Nama,Kanaf, dalam perspektif budaya Amarasi dan Konteks Alkitab
Nama, Kanaf,
(dalam Perspektif Budaya Amarasi dan Konteks Alkitab)
Heronimus
Bani[1]
Pengantar
Beberapa waktu sebelum hari ini, saya pernah bercerita
dengan Pdt. Yakob Niap, S.Th, Ketua Majelis Klasis Amarasi Timur tentang
berbagai hal di sekitar kehidupan orang Amarasi Raya. Dua di antara
cerita-cerita itu telah disampaikan dalam seminar atau istilah gereja (GMIT)
pembinaan Majelis Jemaat (presbiter) di Klasis Amarasi Timur. Kedua materi itu
adalah, Subat dan Rais Matsaos. Saya lebih condong menggunakan istilah
penyegaran kepada Presbiter daripada pembinaan. Mengapa? Karena para presbiter
di Klasis Amarasi Timur tentulah dominan orang Amarasi Raya, atau mereka yang
datang karena tugas dan menetap dalam satuan waktu yang lama, maka dianggap
pantas untuk menjadi bagian dari para presbiter di setiap Jemaat.
Ketua Majelis Klasis berkeinginan pula untuk hal-hal yang
sifatnya sosial kemasyarakatan di Amarasi Raya disampaikan kepada presbiter
sebagai bagian dari program pembinaan presbiter. Saya lebih suka menyebutnya, penyegaran.
Tujuannya, ketika para presbiter bertugas, hal-hal yang demikian tidak
diabaikan begitu saja, atau jangan sampai divonis sebagai kesalahan karena
telah melanggar aturan dalam gereja (GMIT) atau bahkan telah berdosa di hadapan
Tuhan.
Pertanyaannya, apakah hal-hal tertentu yang sifatnya
sosiologis selalu harus dinyatakan salah atau bahkan dosa? Kita perlu
mengkajinya dan menempatkannya dalam konteks teologi-sosial bila memandangnya
dari aspek keagamaan. Dengan begitu, kita tidak menjadi hakim yang menghakimi
tanpa memahami makna di balik hal itu.
Hari ini, saya kembali di tengah-tengah para presbiter
yang mulia dengan mengantar suatu materi tentang NAMA (KANAF). Mungkin orang beranggapan nama kurang penting, atau
apalah itu, yang penting ada nama yang disematkan pada seseorang agar dapat
disapa dan dihormati, dan terutama beridentitas.
Tetapi, apakah orang pernah berpikir bahwa nama yang
disematkan berdampak luas pada diri orang itu? Materi ini hanyalah penyegaran. Memperkaya materi ini dalam
diskusi oleh para presbiter yang mulia, tentulah akan sangat membanggakan.
Nama
dalam Masyarakat Amarasi Raya
Di seluruh dunia, setiap individu makhluk manusia ketika
dilahirkan pasti hal pertama yang diberikan kepadanya adalah nama. Begitu
pentingnya nama sehingga pemberian nama seakan tidak boleh secara serampangan
saja. Bahkan ada yang telah mempersiapkannya sebelum kelahiran terjadi. Apalagi
dunia kedokteran dengan alat pendeteksi janin yang semakin memudahkan, maka
pemberian nama sangat dapat dipastikan terjadi sebelum kelahiran terjadi.
Orang Amarasi Raya, sebagaimana orang Timor (atoin’ Meto’) pada umumnya melakukan hal
yang sama. Nama menjadi identitas prioritas.
Beberapa jenis nama dapat disebutkan dan dijelaskan
berikut ini.
1. Kaan
Nonot, Kaan Akuf dan Kaan Fitif
·
Kaan nonot
Pada setiap keluarga di Timor, dipastikan ada komunitas umi. Dari dalam umi ini muncul nama-nama
keluarga (nonot). Ambillah pemisalan
nama-nama di Amarasi Raya seperti Abineno, Ataupah, Otemusu, Tiran, Kapitan,
Tnunay, Buraen, Nubatonis, Siki, Neno, Nenosiki, Feni.
