Di Ruang Kerja Drs. Leonard Haning, M.M
Kamis, 21 Januari 2016, saya dan tiga orang teman berangkat dengan bersepeda motor dari Kota Oepoi-Kupang menuju Pelabuhan Penyeberangan Bolok. Ternyata kami sudah terlambat. Sepeda motor sudah tidak dapat ditampung di atas dek kapal. Penumpang masih mungkin untuk itu. Tanpa diskusi, pimpinan rombongan Pdt. Munce Therik mengambil ancang-ancang putar haluan. Kami menuju ke Pelabuhan Tanjung Lontar Tenau dimana kapal feri Bahari Express akan berangkat pada jam 09.00 WITa.
Kami tidak dapat membawa dua unit sepeda motor ke Rote berhubung kapal feri cepat hanya membawa penumpang saja. Akhirnya tiga orang pemuda dari BFA Oepoi Kupang didatangkan untuk mengambil dua unit sepeda motor yang dengan terpaksa kami harus tinggalkan. Kami akhirnya dapat menyeberang ke Rote dengan feri cepat Bahari Express.
Kami tiba di pelabuhan laut Ba'a pukul 10.10 WITa. Seseorang yang telah mendapat kabar dan telah menyediakan diri, waktu, tenaga dan fasilitas kendaraan telah menunggu kami untuk membawa kami ke tempat dimana kami akan melakukan pertemuan dan kegiatan yang membangun kebersamaan.Orang itu bernama Yapi. Seorang PNS di lingkup Pemkab Rote-Ndao. Isterinya seorang PNS juga di sana. Keduanya menerima kami dengan sukacita, menyediakan makanan dan fasilitas yang kami butuhkan untuk kepentingan selama berada di Rote.
Sebelum sampai ke rumah pak Yapi, kami harus mampi di SPBU untuk mengisi BBM dalam tangki mobil berhubung SPBU di Ba'a dan seluruh pulau Rote hanya satu-satunya dan ditutup pada pukul 14.00 WITa. Bila tidak sempat mengisi BBM disana, maka terpaksa mengisinya di para pengecer botolan.
Di SPBU ini kami bertemu dengan seorang pejabat yang menurut informasi ia merupakan oknum ring satu. Saya sangat kenal dan mengetahui siapa pejabat itu. Ia seorang teman ketika masih di kampus. Jabatannya pada waktu itu adalah salah satu pengurus teras HMJ Program Studi PGSD. Setelah berkarya sebagai guru, kini ia dialihfungsikan sebagai PNS dalam jabatan struktural dan ditempatkan di salah satu kecamatan di kabupaten Rote-Ndao. Sang pejabat membantu dengan menginformasikan bahwa ada satu tim kecil ingin bertemu bupati. tim ini terdiri dari seorang wartawan, dua orang pendeta, dan seorang tenaga teknis IT. Kami berpisah dengan sang pejabat setelah saling berbagi nomor handphone.
Di rumah pak Yapi kami sempat disuguhi minum sambil menunggu redanya hujan. Setelah berganti pakaian yang rapi menurut ukuran saya, kami berangkat untuk bertemu Bupati Rote-Ndao, Drs. Leonard Haning, M.M.
Kami mendaftar di meja receptinist. Buku tamu diantar ke dalam ruang bupati. Sekitar tiga menit kemudian sang bupati keluar dari ruangannya. Kami mencoba berdiri untuk memberi salam pada sang bupati. Ia malah "membentak" seorang di antara kami. "Siapa kamu. Main serobot aja!" begitu kata sang bupati.
Kami tidak bermaksud serobot. Kami hendak memberi salam dan hormat kami karena sebagai tamu kami ingin menghormati tuan rumah yang mungkin hendak sedikit mengambil jeda waktu, menghirup udara sejuk dan segar setelah beberapa jam berada di ruangannya. Sang bupati kemudian masuk kembali ke dalam ruangan diikuti dua orang pegawai. Satu menit kemudian seorang pegawai (perempuan) membawa kertas untuk mencatat nama tamu, yaitu kami yang akan bertemu dengan bupati. Kami beritahukan bahwa kami sudah mendaftar di buku tamu. Selanjutnya kami dipersilahkan masuk.
Bupati Drs. Leonard Haning, M.M disebut sebagai sulung Rote-Ndao, atau ada yang menyebutnya maneleo inhuuk. Ruang kerjanya cukup luas. Ada satu unit kursi tamu yang spesial rupanya untuk tamu-tamu VVIP atau VIP. Sedangkan tamu umum dilayani di meja yang ditata sedemikian rupa menyerupai meja rapat staf.
