sumber air Maat Hitu', foto; Merdana Ora
Maat Hitu' Tujuh Titik Sumber Air
Pengantar
Desa Nekmese yang dibentuk pada tahun 1968 merupakan gabungan dari desa-desa gaya lama yang didasarkan pada faktor genealogi. Faktor yang demikian ini yakni suatu desa gaya lama berada dalam kawasan komunitas umi-umi atau nonot-nonot yang terdiri merupakan kerabat-kerabat terdekat. Merekalah pembentuk desa-desa gaya lama yang pada masa masa pemerintahan adat ke-usif-an, merupakan bagian struktur wilayah yang disebut kuan dengan kepala kuan disebut 'nakaf.
Ketika terjadi persentuhan dengan dunia luar dimana pengaruh kerajaan Majapahit tiba di Timor, para 'nakaf berganti nama baru menjadi Temukung, yang berasal dari kata Tumenggung. Jadi, para 'nakaf yang menjadi temukung tetap dengan wilayahnya yang secara struktur pemerintahan adat berada di bawah suatu wilayah kefetoran, dan kefetoran berada di bawah sonaf utama yakni pusat pemerintahan adat ke-usif-an.
Dalam masa berjalan, akhirnya pemerintahan adat ke-usif-an berganti menjadi Swapraja oleh Pemerintah Hindia Belanda, namun jabatan temukung tetap ada di sana. Jumlah temukung di dalam wilayah Swapraja Amarasi bervariasi dalam tuturan para tetua. Ada yang menyebut 60 temukung dan ada pula yang menyebut 62 temukung. Sebagai penulis, jumlah yang pasti tidak harus menjadi ganjalan dalam menulis artikel ini, karena sesungguhnya sasaran artikel ini bukan pada wilayah ketemukungan, namun pada nama salah satu sumber mata air di desa Nekmese. Nama salah satu wilayah bekas ketemukungan itu, Naet. Di dalam wilayah bekas ketemukungan ini terdapat satu sumber air, namanya, Maat Hitu', terjemahan harfiahnya, mata tujuh; maksudnya ada 7 titik sumber air. Benarkah?
Konteks Lokus Maat Hitu'
Maat Hitu' yang merupakan satu sumber air "terbesar" di desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan, lokasi tepatnya berada di Dusun Naet (dusun 01) di bibir/lereng hutan Sismeni'. Lokasi ini digadang-gadang Pemerintah desa Nekmese sebagai salah satu objek wisata alam pemandian. Oleh karena itu dibuatlah perencanaan untuk penataan lokasi ini secara artifisial agar terlihat menarik.
Perwujudannya sebagai destinasi objek wisata alam pemandian agaknya masih jauh dari harapan, karena lokasinya sempit dikelilingi oleh kepemilikan lahan mamar milik masyarakat. Pemerintah desa Nekmese tak dapat membebaskan lahan-lahan untuk pembangunan dan pengembangannya. Pembangunan irigasi ke areal persawahan yang diklaim seluas 60 hektar pada faktanya gagal. Demikian pula pembangunan kolam-kolam ikan air tawar yang diklaim akan memberi dampak ekonomi besar pada masyarakat pemilik lahan, justru makin tidak terurus secara baik.
Rasanya area di sekitar maat hitu' telah memberikan harapan-harapan semu dalam imajinasi Pemerintah desa Nekmese bersama masyarakat dalam wilayah Dusun Naet/Dusun 01 desa Nekmese. Maka, "lemah" pula Pemerintah desa Nekmese untuk menangani pembangunan dan pengembangan objek wisata pemandian di sana, sekaligus juga sumber air yang hendak didekatkan kepada masyarakat pun "gagal".
Konteks Legenda Maat Hitu'
Sebagaimana kisah 7 bidadari turun dari khayangan, ada kemiripannya. Dikisahkan ada 7 gadis sedang bermain-main di dalam hutan. Ketika itu belum ada mata air yang mengalir di tempat itu. Hutan lebat yang tidak boleh dimasuki orang karena larangan yang dikeluarkan oleh para pemangku adat.
Larangan ini menyebabkan komunitas-komunitas menjauhi hutan. Mereka tidak dapat mengambil kayu bakar di dalamnya. Mereka harus mencari di luar kawasan hutan agar terhindar dari sanksi yang memberatkan bila mengambil kayu bakar dari dalam hutan.
Pada suatu waktu, seorang pemuda masuk ke hutan. Ia tidak bermaksud mengambil kayu bakar. Ia hendak mencari buruan. Di perjalanan ia mendengar suara gadis-gadis tertawa. Suara-suara itu menggema di dalam hutan. Ia berjalan mendekati suara-suara itu. Dari kejauhan terlihat 7 gadis sedang berkejar-kejaran di sela-sela cahaya matahari. Cahaya matahari itu masuk di antara pepohonan sehingga cahayanya lurus. Di sanalah para gadis bagai berebutan berdiri di antara bias-bias cahaya itu.
Tanpa disengaja, pemuda itu menginjak sebatang ranting kering. Patah. Praak...! Suara itu terdengar oleh 7 gadis ini. Mereka tiba-tiba menghilang di dalam bias-bias cahaya matahari. Pemuda itu terkejut. Ia tidak melihat tujuh gadis itu lagi. Bias cahaya yang tadinya terlihat, kini berubah warna bagai warna pelangi. Lalu di ujung tiap bias cahaya terdapat lubang yang menyeburkan air.
Pemuda ini mendekati sumber-sumber air itu. Jumlahnya 7 sumber air. Mula-mula ia menyebut namanya oe boso, artinya air yang menyembul keluar dengan amat jernih. Seiring waktu berjalan, ketujuh mata air itu berganti nama menjadi Maat Hitu' artinya, Mata Tujuh; atau tujuh sembulan sumber air.
Penutup
Demikian kisah Maat Hitu' dalam fakta dan dongeng. Kiranya bermanfaat.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 4 Desember 2022
Keren bapa🙏
BalasHapusTerimakasih atas Artikel yang sudah dimunculkan oleh Bpk.Hiro, semoga mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga Distinasi ini bermanfaat bagi kepentingan banyak orang supaya warga masyarakat dapat merasakan keagungan Tuhan melalui MAAT HITU di tempat ini , harap supaya Bpk.Hiro dalam segala hal artikel ini selalu di anglat karena keberhasilan sebuah perjuangan harus dinamis, bukan statis. Terimakasih dari Bpk. Julius Bani di Lelogama.
BalasHapusTerima kasih Lelogama
Hapus