Lalat Itu
Di suatu kampung yang jauh dari kebisingan perkotaan,
hiduplah seorang ibu dan anak perempuannya semata wayang. Si ibu bernama ain Paku
dan anaknya perempuan bernama bi Meni.
Sebagai budaya atoin meto’, ain Paku mempunyai sebutan manis lainnya yaitu ain Pina’
dan bi Meni disebut ain Foo. Bila kedua istilah nama itu bila digabung akan
menjadi Paukpina’ atau Piinpaku, dan Foomeni
atau Meinfoo. Sebagai atoin meto’ kedua anak-beranak ini hidup dalam
kesederhanaan. Mereka berada dalam satu lingkungan kampung yang tidak banyak
terdapat mata air. Satu-satunya sumber air yang diharapkan di tempat itu
namanya, Oe ‘Moef yang sekaliguss menjadi nama kampung atau desa itu.
Diceritakan bahwa ain Paukpina’ dan bi Meinfoo hidup sederhana dengan
kebiasaan mengikuti secara turun-temurun para orang tua dan leluhur, yaitu
berladang sambil memelihara ternak seperti ayam, kambing, babi dan sapi. Sebagai
perempuan keduanya tidak bisa berladang pada area yang luas. Cukuplah untuk
memenuhi kebutuhan pangan setiap hari. Begitu pula dengan ternak yang mereka
pelihara hanya beberapa ekor ayam dan tiga ekor kambing yang terdiri dari satu
ekor jantan dan 2 ekor betina yang susunya diperah untuk menjadi minuman segar bila
kambing-kambing betina beranak. Anak kambing dijual, sementara susu diperah
untuk dijadikan minuman segar walaupun bersifat musiman.
Jagung dan susu kambing menjadi makanan keduanya. Jagung dimakan
dengan bermacam olahan seperti; jagung goreng, jagung bose, jagung katemak,
nasi jagung, emping jagung, jagung titi. Bila musim panen jagung mereka
mengolah jagung sebagai jagung bakar, jagung muda rebus, dan borbak. Susu yang
telah diperah dimasak untuk membunuh kuman/bakteri agar ketika dikonsumsi
memberi dampak kesehatan pada tubuh. Itulah gambaran hidup dari anak-beranak
ini di kuan Oe ‘Moef.
Suatu ketika datanglah dari kota orang-orang berpendidikan.
Mereka mengendarai mobil-mobil bermerk. Tampilan yang hebat. Bahasa yang
dipakai benar-benar menunjukkan keberadaan orang-orang itu sebagai yang berpendidikan tinggi, bergelar sarjana badongko’. Menarik. Dalam percakapan
dengan masyarakat, mereka melihat ain Paukpina’ dan anaknya bi Meinfoo.
Diajaknya keduanya untuk menjadi teman dengan sedikit pendidikan teknologi dan
informasi. Bi Meinfoo diberi satu unit handphone
dengan merk tertentu yang luar biasa banyaknya vitur sehingga memudahkannya
untuk mengakses informasi di luar kampung itu.
Bi Meinfoo berubah sifat dan tabiatnya. Ia yang tadinya
penurut pada orang tua, membantu orang tua sepulangnya dari sekolah di sekolah
menengah pertama yang dekat dengan kampung Oe ‘Moef. Kini, bi Meinfoo kecanduan
handphone. Sang ibu ain Paukpina’ hampir
tidak dapat lagi mengatur sikap, tutur dan tindakan anaknya bi Meinfoo.
Orang berpendidikan datang secara terus-menerus memberi
pendidikan yang katanya memberi karakter dan hakekat Tuhan pada bi Meinfoo.
Setiap kali mereka datang, bi Meinfoo diberi sesuatu sebagai hadiah, sementara
kepada ain Paukpina’ diberi wanti-wanti untuk tidak melakukan kekerasan
terhadap anak karena akan melanggar undang-undang perlindungan anak. Hal itu
terus-menerus menjadi santapan enak pada bi Meinfoo. Sementara ain Paukpina’
hanya manggut dan senyum-senyum saja walau di hati ada rasa kecut karena bi
Meinfoo kini bukan lagi miliknya. Badannya saja yang ada di dalam pangkuan ain Paukpina’,
pikiran, sikap, tuturan ada yang mengaturnya. Mereka yangmengatur itu semua
menyebut diri sebagai malaikat dan dewa penolong.
Dikisahkan pula, suatu ketika datang ketika ain Paukpina’ menyediakan
susu dan makan nasi jagung di pagi hari. Bi Meinfoo menolak. Ia memilih untuk
mendapatkan susu bubuk berbungkus rapi, manis dan mengkilat keluaran pabrik
sebagaimana yang biasanya diberikan oleh orang-orang berpendidikan itu. Bi
Meinfoo pun tidak sudi makan nasi jagung. Ia memilih makan nasi putih yang
harus diberi lauk seperti yang diberikan oleh para tamu setiap kali mereka
datang dari kota. Padahal, setiap kali para tamu datang, ain Paukpina’
menyembelih seekor ayam, sehingga ayam-ayam milik mereka menjadi berkurang. Ain
Paukpina’ terpaksa harus mencari tambahan untuk membeli ayam yang dipaksa besar
oleh para peternak ayam di luar desanya. Ayam yang seperti itu hanya bisa
didapat dengan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli ayamnya, dan uang untuk
membayar jasa pengendara sepeda motor yang disebut tukang ojek. Kelihatannya ain
Paukpina’ tidak menampilkan kegundahan hatinya. Ia nampak gembira ketika setiap
bulan dikunjungi orang-orang berpendidikan itu dari kota.
