Guntur Bergemuruh


Guntur Bergemuruh



Hujan. Hujan. Hujan. Patut disyukuri bahwa Tuhan memberikan hujan sebagai anugerah. Ini tiada dibantah kecuali oleh kaum athes yang sama sekali mengabaikan adanya Tuhan sang Khalik, the Creator langit dan bumi serta segala isinya baik yang kelihat maupun yang hanya terasakan saja namun berdampak. Hujan dikreasikan sang Kreator itu. Ia memberi hikmat sehingga makhluk berakhak mulia mengetahui dalam pengetahuannya tentang bagaimana terjadinya hujan melalui proses daur air dari bumi ke atmosfer hingga kembali menjadi butiran air hujan.

Oh...
Sungguh suatu pengetahuan yang sebelumnya merupakan misteri, lalu terkuak sehingga tercenganglah makhluk berakhlak mulia.

Di dalam hujan ada suara gemuruh yang sering pula disertai kilat menyambar. Kisah pertarungan udara antara guntur yang menyambar petir agar beriringan bersama hujan menjadi warna tersendiri dalam dongeng-dongeng.

Guntur. Kutanyakan pada kaum berakhlak dan berpengetahuan, apa penyebabnya? Jawaban yang kuterima tak dapat kucerna. Memang demikian adanya aku. Aku bukanlah kreator adanya hujan disertai angin, guntur dan petir atau hal lainnya. Aku hanyalah penikmat yang sering takut, kuatir atau justru sebaliknya suka dan riang ketika hal-hal itu terjadi.

Kutanyakan lagi dan merekapun menjelaskan yang disederhanakan. Suara gemuruh itu nama lainnya guruh. Bila beriringan dengan kilatan cahaya dan bertabrakan dengan udara panas yang dilewati kilatan itu, lalu terjadilah petir, dimana makhluk mulia mau pula untuk berkata boleh disambar geledek, itulah. Udara panas menyebabkan pemuaian di atmosfer dengan sangat cepat lalu berubah menjadi plasma. Si plasma meledak. Ledakannya ini menimbulkan geger udara. Saat itu anjing pun lari mencari perlindungan terlebih kaum dan komunitas makhluk mulia.

Malam ini, hujan turunlagi beriringan dengan guntur yang meledak dan menggelegar. Para pekerja bangunan berhenti untuk mencari perlindungan. Mereka yang bekerja di area terbuka lari mencari tempat aman.

Aku berdiam di sini mendengarkan bunyi derap langkah para muda di jalana beraspal kasar. Teriakan histeris gadis-gadis desa yang baru saja kembali dari diskusi materi keagamaan seakan menjadi lorong untuk dilewati.

Hujan telah reda. Kawanan kodok mulai berdendang di genangan air kali kecil kering di pinggir hutan. Lagu yang didendangkan tanpa nada keceriaan di telinga, terasa hambar dan hanya menjadi pengganggu tidur malam saja. Beberapa ekor ayam di pohon bergeser sebentar lalu tidur lagi.

Hujan reda. Guntur berdiam diri. Suasana desa kembali pada kesunyiannya.


Amarasi Selatan, 25 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya