
Panbuat adalah perlambangan untuk kematian.
Seorang perempuan yang hidup sedaging dengan suaminya suatu hari kelak akan
meninggal. Meninggalnya sang isteri akan menyisakan duka. Itulah duka yang
paling besar yang akan dialami ketika orang memilih untuk menikah. Luka itu
diterakan pada suami, dan sebaliknya, bila yang meninggal adalah suami, maka
luka itu diterakan pada isteri.
Bila
mendapatkan keturunan, akan ada penambahan piring-sendok-garpu; harus ada
penambahan kamar dan pakaian, bahkan tanggung jawab. Di sini ada suka-dukanya.
5.
Penutup
Akhir
tulisan pendek ini hendak mengingatkan kepada kita, marilah mengurus perkawinan
dengan pertimbangan efisiensi, penghematan untuk kebaikan bersama. Jika ada
sifat ini pada kita, maka kemungkinan untuk mengeluh (duka) akan berkurang
ketika suatu urusan pernikahan berakhir.
Website
https://herlyndj.wordpress.com/2012/10/17/
Komentar
Posting Komentar