Hari ini, sebagaimana biasanya lalat-lalat hinggap pada
susu yang diperah. Di antara lalat-lalat itu terdapat seekor yang kelihatan
berbeda dari lalat-lalat lainnya. Dari tampilan lalat itu, kelihatannya ia
lalat yang indah, karena warna-warni sayapnya, dan keunikan bentuknya. Lalat itu
ditangkap oleh bi Meinfoo kemudian ditempatkan ke dalam toples kaca untuk
dipelihara. Setiap hari sang lalat dilihat oleh bi Meinfoo. Ia membuat banyak
foto dengan lalat itu. Lalat itu dipamerkan melalui jejaring media sosial
feisbuk dan grup-grup feisbuk dimana bi Meinfoo menjadi anggota. Tidak
ketinggalan twiter, instagram, dan lain-lain.
Kini bi Meinfoo menjadikan HP dan lalat itu sebagai
temannya. Ain Paukpina’ secara perlahan diacuhkan. Nasi jagung mulai diabaikan.
Susu kambing ditiadakan berganti dengan susu bubuk dalam bungkusan saset. Ayam
yang dipelihara mulai dijual setiap minggu untuk pembelian pulza. Setiap bulan
bi Meinfoo harus membeli blok pulza untuk berselancar di jejaring sosial yang
katanya membangun jejaring networking. Banyak-banyak sudah teman, sahabat dan
kenalannya bi Meinfoo menjadikannya manusia canggih abad ke-21 yang
disebut-sebut sebagai milenium ketiga. Ibunya menjadi manusia kuno abad ke-20
yang ditarik masuk ke abad 21 dengan kecanggihan produk teknologi dan informasi.
Uang. Uang. Uang menjadi tuan di dalam rumah ain Paukpina’.
Setiap rupiah yang diberikan oleh orang berpendidikan yang berkunjung setiap
bulan diserahkan kepada ain Paukpina’ untuk kebutuhan bi Meinfoo. Bi Meinfoo setiap
hari merengek minta uang kepada ibunya ain Paukpina’. Sang ibu harus mencari
dengan berpanas-panas atau harus berhujan-hujanan untuk mendapat uang agar
terus-menerus terpenuhi uang jajan setiap hari kepada bi Meinfoo. Bi Meinfoo
sendiri selalu ingat pesan dari orang berpendidikan dari kota bahwa, ibunya
tidak boleh memarahi apalagi memukul karena itu akan melanggaran undang-undang
perlindungan anak, sehingga ibu dapat saja dipenjara. Ain Paukpina’ hanya bisa
mengulang-ulang nasihatnya, bahwa orang-orang pintar dari kota itu sifat
bantuannya tidak parmanen. Mereka membantu sesaat untuk mendorong daya cipta. Tetapi,
bi Meinfoo tidak peduli lagi.
Ia senantiasa mengikuti dari media sosial untuk mengetahui
kapan orang-orang berpendidikan itu tiba lagi pada bulan berikutnya, lalu
uangpun masuk ke kantong buruk ibunya, dan ia bisa meminta kapan saja. Ayam
yang dipelihara tinggal beberapa ekor saja. Kambing yang tersisa hanya seekor
yaitu kambing jantan. Kambing betina sudah dijual seekor. Seekor lagi telah
dijadikan tumbal kedatangan para tamu. Ain Paukpina’ hanya menyapu dada, dan
berusaha tetap tersenyum karena orang-orang berpendidikan itu tidak boleh
merasa disinggung.
Kini kehidupan ain Paukpina’ dan anaknya berubah.
Masyarakat di sekitar mereka juga berubah. Sifat kekeluargaan berubah menjadi
kekeluargaan munafik. Bertemu, wajah tersenyum, berbalik, mulut komat-kamit.
Bertemu, meneduhkan angin panas di hati, berbalik, mengipas-ngipas bara api di
bathin. Masyarakat desa Oe ‘Moef kini diserang beberapa penyakit seperti: mulut
komat-kamit karena gatal; buah kepala besar karena dicukur; hidung berbau sehingga
tak ada lagi ciuman, tangan luka sehingga tak lagi bersalaman. Tersisa pada
tangan hanya telapak yang selalu memberi salam dengan kata-kata daaaaaaa.......
. Penyakit-penyakit akan terus bertambah
seiring berjalan majunya waktu di abad ke-21 itu. Anak-anak seperti bi Meinfoo dari
desa Oe ‘Moef beberapa di antaranya sudah mulai keluar dengan semangat dan
motivasi fatamorgana. Hal yang sama dilakukan oleh generasi berikutnya.
Di rumah ain Paukpina’ hanya pasrah. Tetangganya mengajak
untuk melepas ketergantungan pada orang berpendidikan dari kota. Ain Paukpina’
tidak berdaya karena anaknya lebih mencintai orang-orang itu, ditambah adanya
hadiah-hadiah yang selalu diberikan sehingga ain Paukpina’ menjadi malu. Harga
dirinya sudah terbeli oleh orang berpendidikan itu. Anaknya bi Meinfoo
bergantung hampir seratus persen pada mereka. Lalat itu bertambah hari,
bertambah cantik saja. Ia semakin dicintai oleh bi Meinfoo. Ain Paukpina’ tidak
berdaya menghadapi anak dan kroninya dari kota. Sedih... .
Komentar
Posting Komentar