Pdt. Munce Therik membuka percakapan dengan perkenalan. Ia memperkenalkan diri. Sang bupati menyambarnya dengan pertanyaan, "Apa yang hendak kamu liput? Dan apa selanjutnya maksud kalian?"
Setelah dijelaskan proposal yang kami bawa, surat yang kami bawa, dan terutama niat untuk melakukan satu kegiatan pendidikan non-formal yang melibatkan guru di Kabupaten Rote-Ndao, sang bupati pun memberi jawaban yang langsung "mematikan langkah" kami.
Kami pun tidak harus putus harapan. Saya masuk dalam percakapan baru yang saya sebut sebagai sesi kedua. Dalam sesi kedua ini saya mengatakan bahwa dua buah buku yang ditulis oleh Drs. Leonard Haning, M.M telah saya baca. sang bupati pun tergelitik. Ia bersemangat dan memberitahukan bahwa bukan hanya dua buku.
Saya mencoba menyela dengan mengatakan bahwa menurut kabar yang beredar resmi di situs-situs bupati Rote-Ndao telah menulis 6 buku. Sang bupati menanggapi dengan lebih bersemangat lagi. Ia mengatakan bahwa buku yang sudah ditulisnya sudah sembilan judul. Tiga yang terbit terakhir dalam bulan Oktober dan Desember masih tersisa di kantornya.
Ia memanggil seorang pegawai dan memberi aba-aba agar buku-buku terbitan terakhir dibawakan pada para tamu. Tiga buah buku diserahkan pada kami: Hati Emas Sulung Rote-Ndao Lens Haning, Mengentaskan kemiskinan menyejahterakan masyarakat Rote-Ndao, dan Rote Mengajar Punya Cerita.
Saya menerima ketiga buku itu. Selanjutnya saya memohon advis untuk satu tulisan yang saya beri judul Lens Haning, Nakhoda Baru Sangga Ndolu. Ia menilai judul itu tanggung jawab penulis, silahkan tulis untuk memperkaya khazanah perbukuan di Rote-Ndao.
Diskusi semakin menarik, setelah kami diberi peluang untuk boleh menyelenggarakan seminar di kabupaten Ba'a Rote-ndao dengan catatan harus membawa rekomendasi dari pemerintah provinsi NTT, paling tidak dari Dinas PPO Provinsi NTT, akan lebih afdol jika langsung dari Gubernur NTT.
Saya terus menyentil tentang Foeh Mbura sang Raja, Penginjil dan Pendidik. Saya mengusulkan untuk diberikan Foeh Mbura Award kepada para guru. Sang bupati rasanya setuju, tetapi harus melalui mekanisme yang benar yaitu ada dasar hukumnya. Misalnya Perbup atau Perda.
Saya menyentil lagi soal Lakamola Anan Sio yang kesohor karena telah berhasil mengangkat citra masyarakat dan pemerintah kabupaten Rote-Ndao. Sang bupati menyatakan bahwa semua itu ada dasar alkitabiahnya. Setelah menanyakan dua orang staf yang duduk bersama kami dan keduanya tidak mengetahui ayat alkitab yang dimaksud, sang bupati menelpon Kadis Pertanian yang kebetulan berada di Kota Kupang dalam rangka tugas.
Sang Kadis tidak mengetahui secara persis dimana ayat yang dimaksudkan sang bupati atasannya itu. Seorang pegawai dipanggil untuk memberi jawab. PNS (perempuan berbaju merah, langsing dan cantik) tidak dapat memberi jawab. Si PNS disuruh memanggil pimpinannya. Ternyata datang dua orang sekaligus yaitu Kabag Umum dan Asisten 1. Sang Kabag Umum hampir tidak sempat duduk, sang bupati sudah memberi perintah baru mencarikan tiket pesawat untuk seseorang. Sedang A1 langsung dapat memberi jawaban atas pertanyaan sang bupati tentang dasar alkitab Lakamola Anan Sio. Ibrani 6:8. Saya segera membuka bagian yang disebutkan. Ternyata kurang tepat, mestinya Ibrani 6:7-8. Nah, sang bupati pun setuju dengan apa yang saya baca. Ayat 7 berbicara tentng berkat atas tanah, dan ayat 8 berbicara tentang kutukan bila tanah tidak dikelola secara tepat.
Diskusi kami cukup berkualitas sehingga memakan waktu sampai 2 jam sehingga para pejabat eselon II yang menunggu di ruang tunggu untuk bertemu dengan bupati harus kecewa dan memberi wajah tanpa ekspresi pada kami ketika kami meninggalkan ruang kerja sang bupati.