Di desa Nekmese’ ada kampung-kampung seperti Koro’to dengan
nama-nama seperti, Bani, Ora, Saebesi, Takain. Kemudian di Naet dikenal nama
sebutan yang cepat yaitu Seo-Rensini’. Di Fo’asa’ ada nama Tiran-Kapitan, dan
masih banyak nama bertebaran di seluruh wilayah bekas pah Amarasi ini. Nama-nama ini adalah yang disebut nama nonot yang oleh suku lain di Indonesia
disebut marga atau fam. Marga atau fam diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
sehingga nama-nama itu disebut nama marga.
Mari memperhatikan contoh penggunaan dalam kalimat
seperti ini:
·
Hai
noont ii … (kalimat ini berasal dari kata-kata, hai nonot ii/ia/ai). Artinya, secara sederhana untuk
umum adalah dari kalangan kami …
·
Hai
nonot nai’ Aibneons ii … (kalimat ini berasal dari kata-kata, hai nonot nai abinenos ii/ia/ai). Artinya, kami dari kalangan
(marga, fam) Abineno’ … .
Dua contoh kalimat di atas memberi gambaran akan adanya
nama dalam komunitas yang lebih besar dan luas, yang berawal dari satu umi.
·
Kaan akuf
Kaan akuf (kanaf akuf atau kanaf akun) merupakan sebutan
terhormat dari kaan nonot. Misalnya. Komunitas Ataupah, sebutan terhormatnya
adalah Nabu, orang dapat menyebut Aam Nabu, Ain Nabu.
·
Kaan fitif
Kaan fitif, nama
yang dipakai untuk panggilan sehari-hari tanpa membuat pemiliknya kecewa dan
tersinggung. Kaan fitif dalam bahasa Melayu Kupang artinya nama fi’i.
Maksudnya, orang yang mempunyai nama panjang ada dapat dipendekkan sebagai nama
panggilan sehari-hari.
Contoh: Heronimus menjadi Roni, atau ada yang menyebut
Hero, Hiro. Nimrod menjadi, Nim atau Rod. Dan lain-lain.
2. Kaan
nitu
Jika diterjemahkan secara harfiah, kaan nitu (dari kata-kata kanaf nitu) artinya nama setan. Maksudnya
bukan demikian. Nama itu disematkan kepada seseorang mengikuti nama orang yang
telah meninggal dunia (nitu). Sebutan orang yang meninggal dunia nitu. Tentu maksudnya bukan setan.
Sayangnya, setanpun disebut nitu.
Sesungguhnya orang Timor tidak mengenal kaan nitu, tetapi nama budaya sebagai kaan tamas (dari kata-kata kanaf tamas) artinya, nama mengikuti
seseorang. Seseorang yang dimaksud di sini adalah orang yang telah meninggal
dunia.
Nama yang demikian diberikan ketika anak
lahir. Sebelum mengenal kekristenan, nama itulah yang dipakai selanjutnya.
Ketika kekristenan tiba, nama itu diberikan, tetapi kurang disebutkan.
Pemberian itu hanya untuk mengenang mereka yang sudah tiada. Kadang-kadang nama
itu tidak disematkan sama sekali pada anak-anak zaman ini.
Contoh nama-nama itu adalah:
Nai’ Nope, Bi Nope; Nai’ Fai, bi Fai;
Nai’ Funan, bi Funan; Nai’ Oe, Bi Oe; dan lain-lain.
Nama-nama yang demikian sangat
dicondongkan kepada persahabatan dengan alam.
3. Kaan
kase atau Kaan asrani’, Kaan Israam
Kaan kase atau kaan asrani’ (keduanya sebenarnya sama.
Kaan kase dari kata-kata: kanaf kase’ dan kaan asrani’ dari kata-kata: kanaf
asrani’). Kaan kase artinya nama asing atau nama dari budaya asing. Kaan asrani’ artinya nama sarani atau
nama baptis,nama yang diberikan ketika seseorang dibaptiskan.
Nama-nama asing seperti Charles, Victor, Donald, Clinton,
Christophurus, sangat disukai. Bahkan belakangan orang mulai suka nama-nama
yang menggunakan konsonan rangkap yang sulit diucapkan. Teufprakhtus,
Prakhas, Vyvandhyo, Genovena Mylove,
dan lain-lain. Nama-nama seperti ini entah dapat diucapkan oleh orang
tua anak!? Sebagaimana diketahui, globalisasi bukan saja terjadi pada ketika
memasuki abad teknologi yang serba cepat ini. Globalisasi telah terjadi ketika
Spanyol dan Portugis dan penjelajah mengarungi laut dan samudra untuk menemukan
benua dan daratan-daratan baru selain Eropa, Asia dan Afrika.
Dari sana nama-nama asing (kaan kase) mulai bertebaran dan diserap oleh bangsa yang dimasuki
oleh para penjelajah dari Eropa (Spanyol dan Portugis).
Timor dan Amarasi Raya mendapat pengaruh dari Portugis
dan Belanda. Keduanya selain sebagai penjelajah, juga sebagai penyiar agama.
Mereka memperkenalkan agama baru ke dalam kehidupan masyarakat Amarasi Raya,
dimana kemudina nama-nama lama yang sudah membudaya dianggap kafir. Maka,
kemudian lahir istilah kaan nitu.
Seseorang yang menggunakan nama seperti Fransiskus yang
ditulis dengan gaya Eropa Fransiscus, atau Fransescous, seperti itulah akan
dianggap Kristen dan sudah masuk dalam budaya baru. Meninggalkan budaya
(pemberian nama) lama dan memasuki dunia baru.
Pertanyaannya, apakah nama seperti itu yang diharapkan?
Memang anak yang kepadanya disematkan nama itu tidak mengetahui, karena nama
itu diberikan ketika ia masih bayi. Apalagi pemberian nama seringkali tidak
dilakukan olleh orang tua tetapi oleh petugas kesehatan, atau oleh orang yang
diberi kepercayaan karena factor tertentu. Semakin banyak anak dinamai dengan
nama asing, ia semakin mengambang dari akar budayanya. Ia ada di Timor-Amarasi
Raya, tetapi budayanya kebarat-baratan (western).
Di Amarasi Raya beberapa terdapat pula penganut Islam
yang tentu namanya pun harus Islami. Tetapi, nama keluarga tidak dihilangkan
karena factor indentitas ke-Timor-annya. Misalnya ada orang bernama Arifin,
maka akan disebutkan sebagai kaan Israam ~
nama Islam. Akan tetapi, si Arifin ini berasal misalnya dari Tesbatan yang
berasal dari umi ma nonot Bijae, maka namanya menjadi Arifin Bijae. Terasa
tidak nyaman pada komunitas tetapi karena anutan agamanya dimana namanya harus
Islami sementara tuntutan budaya Timor nama keluarga (nonot) tidak boleh
hilang, maka disematkan seperti itu.
Misalkan seseorang dari nonot nai’ Bani, ada anggota
keluarganya menganut Islam. Kepadanya diberikan nama Islami, misalnya Fatimah,
maka nama keluarga pun menyusul menjadi Fatimah Bani.
4. Kaan
a’siu
Kaan a’siu, atau
nama yang diperluas. Nama seperti ini terjadi oleh karena sifat, atau kondisi
tertentu pada seseorang, atau suatu kejadian yang pernah menimpa sehingga
kemudian nama itu disematkan kepada pemiliknya
Contoh,
Seseorang bapak sangat suka member nasihat dengan nada
suara yang emosional (rada marah). Sifat seperti ini disebut sesu kata kerjanya naseus. Jika orang itu adalah seorang bapak, mungkin akan disebut bai’ sesu. Maksudnya, orang tua yang
suka member nasehat dengan nada suara seperti api penghangat.
Di Koro’oto, Temukung (alm) Bernabas Bani dikenal dengan
tubuhnya yang pendek. Sekalipun tubuhnya pendek, ia pernah melakukan
“perlawanan” kepada Uispah H. A.
Koroh. Masyarakat Koro’oto kemudian menyebutnya Bai’ Kore’ ~ Kakek pendek.
Di Noenaak, ada kejadian seorang bapak diseruduk sapi.
Orang ini kemudian tidak disebutkan namanya dalam kesehariannya. Namanya
dialihkan menjadi Bijau Mnautu’ ~
Sapi Seruduk.
Seseorang yang kakinya pincang. Ia tidak dipanggil
namanya, misalnya Yunias. Nama ini hilang dalam pergaulan. Kepadanya diberikan
nama baru yaitu Hae peko ~ Kaki
pincang.
Seseorang yang sampai masa remaja masih ingusan. Namanya
berganti misalnya dari Damaris atau bi Neke menjadi Paan Pinu ~ Hidung Ingus.
Di Koro’oto, adalah seorang bapak membangun rumah dimana
ada pohon asam (tambaring) di halaman depan. Orang ini kemudian secara
beramai-ramai namanya diganti menjadi Ama’
Kiu ~ Bapak Asam atau Bapak Tambaring; hal yang sama terjadi pada
isterinya, menjadi Aina’ Kiu. Si bapak
dan isterinya tidak marah bila mereka disapa dengan nama itu.
Dan masih banyak lagi nama sebutan seturut situasi
tertentu pada individu dan diketahui banyak orang.
Contoh
Nama dalam Alkitab
1.
Beberapa
nama dalam Kitab Kejadian
Dalam kitab Perjanjian Lama sangat banyak ditemukan
nama-nama orang dengan makna yang menyertai/terkandung di dalam nama itu. Sebutlah
nama Hawa. Kutipan berikut ini dalam teks berbahasa Amarasi. (Kejadian 3:20).
Rarit nai’ Adam
nakanab in fee je nak, ‘bi Hawa’ (in a’moufn ii ‘re’ anmoin), natuin bifee naan
es re’ njair ainaf neu are’ mansian amonit anbin pah-pinan ia. Sesudah
itu Adam member nama kepada isterinya, Hawa, yang artinya, yang hidup, oleh
karena perempuan itu yang menjadi ibu untuk semua manusia yang hidup di muka
bumi ini.
Contoh-contoh nama yang berarti masih dapat dibaca dalam
Kitab Kejadian.(Kej.5:28) Noh, artinya yang memberkan penghiburan pada kita
yang sedang bersedih hati oleh karena kutukan Tuhan Allah pada tanah/bumi yang
kita diami.(Kej.10:25) Pelek artinya perpisahan atau perceraian atau
pembubaran, oleh karena manusia pada saat itu berpencar ke berbagai tempat di
seluruh dunia.
Abram, artinya
bapa kesohor, terkenal. Abraham, apa segala suku bangsa dan bangsa (Kej.17:5).
Nama Yakop selalu diingat orang, artinya, penipu atau
menipu. Nama Yakob mempunyai dua arti, memegang tumit, atau tumit saja dan arti
kedua, penipu atau menipu (Kej.25:26; 27:36). Sementara nama Esau artinya
berbulu, tapi juga disebut dengan nama lain, Edom artinya, merah
(Kej.25:25; 25:30). Isra’el artinya
bergulat dengan Tuhan (Kej.32:28), dan masih banyak contoh dari kitab Kejadian.
2.
Beberapa
nama dalam Perjanjian Baru
Nama Yesus dan sebutan lainnya dapat kita bbbaca dalam
Kitab Matius. (1:21). Yesus artinya, Tuhan menyelematkan manusia. (1:23),
Imanuel dalam bahasa Ibrani artinya, Tuhan beserta kita.
Dalam Lukas 1:1 ada nama Teofilus. ADa yang menulis
Theofilus atau Theophilus. Cara menulis seperti apapun, nama dalam bahasa Ynani
artinya orang yang mengasihi Tuhan.
Dalam Kisah Rasul 9:36, terdapat dua nama yang
kelihatannya berbeda tetapi sesungguhnya sama. Tabita dan Dorkas. Tabita dalam
bahasa Aram, Dorkas dalam bahasa Yunani. Kedua nama itu sama artinya yang
merujuk pada satu binatang yaitu, rusa.
Sakralitas
Nama dalam Masyarakat Amarasi Raya
Sub judul ini dipaparkan disini berdasarkan latar
pengetahuan bahwa, seringkali para presbiter diundang untuk mengadakan ibadah
dengan salah satu pokok doa adalah nama. Mengapa nama?
Dalam kehidupan bersama, paling kurang ada dua peristiwa
sukacita yang menyebabkan adanya perubahan nama.
·
Kelahiran di luar perkawinan resmi
Dalam suatu kelahiran di luar perkawinan
resmi (ka napuah ma namaun fa fe’, ka
a’at fa fe’), maka ada istilah yang khas pada anak yang dikandung dan
dilahirkan itu, yaitu peen a’pupun-maak
a’pupun, atau oe-maka’ na’aaf, atau
koto-fae sufan.
Pada masyarakat Amarasi yang bergaya
bahasa Kotos, mereka akan membiarkan untuk sementara waktu anak ini mengikuti
nama keluarga. Hal ini terjadi bila:
ü Kelahiran
itu memang diharapkan, apalagi kalau anak itu laki-laki dan menjadi penerus
nama nonot. Anak ini akan disebut ri’aan’
pusaak, anak pusaka yang mewarisi nama dan harta.
ü Jika
calon ayah mengakuinya, maka ia akan dikenai denda adat (toeb mae atau aum mae).
Dengan begitu anak tersebut akan mengikuti nama nonot ayahnya.
ü Jika
anak ini benar-benar sudah pasti tanpa ayah yang bertanggung jawab, maka nama
nonot disematkan padanya. Dampaknya adalah, suatu ketika ia akan bermasalah
dengan nama sacral (akuf).
Pada masyarakat Amarasi bergaya bahasa
Ro’is, hal ini justru menguatkan mereka agar dengan mudah na’ooi. Na’ooi di sini paling tidak akan mengikuti 2 pola:
ü Pola
pertama, mengikuti nama nonot ibunya.
ü Pola
kedua, mengikuti nama nonot neneknya.
·
Perkawinan
Pada peristiwa perkawinan, idealnya pengurusan itu
berakhir dengan apa yang disebut sea’
nono dan saeb nono. Sea’nono dilakukan
di rumah keluarga perempuan oleh orang tua atau saudara laki-laki; atau yang
dituakan dalam komunitas umi keluarga itu.
Mengapa sea’nono?
Hal ini berkaitan dengan kesakralan kaan
akuf/kaan akun yang dimiliki oleh keluarga itu. Diyakini bahwa, apabila sea’nono tidak dilakukan, maka akan
terjadi dua kaan akuf/kaan akun bertemu
dalam satu jiwa. Hal ini diyakini akan menjadi semacam tabrakan kesakralan.
Bila hal ini terjadi akan menyebabkan jiwa pemilik nama akan terancam.
Oleh karena itu upacara sea’nono dan saeb nono wajib
dilakukan apabila seluruh rangkaian upacara perkawinan secara adat berlangsung
baik.
Bila perkawinan hanya sampai pada urusan pernikahan
secara hukum positif dan hukum agama, dengan menunda atau sengaja mengabaikan
perkawinan menurut hukum adat, suatu hari kelak, akan terjadi pengurusan
kembali dan yang akan diutamakan adalah nama. Nama nonot harus dialihkan secara
adat dari perempuan untuk meninggalkan kaum kerabat umi dan masuk ke dalam kaum
kerabat suaminya dalam umi yang baru.
[1]Anggota
Presbiter di Koro’oto; Guru SD; Pendiri,
Penasihat dan PJ https://infontt.com
dan https://teresnews.com;
sering menulis di www.agupena.or.id
dan sebagai bagian dari UBB Kupang dalam tugas sebagai Pembina Tim Bahasa Aguab
Meto’ Amfo’an dan Amanuban
Ulasan yang lengkap dan terperinci.
BalasHapus👏
BalasHapusSelamat malam pak Bani.
BalasHapusWow jelas sekali, pak. Tradisi kita khususnya A toin Meto' Koro'oto semakin pudar. Jadi saya mohon pak Roni Bani harus berjibaku dalam hal melestarikan tradisi dan budaya kita. Jangan menyerah pak. Doa kami menyertai, sehat slalu bersama nonot-asar. Sukses slalu pak.
������