Kuburkan Aku Di Sisi Kekasihku (cerpen)
ilustrasi kuburan, dream.co.id
Saat-saat terakhir telah menjelang. Mataku
menerawang ke sekeliling kamar. Usahaku sia-sia. Anak-anakku berdiri bagai
pagar mengelilingi sisi pembaringanku. Para menantu duduk terpekur. Cucu-cucuku
berbisik-bisik. Aku sadar kini, malaikat maut segera akan menjemput dan
mengawalku kembali ke asal-muasalku.
Aku masih bisa menghitung dan mengingat
anak-anakku. Simon, Noni, Onis, Soni, Menti, si kembar pertama Sanci dan Sarci,
si kembar kedua Renci dan Rahab. Aku bersyukur diberi kesempatan oleh Yang Maha
Kuasa untuk mengandung, melahirkan dan membesarkan mereka. Tentu saja aku tidak
sendirian. Aku dan suamiku, Mozes. Aku benar-benar berusaha mengingat dan
mengenang mereka. Seandainya saja aku bisa duduk dan berbicara kepada mereka,
aku ingin berkisah dalam nostalgia masa kecil, masa remaja, dan seterusnya
mengikuti arus waktu dalam kualitas isian yang kami lewati bersama.
Mozes, suamiku yang teramat mencintai
keluarga. Ia pekerja keras. Seorang guru sekolah dasar di pedalaman yang jauh
dari kota. Ketika kami harus ke kota, kami mesti berjalan kaki sejauh tujuh
kilometer untuk mencapai titik keberangkatan dimana orang menyebutnya cabang.
Padahal yang dimaksudkan adalah jalan simpang antara jalan utama dan jalan
menuju ke desa lain. Jalanan belum beraspal itulah yang kami harus lalui. Jalan
utama pun belum beraspal. Kendaraan yang lewat pun masih jarang. Maka, menunggu
datangnya kendaraan pada masa itu bersama suami tercinta adalah salah satu saat
yang menjadikan kami semakin menikmati cinta sepasang kekasih.
Aku teringat ketika ia menyatakan cintanya.
Aku sungguh tersipu malu. Kami sedesa tinggalnya. Bersekolah ke kota bersama.
Benih cinta tumbuh ketika kami terus bersama baik di sekolah guru maupun ketika
berlibur ke desa. Selalu bersama menjadikan kami bukan saja teman tetapi sudah
lebih dari sekedar teman. Itulah kami. Cinta telah mengikat kami, memeluk kami
dan melanglangkan buaian kami. Tapi kami menyadarinya sehingga mampu
mempertahankan kemurniannya. Kami akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang
kekasih. Kami merajutnya hingga menjadi sepasang suami-isteri. Suami-isteri
yang berprofesi sebagai guru. Guru sekolah dasar. Malam ini kukenang dia, di
saat menjelang malaikat maut menjemputku.
Aku mencoba menggerakkan tangan kiriku.
Serentak mereka ingin membantu. Aku ingin bangun, sayangnya tubuhku sudah
rapuh. Kerapuhan telah menggerogoti tubuh indahku ketika masih gadis, ibu muda,
ibu guru dan ibu dari sembilan buah hati yang kulahirkan tujuh kali. Aku dan
suamiku tak memilih program nasional keluarga berencana. Memang ketatlah masa
itu harus mengikuti program itu. Tapi, tak apalah. Kami bertanggung jawab.
Sebagaimana mereka saat ini bertanggung jawab di depan mataku. Mereka menunggu
saat-saat terakhir akan diapakan diriku, tubuhku yang akan segera tidak
bernyawa.
“Adik-adik. Mari kita bersama mama dalam
do’a.”
Kudengar yang tertua, Simon mengajak
adik-adiknya untuk berdo’a. Tentu saja bukan mereka sendirian. Seluruh penghuni
ruangan akan bersama-sama dalam do’a itu. Tapi, siapakah yang akan memimpin
do’a? Oh, ternyata Simon sendiri yang akan memimpinnya.
“Mama! Mama! Botong sonde dengar mama pung suara ma botong lia mama pung mata sama
ke mau ba’omong deng botong. Botong mau sambayang, mama.” Begitu Simon
berbicara padaku.
Ia memulai dengan do’anya. Aku memperhatikan
setiap anak-anakku ketika mereka berdo’a. Mereka sungguh-sungguh khusuk. Suami
atau isteri mereka dan anak-anak mereka khusuk, kecuali yang masih berumur di
bawah sepuluh tahun. Mereka belum memahami apa arti hidup, apalagi ketika harus
menghadapi saat-saat terakhir dalam hidup. Di dalam do’a, Simon menyebutkan
namaku dengan penyakit yang kuderita. Ya. Aku tahu kalau mereka ingin aku
sembuh. Tapi apalah arti kesembuhan itu jika hanya akan menambah beban pada
mereka. Aku telah pasrah pada Tuhan Pemberi hidup itu. Tapi, Tuhan sendiri
masih belum bersedia mengambil nafas yang ditiupkan-Nya padaku. Aku merasa
lebih pantas disebut jenazah hidup.
Do’a Simon diakhiri dengan amin yang
diucapkan oleh semua yang ikut di dalamnya. Dua cucuku mendekati bibir
pembaringanku. Rupanya mereka ingin mengetahui kondisi apa yang terjadi pada
nenek mereka setelah do’a itu. Tak ada perubahan apa pun. Keduanya menunjukkan
kekecewaan. Rasanya mereka protes pada Pemberi hidup, mengapa nenek mereka
harus sekarat seperti ini? Mengapa tidak dipulihkan kesehatannya? Mengapa harus
sampai renta? Mengapa Tuhan yang sudah mendengar do’a belum mau mengabulkannya?
Mungkin berjubel tanya ada di hati kedua cucuku.
“Nek, lekas sembuh. Kami mau ada nenek bersama
kami.” Pinta Leni salah satu anak dari Simon.
“Nek, jika boleh, sedikit saja nenek beri
senyum. Pasti kami semua senang.” Rinto anak dari Onis ikut membelah
keheningan.
Keduanya mengundurkan diri dari bibir
pembaringan. Kutatap mereka. Kuberikan cinta tulusku pada mereka setulus pada
orang tua mereka dan kekasihku, Mozes.
Kugerakkan kepalaku. Renci dan Rahab
membantuku. Keduanya kulahirkan sebagai bungsu dari seluruh anak-anak kami.
Renci dan Rahab telah menjadi gadis-gadis manis. Mereka telah menjadi mahasiswa
di kota. Mereka terpaksa tidak masuk kampus setelah dikabari oleh
kakak-kakaknya bahwa aku terbaring sekarat, menunggu saat terakhir. Renci dan
Rahab sempat menikmati masa-masa indah bersama ayahanda mereka. Kembaran kedua
sekaligus bungsu ketika kami sudah mencapai masa hidup sebagai suami isteri
yang cukup dari sisi ekonomi.
Aku membayangkan Renci dan Rahab yang akan
kutinggalkan. Keduanya belum berkeluarga. Sarci baru saja berumah tangga.
Tentang Sanci, aku dikabari akan segera menikah setelah menyelesaikan
kuliahnya. Tanggung jawab itu akan jatuh pada kakak-kakak mereka. Semoga mereka
akur-akur selalu sebagaimana sampai saat ini mereka perlihatkan padaku.
“Hei. Bosong
samua dudu tanganga bodo sa. Bosong orang sakola. Jang bekin malu. Bawa bosong
pung mama pi ruma saki biar dia mati di sana. Bosong orang su ada pangkat, jang
bekin malu keluarga, ee!”
Suara itu menggelegar jelas dalam bahasa
Melayu Kupang. Semua tersentak. Siapa gerangan? Ternyata seorang saudaraku. Ia
bungsu dari saudara laki-laki yang dilahirkan oleh orang tuaku. Ia sedikit
lebih tua dari Simon. Ia merasa mempunyai hak untuk menegur para keponakan
untuk mengurus tubuhku yang sekarat ini. Ia sadar juga dengan tradisi di
kampung kami. Bahwa sebagai Om, ia boleh menegur mereka, tapi ia tidak lebih
berhak daripada anak-anak yang kulahirkan. Simon yang sulung angkat bicara
dengan bahasa Melayu Kupang.
“Om
Kobus. Kalo botong bawa mama sekarang, bisa. Cuma baru angkat dari tampa tidor
langsung mama putus napas. Dokter su bilang, kotong pung mama pung sakit su
akut barat. Bahasa dokter bilang stadium barapa bagitu. Infus yang minggu lalu
sa masi ada di situ. Om Kobus tau to, kotong su bawa dokter sampe di sini.
Dokter su rawat mama, yang Om Kobus pung kaka, ma lia sandiri sa. Botong tau dari
dokter, kata bilang hanya mujisat. Andia ko botong ada bakumpu ko tunggu sa. Na
yang paling bae, Om bantu kotong ko do’a. Biar Om pung kaka bisa bae. Kalo bae,
botong pung bae samua, to.”.
“Bae.
Beta kasi inga sa. Jang bekin malu keluarga. Jang kira beta diam nanti kalo be
pung susi mati?” adikku melanjutkan.
“Om. Kalo
sehat pung mahal barapa botong usaha ko bisa bayar. Andia ko botong su usaha
mati-mati. Ma kalo su bagini, botong mau karmana? Coba Om ada di pihak botong?
Om. Minta maaf. Botong samua sonde mau malu ju. Mati di ruma beda apa deng mati
di ruma saki? Ini yang dokter su kasi saran. Kalo su parah, ya, parah. Jadi
jang paksa lai. Botong pasrah.” Onis menyela Kobus.
Aku berusaha membuka mulutku. Rahab
mengetahui kalau akan berkata sesuatu. Ia memasang telinga ke mulutku. Inilah sebagian
kata-kata terakhirku.
“Doa!” Kataku.
Rahab segera memberitahukan permintaanku.
Mereka berdoa bersama dengan menumpangkan tangan ke atas tubuhku. Aku mencoba
memejam mata untuk turut dalam doa. Tapi, aku membuka mata lagi. Kedua tanganku
dapat kugerakkan. Aku menarik Rahab dan Simon sekaligus ke mulutku.
“Kuburkan aku di sisi kekasih hatiku!”
Tubuhku kaku dan dingin. Rahab dan Simon diam
menunggu akhir doa. Berakhirlah hidupku bersama dia yang kukasihi
Komentar
Posting Komentar