Sebelum meninggalkan ruang kerja pak bupati, nomor handphone Pdt. Munce diambil oleh seorang PNS untuk komunikasi lanjutan. selanjutnya Pdt. Munce berdo'a. Kami akhiri dengan salaman dan foto bersama.
Kami tidak dapat membawa dua unit sepeda motor ke Rote berhubung kapal feri cepat hanya membawa penumpang saja. Akhirnya tiga orang pemuda dari BFA Oepoi Kupang didatangkan untuk mengambil dua unit sepeda motor yang dengan terpaksa kami harus tinggalkan. Kami akhirnya dapat menyeberang ke Rote dengan feri cepat Bahari Express.
Kami tiba di pelabuhan laut Ba'a pukul 10.10 WITa. Seseorang yang telah mendapat kabar dan telah menyediakan diri, waktu, tenaga dan fasilitas kendaraan telah menunggu kami untuk membawa kami ke tempat dimana kami akan melakukan pertemuan dan kegiatan yang membangun kebersamaan.Orang itu bernama Yapi. Seorang PNS di lingkup Pemkab Rote-Ndao. Isterinya seorang PNS juga di sana. Keduanya menerima kami dengan sukacita, menyediakan makanan dan fasilitas yang kami butuhkan untuk kepentingan selama berada di Rote.
Sebelum sampai ke rumah pak Yapi, kami harus mampi di SPBU untuk mengisi BBM dalam tangki mobil berhubung SPBU di Ba'a dan seluruh pulau Rote hanya satu-satunya dan ditutup pada pukul 14.00 WITa. Bila tidak sempat mengisi BBM disana, maka terpaksa mengisinya di para pengecer botolan.
Di SPBU ini kami bertemu dengan seorang pejabat yang menurut informasi ia merupakan oknum ring satu. Saya sangat kenal dan mengetahui siapa pejabat itu. Ia seorang teman ketika masih di kampus. Jabatannya pada waktu itu adalah salah satu pengurus teras HMJ Program Studi PGSD. Setelah berkarya sebagai guru, kini ia dialihfungsikan sebagai PNS dalam jabatan struktural dan ditempatkan di salah satu kecamatan di kabupaten Rote-Ndao. Sang pejabat membantu dengan menginformasikan bahwa ada satu tim kecil ingin bertemu bupati. tim ini terdiri dari seorang wartawan, dua orang pendeta, dan seorang tenaga teknis IT. Kami berpisah dengan sang pejabat setelah saling berbagi nomor handphone.
Di rumah pak Yapi kami sempat disuguhi minum sambil menunggu redanya hujan. Setelah berganti pakaian yang rapi menurut ukuran saya, kami berangkat untuk bertemu Bupati Rote-Ndao, Drs. Leonard Haning, M.M.
Kami mendaftar di meja receptinist. Buku tamu diantar ke dalam ruang bupati. Sekitar tiga menit kemudian sang bupati keluar dari ruangannya. Kami mencoba berdiri untuk memberi salam pada sang bupati. Ia malah "membentak" seorang di antara kami. "Siapa kamu. Main serobot aja!" begitu kata sang bupati.
Kami tidak bermaksud serobot. Kami hendak memberi salam dan hormat kami karena sebagai tamu kami ingin menghormati tuan rumah yang mungkin hendak sedikit mengambil jeda waktu, menghirup udara sejuk dan segar setelah beberapa jam berada di ruangannya. Sang bupati kemudian masuk kembali ke dalam ruangan diikuti dua orang pegawai. Satu menit kemudian seorang pegawai (perempuan) membawa kertas untuk mencatat nama tamu, yaitu kami yang akan bertemu dengan bupati. Kami beritahukan bahwa kami sudah mendaftar di buku tamu. Selanjutnya kami dipersilahkan masuk.
Bupati Drs. Leonard Haning, M.M disebut sebagai sulung Rote-Ndao, atau ada yang menyebutnya maneleo inhuuk. Ruang kerjanya cukup luas. Ada satu unit kursi tamu yang spesial rupanya untuk tamu-tamu VVIP atau VIP. Sedangkan tamu umum dilayani di meja yang ditata sedemikian rupa menyerupai meja rapat staf.
Pdt. Munce Therik membuka percakapan dengan perkenalan. Ia memperkenalkan diri. Sang bupati menyambarnya dengan pertanyaan, "Apa yang hendak kamu liput? Dan apa selanjutnya maksud kalian?"
