Stres Pangkat Empat untuk menjadi Guru Bersertifikat Pendidik

Selama 10 hari, guru-guru kelas dan guru mata pelajaran dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas mengikuti Diklat Profesi Guru (PLPG). Quota provinsi NTT tahun 2011 sebanyak 2000 orang guru sudah harus bersertifikat pendidik.  Pada salah satu lokasi diklat, kami mengikuti seluruh proses ini dengan hati dag, dug, dig, dog.
Dari cerita-cerita dengan para peserta, didapati asumsi bahwa mengikuti diklat profesi guru sudah jaminan sebagai guru profesional. Hal ini tentu menyenangkan. Ketika diklat dimulai, para guru mulai stres. Instruktur sesering mungkin mengucapkan stres, bahkan stresnya bertingkat. Maka, adalah baik kalau stres bertingkat itu disebut Stres Pangkat Empat untuk menjadi Guru Bersertifikat Pendidik. Inilah keempat stres itu.
Mengikuti Pre Tes.
1. Workshop penulisan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
2. Workshop penulisan  Perangkat pembelajaran
3.  Peer teaching
4. Ujian Akhir
Sebelum menguraikan keempat stres di atas, perlu disampaikan stres-stres kecil yang nampaknya turut memengaruhi keempat stres utama. Para stres kecil itu, antara lain: pre test, kuliah-kuliah umum oleh para Instruktur dari LPTK/FKIP Undana Kupang.
Pre Test dilakukan beberapa saat setelah seluruh peserta melakukan check in penginapan. Ini suatu kejutan. Guru-guru yang datang dengan memanggul semangat, lantar down motivasinya, karena terbeban hal kecil pre test. Tetapi hal yang satu ini ternyata dapat dilalui.
Kuliah-kuliah umum dengan diskusi menarik di seputaran profesi guru, tidak terlalu menjemukan. Para peserta yang kelelahan atau bahkan ada pula yang terlambat tiba, atau harus kembali ke rumah karena kedukaan menimpa anggota keluarga, toh bisa mengikuti semua materi dengan baik walau sambil mengangguk-angguk, bukan tanda mengerti tapi karena mengantuk.
Strees pertama, workshop PTK
Menurut saya, mudah-susah. Mudah kepada guru yang sering membaca buku, atau yang sedang melanjutkan studi. Hal itu akan memberikan motivasi bagi si guru untuk bersemangat. Apalagi kalau ia rajin membaca buku/literatur yang berhubungan dengan PTK tentu akan mudah baginya.
Susah, kepada guru yang mungkin untuk pertama kalinya mendengar kata-kata penelitian tindakan kelas. Benar atau tidak, sebagian guru mengaku belum pernah mendengar kata-kata ini, apalagi melakukan PTK itu sendiri di kelasnya.
Peserta diberi aspek pengetahuan, kemudian dituntun untuk dapat menulis, minimal proposal PTK. Mula-mula diharapkan para peserta PLPG mampu mengidentifikasi sejumlah masalah, tindakan apa yang kiranya dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah itu, dan merumuskan satu permasalahan dari sekian banyak identifikasi masalah yang didapatkan. Ternyata, banyak guru mampu melakukannya. Bahkan setelah itu para guru sekalipun dalam bentuk yang sederhana, telah mampu menyusun proposal PTK dengan baik. Nilai ... ?? Yang pasti ada nilai plusnya untuk para guru karena telah "terpaksa" melakukannya demi "perbaikan nasib", begitu kata beberapa peserta.

Strees kedua
Menyiapkan perangkat pembelajaran, mulai dari kajian kurikulum untuk menyusun silabus, membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, menyiapkan media/alat, sumber, dan alat evaluasi, sebenarnya sudah menjadi "makanan" para guru. Namun, ternyata setibanya di tempat diklat hal-hal semacam ini justru dikeluhkan. Tanya sana, tanya sini, ternyata karena banyak guru tidak melakukan rutinitas itu. Tugas pokok ini sering diabaikan, mengajar mentransfer pengetahuan, bahkan mengajar ketrampilan dengan meminta siswa (termasuk siswa SD) membayangkan apa yang akan dilakukan.
Ini gambaran yang mendukakan. Dan, ternyata setelah dipush up, para guru mampu bekerja seperti yang seharusnya dikerjakan di sekolah setiap hari.

Strees ketiga
Peer teaching, suatu yang sebenarnya tidak perlu masuk kategori stres. Tapi nyatanya strees juga. Gugup, nervous, itu terjadi pada para guru. menghadapi rekan-rekan satu profesi yang berlagak sebagai siswa memang butuh kesiapan mental.
Sekalipun agak strees tapi dilakoni dengan baik dengan segala lika-likunya.

Strees keempat
Ujian Akhir Nasional (UAN), didahului dengan ujian lokal. Ujian lokal patut diakui memang sulit, karena jumlah butir soal yang hanya 10 nomor, seluruhnya dalam bentuk essey test. Stres memang, karena waktu terbatas, disusul dengan UAN yang harus menggunakan LJK. Jumlah butir soal 100 nomor, dengan soal-soal yang panjang, yang harus dibaca minimal 1 kali atau maksimal 2 kali saja untuk segera memberi tanda hitam pada LJK. Strees memang.

Dan, akhirnya seluruh stress telah dilewati sampai pada titik STOP strees, untuk pulang ke sekolah masing-masing memulai strees baru pada tahun baru 2012 ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya