Tanggal Sudah Seragam Putih Merah (cerpen)
Waktu itu
hari Sabtu terakhir dalam tahun pelajaran di sekolah. Aku masih mengenakan
seragam putih-merah. Topi putih-merah bergambar tutwuri handayani. Dasi merah
bergantung di leher menjurai ke dada. Aku masih seorang siswa kelas tertinggi
di sekolah dasar.
Berduyun-duyun,
sendirian atau berpasangan orang-orang dewasa menuju ke sekolahku. Mereka
adalah para orang tua dari siswa-siswa kelas tertinggi di sekolah dasar kami.
Salam jabat tangan dan saling sapa antarorang tua dengan guru terjadi. Beberapa
menyuguhkan sirih-pinang kepada guru sebagai sebuah tindakan hormat. Tak lupa
mereka saling berbagi untuk memamah bersama. Suasana keakraban ala desa di
perbukitan itulah yang terjadi hari Sabtu itu. Jam dinding di kantor sekolah
menunjukkan pukul sembilan lebih lima menit.
Basa-basi
ala suasana pedesaan diselimuti udara sejuk. Saling berkisah tentang hasil
ladang dan ternak piaraan yang terkena flu. Ternak ayam kampung memberi protein
secukupnya, walau tak selalu dimakan telurnya oleh anak-anak. Dagingnya pun
akan diambil bila perlu. Sementara penyakit sampar ayam menyapu maka dada
pemilik disapu-sapu saja. Termak sedang, babi dan kambing mendukung
upacara-upacara adat, perkawinan dan kematian. Hal bersekolah dipikirkan pada
waktu yang berbeda. Kebutuhan pendidikan disokong dari seekor, dua ekor sapi
bali kebanggaan. Padahal, bila antraks menyerang, pemiliknya menangis, anak
tercenung. Ladang ditanami jagung dan padi. Kacang dan ubi rambat tak lupa
diselipkan. Labu dan ketela pun tak ketinggalan. Tumbuh, bertambah tinggi dan
memberi harapan untuk paling kurang enam sampai delapan bulan ke depan. Oh,
fakta bercerita lain. Sapi berkeliaran menghitung semua tanaman itu. Mereka
menikmati layaknya pemilik. Kegirangan pada ternak sapi membanggakan pemilik
sapi. Oh...
Aku dan
teman-temanku berbaris di halaman sekolah setelah bel didentangkan oleh seorang
guru. Kami mendapatkan arahan beberapa saat oleh kepala sekolah sebelum kami
masuk ke ruangan yang telah disediakan untuk pengumuman ujian akhir sekolah. Di
antara arahan itu adalah, ketika duduk bersama para orang tua agar kami menjaga
ketertiban. Kami bukan akan menerima pelajaran tetapi akan mendengarkan hasil
ujian sekolah.
Tiba di
dalam ruang kelas yang difungsikan sebagai aula. Basa-basi pengantar kata
sebagai sapa’an kepada kami dimulai oleh seorang rekan yang telah berlatih
menjadi pemandu acara. Kami menyimak sambil tersenyum. Mungkin kelak ia akan
benar-benar menjadi pemandu acara. Ia menyapa kepala sekolah, para guru dan
para orang tua serta tidak lupa kami. Rupanya urutannya sudah baik. Saya ingat
ia berkata demikian,
“Yang saya
hormati dan kasihi bapak kepala sekolah, bapak dan ibu guru, baik guru kelas
maupun guru mata pelajaran, para orang tua terkasih dan yang mengasihi kami,
dan teman-teman yang manis-manis.”
Begitulah
ia menyapa kami semua yang sudah berada di dalam ruang belajar itu. Bapak
Kepala sekolah mendapat kesempatan utama untuk menyampaikan hasil ujian. Kami
menyimak. Para orang tua memasang telinga lebih tajam mengingat nama kami akan
disebutkan satu per satu untuk mata pelajaran tertentu bila mencapai nilai
tertinggi atau nilai terendah. Aku berharap aku ada di antara deretan nama yang
akan disebutkan itu. Tapi tidak berharap mendapatkan nilai terendah pada mata
pelajaran apa saja.
Sementara
aku berpikir agar namaku disebut, tiba-tiba seorang teman mengagetkanku.
“Hei, Orin.
Bapak kepala sekolah menyebut namamu.”
Aku
tersentak karena namaku disebutkan untuk nilai tertinggi pada mata pelajaran
yang sulit, matematika. Aku mencapai angka 80. Wah bangganya. Semua orang
memberi tepuk tangan.
Bapak
kepala sekolah melanjutkan membaca nama-nama. Tidak ada di antara para teman
yang mau menutup telinga dan perhatiannya. Mereka semua berharap ada namanya
disebutkan terutama untuk mata pelajaran yang nilainya mencapai tertinggi.
Sayangnya hanya tiga mata pelajaran yang disebutkan, artinya hanya boleh ada
tiga orang yang namanya disebutkan sebagai memperoleh nilai tertinggi, dan ada
juga tiga orang yang namanya disebutkan sebagai memperoleh nilai terendah.
Sedih dan malu, kalau disebutkan memperoleh nilai terendah. Tapi, tak apalah,
tokh masih ada nilai dari lima semester sebelumnya yang akan diakumulasikan
dengan nilai yang ada sehingga dapat mengantar seseorang mencapai prestasi apa
yang disebut lulus.
Nama demi
nama disebutkan hingga berakhir enam orang. Bapak kepala sekolah masih
mengumumkan kemampuan lain yang dimiliki anak-anak kelas enam tahun ini. Ada
yang bisa bermain gitar, ada yang bisa menggambar, ada yang dapat menulis
cerita pendek dalam beberapa paragraf. Bapak kepala sekolah berpesan, bila
mereka diperhatikan oleh para orang tua, kelak potensi seperti itu akan berguna
di masa yang akan datang.
Selesai
sudah pengumuman. Tepuk tangan bergemuruh di dalam ruang kelas yang berukuran 8
m x 7 m itu. Teman kami yang menjadi pembawa acara mempersilahkan seorang rekan
untuk menyampaikan kesan dan pesan. Aku ikut menyimak sebagian yang dikatakannya.
“Ketika
kami berada di sekolah ini, kami masih nakal dan bengal. Kami belum menyadari
siapa kami. Tapi, kami percaya seiring bertambahnya umur, maka kami akan
semakin banyak belajar untuk mengetahui dan memahami segala hal yang hari
kemarin kami terima, hari ini kami alami, dan kelak akan kami pelajari dan
alami.” Demikian sebagian di antara yang diucapkan teman kami itu.
Akhirnya
sebagai tradisi, kami akan dikembalikan kepada orang tua kami. Di sekolah kami
ada kebiasaan menanggalkan pakaian seragam sebagai tanda telah berakhir masa
belajar di sekolah dasar. Dua orang mewakili kami semua. Seorang teman
laki-laki dan seorang perempuan. Keduanya berdiri di depan bapak kepala
sekolah.
“Dengan ini
kami melepaskan kamu kembali ke tangan orang tuamu. Ingat, masih ada sekolah
lanjutan. Jangan berhenti bersekolah. Pakaianmu ini yang aku tanggalkan
sebagian menjadi simbol bahwa kamu sejak hari ini bukan lagi siswa pada sekolah
dasar.” Begitulah bapak kepala sekolah berucap. Setelah itu ia menyalami kedua
teman kami. Menyalami wakil orang tua yang menerima kami kembali. Maka, sejak hari
ini, putih merah seragam kebanggaanku tak akan kukenakan lagi. Mereka sudah
tinggal kenangan.
Komentar
Posting Komentar