Setelah dijelaskan proposal yang kami bawa, surat yang kami bawa, dan terutama niat untuk melakukan satu kegiatan pendidikan non-formal yang melibatkan guru di Kabupaten Rote-Ndao, sang bupati pun memberi jawaban yang langsung "mematikan langkah" kami.
Kami pun tidak harus putus harapan. Saya masuk dalam percakapan baru yang saya sebut sebagai sesi kedua. Dalam sesi kedua ini saya mengatakan bahwa dua buah buku yang ditulis oleh Drs. Leonard Haning, M.M telah saya baca. sang bupati pun tergelitik. Ia bersemangat dan memberitahukan bahwa bukan hanya dua buku.
Saya mencoba menyela dengan mengatakan bahwa menurut kabar yang beredar resmi di situs-situs bupati Rote-Ndao telah menulis 6 buku. Sang bupati menanggapi dengan lebih bersemangat lagi. Ia mengatakan bahwa buku yang sudah ditulisnya sudah sembilan judul. Tiga yang terbit terakhir dalam bulan Oktober dan Desember masih tersisa di kantornya.
Ia memanggil seorang pegawai dan memberi aba-aba agar buku-buku terbitan terakhir dibawakan pada para tamu. Tiga buah buku diserahkan pada kami: Hati Emas Sulung Rote-Ndao Lens Haning, Mengentaskan kemiskinan menyejahterakan masyarakat Rote-Ndao, dan Rote Mengajar Punya Cerita.
Saya menerima ketiga buku itu. Selanjutnya saya memohon advis untuk satu tulisan yang saya beri judul Lens Haning, Nakhoda Baru Sangga Ndolu. Ia menilai judul itu tanggung jawab penulis, silahkan tulis untuk memperkaya khazanah perbukuan di Rote-Ndao.
Diskusi semakin menarik, setelah kami diberi peluang untuk boleh menyelenggarakan seminar di kabupaten Ba'a Rote-ndao dengan catatan harus membawa rekomendasi dari pemerintah provinsi NTT, paling tidak dari Dinas PPO Provinsi NTT, akan lebih afdol jika langsung dari Gubernur NTT.
Saya terus menyentil tentang Foeh Mbura sang Raja, Penginjil dan Pendidik. Saya mengusulkan untuk diberikan Foeh Mbura Award kepada para guru. Sang bupati rasanya setuju, tetapi harus melalui mekanisme yang benar yaitu ada dasar hukumnya. Misalnya Perbup atau Perda.
Saya menyentil lagi soal Lakamola Anan Sio yang kesohor karena telah berhasil mengangkat citra masyarakat dan pemerintah kabupaten Rote-Ndao. Sang bupati menyatakan bahwa semua itu ada dasar alkitabiahnya. Setelah menanyakan dua orang staf yang duduk bersama kami dan keduanya tidak mengetahui ayat alkitab yang dimaksud, sang bupati menelpon Kadis Pertanian yang kebetulan berada di Kota Kupang dalam rangka tugas.
Sang Kadis tidak mengetahui secara persis dimana ayat yang dimaksudkan sang bupati atasannya itu. Seorang pegawai dipanggil untuk memberi jawab. PNS (perempuan berbaju merah, langsing dan cantik) tidak dapat memberi jawab. Si PNS disuruh memanggil pimpinannya. Ternyata datang dua orang sekaligus yaitu Kabag Umum dan Asisten 1. Sang Kabag Umum hampir tidak sempat duduk, sang bupati sudah memberi perintah baru mencarikan tiket pesawat untuk seseorang. Sedang A1 langsung dapat memberi jawaban atas pertanyaan sang bupati tentang dasar alkitab Lakamola Anan Sio. Ibrani 6:8. Saya segera membuka bagian yang disebutkan. Ternyata kurang tepat, mestinya Ibrani 6:7-8. Nah, sang bupati pun setuju dengan apa yang saya baca. Ayat 7 berbicara tentng berkat atas tanah, dan ayat 8 berbicara tentang kutukan bila tanah tidak dikelola secara tepat.
Diskusi kami cukup berkualitas sehingga memakan waktu sampai 2 jam sehingga para pejabat eselon II yang menunggu di ruang tunggu untuk bertemu dengan bupati harus kecewa dan memberi wajah tanpa ekspresi pada kami ketika kami meninggalkan ruang kerja sang bupati.
Sebelum meninggalkan ruang kerja pak bupati, nomor handphone Pdt. Munce diambil oleh seorang PNS untuk komunikasi lanjutan. selanjutnya Pdt. Munce berdo'a. Kami akhiri dengan salaman dan foto bersama.
Komentar
Posting Komentar