AJARAN
Pengantar
Dalam bulan Oktober 2015 salah satu golongan/aliran
(denominasi) dalam agama Kristen (Protestan) mengadakan kebaktian kebangunan
rohani (KKR) di salah satu desa dalam wilayah Amarasi Raya. Kegiatan ini
melibatkan pengunjung dari dalam denominasi itu sendiri dan denominasi lainnya,
terutama yang berada di dalam wilayah
desa itu. KKR tersebut diadakan dalam satuan waktu 6 hari, yang setiap harinya
berlangsung sekitar pukul 18.00 – 21.30 waktu setempat. Pada setiap pertemuan
dibahas satu tema dengan diselingi do’a, puji-pujian kepada Tuhan dan juga
babak mengajukan pertanyaan secara tertulis, dan akan dijawab pada hari
terakhir KKR. Sayangnya, sejumlah pertanyaan tertulis yang diajukan itu tidak
sempat dijawab oleh pembicara berhubung puncak acara KKR diisi dengan kegiatan
di luar arena.
Menarik, pembicara dan pendengar begitu antusias berhubung
kegiatan semacam ini tidak selalu terjadi di desa. Fenomena lainnya adalah,
lokasi di pusat desa menjadi ramai karena kedatangan tamu-tamu selama sepekan
KKR. Ada nuansa sosial dan keagamaan yang hendak dirajut dalam KKR ini. Bagaimana
isi ajarannya di telinga para pengunjung? Jawabannya, bergantung dari aspek
mana pengunjung melihatnya. Seorang pengunjung yang sudah renta [kira-kira
80-an tahun(saya pakai istilah sang kakek)], setia dalam KKR tersebut. Ia
berasal dari denominasi lain, namun demi mempertebal keimanan/keyakinannya pada
Yesus Kristus, ia hadir dalam KKR tersebut. Beberapa hari setelah KKR itu berlangsung,
ia mendatangi saya, memberitahukan sepenggal pengalamannya ketika menghadiri
KKR oleh denominasi itu.
Pengalaman sang Kakek dan Jawaban Padanya
Sang kakek bercerita begini. Saya mendapat kesan bahwa KKR
yang saya ikuti itu “menyerang” ajaran kita. Mereka mengatakan bahwa yang
dilakukan oleh orang-orang di luar denominasi mereka, adalah tindakan yang
keliru bahkan salah sehingga menyesatkan banyak orang. Baptisan dan hari ibadah
istimewa sesuai perintah Tuhan adalah dua hal yang dipermasalahkan. Dari
sepenggal pengalaman itu, selanjutnya saya bertanya kepada sang kakek. Apa yang
kakek harapkan untuk saya perbuat? Apakah kakek berharap saya bertindak untuk
melakukan pengajaran balasan terhadap mereka? Ataukah kakek hanya menginginkan
suatu diskusi setelah mengikuti KKR?
Sang kakek menjawab, bahwa ia berharap ada penyegaran
kembali atas ajaran gereja (setempat melalui Majelis Jemaaat) agar ajaran yang
bersifat “menyerang” dari denominasi gereja tidak masuk sebagai virus yang
menyebar dalam tubuh gereja (jemaat). Bila hal itu terjadi, maka orang akan
goyah pada ajaran yang sudah ditanamkan oleh denominasi sendiri. Bila ajaran
denominasi sendiri kurang kokoh, dapat saja dirobohkan sehingga mereka akan
membangun yang baru berdiri di atasnya. Selanjutnya sang kakek menjelaskan
sedikit pengetahuannya berdasarkan kitab suci (alkitab). Ia meyakini bahwa
baptisan yang diterimanya yaitu baptisan percik adalah benar. Kemudian
beribadah pada hari minggu adalah tepat.
Saya memberikan jawaban sebagai berikut. Gereja, melalui
para abdinya, dari abad ke abad mengajar berdasarkan Alkitab. Semua penganut
Kristen mengakui bahwa Alkitab adalah kitab (buku) yang melampaui segala kitab
(buku). Ia berisi Firman Tuhan. Firman Tuhan tidak dapat diplesetkan, diplintir
dan diputarbalikkan untuk kepentingan seseorang, dan sekelompok orang. Semuanya telah diilhamkan untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran (2Tim.3:16).
Sang kakek bertanya, “Lantas mengapa para abdi berbeda yang
menyebabkan ada perbedaan-perbedaan dalam kehidupan bergereja?” Pertanyaan ini
menantang saya untuk mencarikan jawabannya. Saya mesti jujur bahwa saya begitu
awam dengan persoalan ini. Namun, sang kakek mengetahui bahwa saya adalah
anggota majelis jemaat setempat sehingga harus bisa memberikan pencerahan
kepada jemaat (umat), termasuk sang kakek yang secara kebetulan hadir dalam KKR
itu.
Jawabannya adalah sebagai berikut. Alkitab berisi Firman
Tuhan dipahami orang secara
berbeda-beda. Ada interpretasi (penafsiran) ayat yang satu dengan ayat lain
lain, antara satu orang dengan orang lain, atau antara satu kelompok dengan
kelompok lain saling berbeda. Hal ini terjadi pada banyak ayat alkitab.
Akibatnya, terjadi “perpecahan” di dalam tubuh gereja (umat/jemaat). Hal ini
menyebabkan jemaat (umat) berbondong-bondong menjadi pengikut pada para pemikir
teologi tersebut sambil tetap mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan . Maka,
tidak mengherankan kalau sakramen baptisan yang menggunakan air dan tiga nama
yang esa, menjadi perdebatan yang berkepanjangan. Ada yang mengajarkan baptisan
dengan air itu harus selam, dan ada pula yang mengajarkan cukup dengan percik.
Dua kutub ini masing-masing ada argumentasinya yang kuat bahkan berdasarkan
Alkitab.
Hal berikut, hari istimewa untuk beribadah. Mengapa hari
minggu dan bukan hari Sabtu? Atau mengapa Sabtu harus diutamakan daripada hari
minggu? Jawaban saya sebagai awam untuk memuaskan hasrat diskusi sang kakek
adalah sebagai berikut. Saya tidak dapat merujuk ayat alkitab yang tepat.
Tetapi, bila dinyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Terang Dunia, maka kita
mesti menyadari bahwa DIAlah yang mula-mula menjadi terang untuk membuka jalan
masuk ke dalam dunia yang gelap, yang belum tercipta, belum ada. Yesus Kristus
yang mengawali segala sesuatu. Tidak baikkah kalau orang memulai ibadah pada
hari pertama setiap minggu? Bukankah Ia bangkit dan menang atas maut, yang
artinya Ia lebih berkuasa atas kegelapan karena Ia adalah Terang itu? Walau
begitu, patut diingat bahwa ibadah/kebaktian kepada Tuhan mestinya dapat
dilakukan setiap saat, bukan pada hari tertentu, bukan?
Akhirnya saya menutup diskusi dengan sang kakek dengan
kata-kata sebagai berikut, sebagai yang awam dunia ajaran teologi, mengapa kita
ikut dalam perdebatan mereka? Bukankah akan menjadi sia-sia, bahkan bisa jadi
akan menyesatkan diri sendiri?
Penutup
Siapa sangka sang kakek begitu antusias terhadap khotbah
yang disampaikan dalam KKR. Khotbah itu membekas dalam hatinya. Sayangnya, ia
memilih yang terasa “menyerang” akan keyakinannya pada ajaran yang telah
mendarahdaging dalam dirinya. Ia yakin pada ajaran baptisan dengan cara percik atas nama trinitas. Ia juga
begitu yakin pada ajaran tentang ibadah pada hari Minggu. Ia begitu teguh pada
pengajaran ini, dan sesungguhnya ia tidak keliru. Sementara mereka yang
mengatakan baptisan dengan cara selam lebih tepat, kemudian Sabat sebagai hari
yang istimewa untuk beribadah, tentu mereka mempunyai alasan tersendiri yang
bagi mereka adalah tepat. Mengapa saya dan sang kakek mesti berpolemik dengan
mereka?
Komentar
Posting Komentar