Aku Ingat Mama
Aku ingat Mama
"Wah...!" Aku tersentak ketika mengangkat mata, memandang pada potret tua. Di sana ada ibuku menggendong adikku. Di sampingnya ada kakak yang memangku seorang adik perempuan. Aku ada di belakang sana. Wajah anak-anak masih polos. Belum ada kontaminasi dunia luar pada kami anak-anaknya. Ada saudara sepupu berdiri paling belakang. Kami mengapit seorang adik lagi.
Di antara kami di dalam foto itu, seorang tiga di antaranya hari ini (2018) bertugas sebagai guru (PNS). Anak baby yang di pangkuan ibuku sekarang seorang ASN. Seorang saudara sepupu merantau, dan dua adik perempuan memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan atas alasan ibu sudah tidak ada, siapa yang mengurus ayah.
Hari ini, Hari ibu. Aku dan adik-adikku serta dua orang kakak, masing-masing telah berumah tangga. Kami mengurus rumah tangga masing-masing di tempat kami bertugas. Ibuku, "menguras" isi perutnya untuk melahirkan kami sebanyak 10 orang. Di antara ke-10 orang ini yang tertinggal kemudian 9 orang. Seorang meninggal dunia ketika duduk di bangku SPG kelas II, pada tahun 1976. Tersisa 9 orang, 7 di antaranya telah menempuh jalur pendidikan yang baik sehingga meraih tugas sebagai ASN/PNS sebanyak 6 orang (4 orang guru, 2 orang pegawai), dan seorang yang bungsu menjadi Karyawan (pendeta) GMIT.
Aku sangat bersyukur mempunyai ibu (dan ayah, orang tua) yang sekalipun dalam keterbatasan ekonomi, namun mampu memberikan yang terbaik bagi kami. Ibuku meninggalkan kami untuk selama-lamanya pada Mei 1992. Ketika itu baru ada 3 orang berstatus PNS (2 guru, 1 Pegawai). Sekalipun demikian, kami ingat pesan yang selalu didengungkannya bila kami berlibur sekolahan dan pulang ke kampung. Kamu semua harus bersekolah setinggi mungkin selagi kami orang tuamu masih hidup. Jika kamu tidak lagi bersekolah, raihlah pekerjaan yang layak dan pantas untuk menghidupi keluarga masing-masing kelak. Jangan berharap meraih bintang di langat, kalau kabut yang turun dan mendekat saja kamu tak dapat menangkapnya.
Ibu! Pagi ini, aku melihat potret bisu di dinding rumah kita. Aku ingat masa dimana kami kanak-kanak, masa remaja dimana ada kenakalan pada kami. Aku ingat kata-katamu yang pedis mendidik. Sekali-sekali rotan harus ibu gunakan untuk mendera raga kami agar menjadi peringatan.
Zaman berubah, ibu. Jika kami menggunakan rotan sekalipun itu pada anak kandung sendiri, sangat mungkin akan dipidanakan, bahkan ucapan yang melecehkan pun dapat saja dipidanakan pula. Kami terjepit dalam aturan yang semakin banyak, namun kejahatan pada orang tua dari anak merajalela, anak pada orang tua pun demikian.
Terima kasih ibu. Harimu, hari ini. Hari untuk para ibu di republik ini. Aku tak punya kado, atau kata mutiara untukmu. Aku hadir di sini dalam kolom ini untuk sekedar berbagi kisah.
By : Heronimus Bani (22/12/18)
Komentar
Posting Komentar