(cerpen) Kisah Seorang Ibu, Empat Suaminya dan Lima Anaknya



Kisah Seorang Ibu, Empat Suaminya dan Lima Anaknya


  
Heronimus Bani
  

Sore tak berangin. Hening. Burung cici padi bersiul di dahan kersen. Ia meloncat dari satu dahan ke ranting kecil. Menarikan ekornya, melagukan madah kaum unggas. Aku melihat tubuh mungilnya. Terasa ia hendak bercerita padaku ketika ia berpaling menghadap diriku. Aku tertegun sejenak. Aku memasang telinga baik-baik dan kuupayakan pendengaranku semakin tajam untuk mendengarkan kisah cici padi bersiul sore ini. Oh... ternyata ada kisahnya.
Adalah empat pemuda bersepakat merantau. Mereka tidak sedarah-sedaging, tidak seibu, tidak seayah. Ketika berangkat dari meninggalkan kampung halaman, mereka tiba di pesisir pantai. Dari sana kehidupan baru menanti di seberang. Mereka memandang sejauh-jauhnya mengikuti fatamorgana di seberang laut. Daratan baru mereka hendak tuju. Mereka bersepakat menggunakan satu perahu. Tiadalah hambatan untuk tiba di daratan sebelah sana, berhubung angin menolong, bintangpun membantu. Ombak dan gelombang seakan mendorong mereka agar lebih cepat tiba di rantauan.
Setibanya di daratan baru, mereka bersehati. Kesehatian mereka disebutkan menurut bahasa daerah mereka di tempat mereka tinggal sebelumnya. Menarik. Tekaf mese’ ma Ronif mese’. Sayangnya frase itu panjang. Nama dari suatu lokasi harusnya pendek dan mudah diingat. Mereka bersepakat menamainya Teknimese’. Pendek, sarat makna.
Keempat pemuda ini memulai hidup baru. Masa-masa hidup baru di lokasi baru bukanlah sesuatu yang mudah. Suatu malam, mereka bersepakat untuk masing-masing orang menemukan jodoh agar dapat dinikahi sehingga kehidupan mereka lebih tenang dan ada yang dapat mengurusnya. Dibuatlah kesepakatan sebagai sayembara di antara mereka berempat. Sayembara menemukan jodoh. Mereka harus mendayung sampan yang disebut ‘ba’i untuk kembali ke daratan sebelumnya. Gadis pertama yang menyapa mereka itulah isteri orang pertama yang tiba di daratan.
Sampan‘ba’i disiapkan, dayung pun diletakkan di sampingnya. Mereka mengambil ancang-ancang. Aba-aba diatur sedemikian rupa agar tidak ada kecurangan di antara mereka. Jika burung dara laut jelaga terbang di atas udara pantai dan berhenti bersuara, saat itulah kita berlari menuju sampan ‘ba’i, mendorongnya masuk ke pantai dan mulailah sayembara ini dilangsungkan.
Hari cerah, tiba-tiba burung dara laut jelaga terbang di bentangan udara pantai. Keempat pemuda bersiaga untuk mendengarkan berhentinya suaranya. Tiba-tiba ia berhenti. Keempatnya berlari menuju  sampan ‘ba’i. Mendorong dengan sekuat tenaga. Melompat ke dalamnya dan mulai mendayung. Keempatnya tidak satupun lebih dahulu dari yang lain. Keempatnya mempunyai tenaga yang sama kuat. Sampan-sampan ‘ba’i yang dikayuh sekuat tenaga sekalipun tidak satupun yang melewati yang lain.
Surya pagi memancarkan sinar keemasannya ketika keempat pemuda itu hendak tiba di bibir pantai daratan yang merek tuju. Lagi-lagi tidak satupun yang dapat saling mendahului. Tiba-tiba seekor burung terbang di atas mereka dan secepat mata berkedip, ia telah berubah menjadi seorang gadis cantik. Ia menyapa keempatnya yang tiba secara serentak di daratan. Mereka terpana. Protes di hati dari pemuda yang lebih muda, ia merasa berada di nomor dua. Pemuda tertua merasa memang dia yang paling depan, sedang dua pemuda lainnya terdiam membisu.
Keempatnya mengambil sikap diam. Lalu gadis manis jelita itu menyapa mereka. Ia menyalami mereka satu per satu sambil memperkenalkan diri. Mereka tersipu sambil berontak dalam hati. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Mungkinkah kami berempat harus menikahi seorang gadis agar kami menjadi satu keluarga? Mereka memprotes dan didiskusikanlah hal ini dengan gadis ini.
Gadis manis jelita ini mengambil tali. Ia menarik tali sepanjang bibir pantai untuk meluruskan ujung sampan masing-masing agar mengetahui, sampan manakah yang tiba lebih dahulu. Hasilnya, sama. Semuanya menyentuh tali itu.
Gadis inipun menyerahkan diri untuk menjadi isteri keempat pemuda ini. Menikah dengan empat pemuda sekaligus bukanlah sesuatu yang mudah. Siapa yang harus diladeni sebagai suami pertama? Hikmat dari sang Ilahi pada sang gadis yang telah berstatus isteri. Ia menata rumah tangga mereka. Ia menjadi isteri yang dicintai dan sekaligus diragukan cintanya oleh keempat suaminya.
Tahun-tahun berlalu. Anak-anak lahir. Ada diantaranya yang meninggal dengan meninggalkan nama. Tiga anak telah meninggal dunia. Amnasit, Rukun dan Pamong. Ketiganya kekar pada tampang. Berwibawa dalam tutur dan sikap. Garang dan tegas dalam tindakan. Nama mereka tinggal kenangan dan sesering mungkin diceritakan untuk membangkitkan semangat atau sekedar khayal kebanggaan. Ada kelahiran baru sebanyak lima orang. Kelima anak-anak itu semuanya laki-laki. Ganteng, kekar, perkasa dan terlebih lagi mereka mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang baik. Mereka berlima dididik oleh empat ayah mereka dikuatkan dan diteguhkan oleh ibunda mereka yang hanya seorang itu. Kelimanya memperoleh pengetahuan dari guru-guru berkelas di negeri dimana mereka lahir. Bila seorang meninggalkan kampung halaman untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi, lainnya tidak hendak ketinggalan. Mereka berkompetisi sehat sambil menyembunyikan kuku cakarnya demi alasan mengabaikan sifat separu-senafas, sehati-sejantung. Oh ... .
Sulung, bernama Koto. Ia mendapat kesempatan memelihara ibu mereka. Melayani kebutuhan ibu dan keempat ayah mereka secara merata. Sayangnya, Koto gagal pada titik tertentu. Ia harus menyerahkan kuasa pemeliharaan ibunda pada orang yang bukan saudara-saudaranya. Beruntunglah, saudara-saudaranya tidak menjadikannya sebagai alasan perseteruan. Masih, pada kesempatan berikutnya, Koto diberi kesempatan lagi. Kali ini ia benar-benar melakukan tugasnya secara benar. Saudara-saudaranya bertepuk tangan riang. Tanda terima kasih ia terima. Sayangnya, ketika mendapatkan kesempatan itu, keempat ayahnya saling curiga.
Suatu masa yang melelahkan ketika Koto harus mengalihkan kuasa pemeliharaan ibunda dan para ayahanda pada adik-adiknya. Keempat adik-adiknya berebutan. Lalu datanglah penengah menjadi petugas yang akan memelihara ibu dan keempat ayah mereka. Matmoro’ menjadi pemelihara itu. Kuasa itu dipegangnya dan dijalankan dengan kekerasan. Keempat orang tua disakiti. Ibu Teknimese’ disakiti. Isi perut Teknimese’ hendak digarong. Tapi ia sadar bahkwa ketika ia harus meninggalkan ibu Teknimese’, dia harus meninggalkan tubuh yang utuh tampilan. Matmoro’ lari meninggalkan kampung suatu malam dengan membawa harta benda milik keluarga Teknimese’. Empat ayah dan seorang ibu menangis. Kelima anak menggertakkan gigi. Tapi, apa daya.
Natu. Anak kedua berkesempatan menunjukkan kasihnya pada ibu dan keempat ayahanda. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bertahun-tahun ia menjalankan tugas ini. Lagi-lagi keempat ayah mereka tidak tinggal diam. Sekalipun mereka mencintai satu perempuan, jelus dan cemburu, ketika seorang anak mereka melayani dengan baik. Upaya dan kerja keras anak seperti Natu, masih juga dianggap belum cukup. Akhirnya, Natu berhenti. Ia merasa sudah cukup kerja kerasnya di ladang, mamar dan sawah untuk menghidupi keluarga mereka.
Kini Tumes mendapat giliran berikutnya. Betapa Tumes memanfaatkan waktu ini. Ia sama sekali tidak mempedulikan bisikan dari keempat ayahnya. Ia terus bekerja. Bekerja. Rasanya ia hanya mau menyelesaikan seluruh tugas untuk ibu seorang. Empat ayahnya kurang dipedulikan. Padahal, setelah diteliti mendalam, Tumes justru memperhatikan seorang ayah. Ia begitu peduli pada sang ayah sehingga tiga ayah lainnya dikecewakan. Ia membuat ibunya tersenyum sepat manakala mengetahui bahwa Tumes anak mereka memperhatikan dominan pada seorang ayah. Padahal, sesungguhnya tidaklah harus demikian.Setiap anak yang berkesempatan memelihara dan menunjukkan cinta kasihnya pada ibunya, harus sekaligus memelihara dan menunjukkan cinta kasihnya pada keempat ayah secara adil dan merata.
Fosei, mencoba berkali-kali untuk menjadi orang pertama yang memelihara dan menunjukkan cinta kasih pada orang tua yang membesarkannya. Ia selalu ditolak oleh sebahagian kalangan. Fosei menangis. Berkali-kali ia harus menanggung malu ketika ia mengangkat tangannya untuk menjadi pemelihara ibu dan ayah.
Siapakah yang layak menjadi pemelihara terbaik? Tiada satupun dapat melakukannya. Keempat orang tua dan isteri mereka tetap saling mengasihi. Mereka telah sehidup-semati. Sumpah mereka dengan darah. Mereka rindu untuk tidak terpisahkan. Tapi, angin mulai menggoyang dengan rayuannya. Natu hendak berpisah untuk berdiri sebagai orang dewasa. Ia mau menjadi ayah untuk satu isteri. Ia rindu menjadi orang tua sendiri terlepas dari orang tuanya dan ketiga saudaranya.
Mari, lihatlah dan tunggulah. Hari-hari berlalu, sang ibu terus membiarkan roh, jiwa dan raganya diberi nutrisi agar ia tetap tampil cantik tapi juga berwibawa. Ia tidak boleh menjadi perempuan yang dilacurkan oleh anak-anaknya. Empat suaminya, masih saling percaya untuk mencintai isteri mereka. Godaan Natu untuk keluar dari rumah yang dibangun bersama selama ini mungkin akan menggoyahkan, dan dapat pula menjadi kabar baik.



email : herobani68@gmail.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya