Menghakmimi Jenazah
Menghakimi Jenazah
Hari menjelang sore ketika seekor anjing mengibaskan
ekornya mendekati tuannya. Si anjing baru saja masuk kampung dan kelihatan
sangat lapar. Berkali-kali ia mengibaskan ekornya sambil mendongakkan kepalanya
kepada tuannya. Tapi, sang tuan anjing diam saja di tempat tidur. Sang tuan
rupanya sedang sakit. Ia terus berbaring tanpa kesadaran bahwa seekor anjing
sedang menunggunya. Si anjing diketahui bernama Bingo.
Bingo tidak pergi menjauh dari tempat tidur. Ia duduk di
sana menjulurkan lidahnya. Liur meleleh di sana sementara nafasnya
terengah-engah. Sekali lagi ia mengibaskan ekornya dan bersuara di bibir tempat
tidur itu sambil mencium tuannya yang terbaring dengan tidak dalam keadaan
sadar.
Bingo meninggalkan kamar tidur itu. Ia keluar sebentar
dari sana. Ia duduk di teras rumah sendirian. Di teras rumah itu tidak ada
cahaya yang lebih terang dari remangnya sore itu. Bingo tidur di situ.
Seorang bapak melintas di depan rumah. Bingo menegakkan
kepalanya. Menggonggong sebentar, sementara si bapak melintas saja tanpa
menghiraukan suara gonggongan si Bingo. Bingo terus menggongong sambil
mengibaskan ekornya kepada sang bapak yang melintas. Tetapi si bapak terus saja
berjalan walau Bingo mengikutinya. Ia mengira si Bingo hendak menggigitnya.
Bingo kembali ke teras rumah. Di sana ia tidur.
Dua pemuda melintas di depan rumah. Mereka berjalan
sambil mempercakapkan niat yang akan diwujudkan malam itu. Oh… Bingo
mendengarkan suara percakapan keduanya. Ia bangun dan menggongong. Ia berlari
menuju kedua pemuda itu. Kedua pemuda pun berlari menjauh dari kejaran si
Bingo. Bingo pun kembali ke teras rumah dengan hati remuk. Ia berjalan perlahan
saja. Di sana ia kembali pada posisinya semula. Tidur.
Sementara itu di dalam rumah, di kamar tuan rumah masih
tertidur. Ia tidak sadarkan diri. Dalam kesendirian ia terbaring. Anjing
kesayangannya saja yang menjaganya. Bingo. Bingo nampaknya kehabisan akal untuk
menolong tuannya yang tertidur dengan tidak sadar.
Tengah malam, Bingo melolong. Lolongan Bingo sangat panjang
dan dilakukannya berkali-kali. Suara
Bingo terdengar seperti ada dalam tangisan. Tubuh Bingo pun akhirnya lemas. Ia
tertidur pulas sehingga suara sepeda motor yang lewat di tempat itu tak dihiraukannya.
Ia terus ada dalam tidurnya.
Kira-kira pukul tiga pagi, ketika bintang fajar
menampakkan dirinya, Bingo tersadar. Kali ini ia melolong lebih panjang.
Panjang sekali sehingga mendirikan bulu roma bagi orang yang mendengarkannya.
Sepasang suami-isteri terbangun. Mereka merupakan tetangga terdekat dari rumah
dimana Bingo sedang duduk dan melolong. Jarak rumah pasangan suami-ister ini ke
rumah Bingo, kira-kira dua kilometer. Keduanya duduk di bibir tempat tidur.
Memasang daun telinga baik-baik. Mendengar suara lolongan Bingo. Lalu keduanya
saling berpandangan dalam diam dan membisu. Mata mereka penuh tanya, ada apa
gerangan dengan Bingo? Tidak biasanya Bingo melolong sedemikian hebatnya. Pasangan
suami-isteri ini hendak kembali ke dalam indahnya kehidupan sepasang kekasih di
pembaringan. Sebelum kembali ke pembaringan itu, sang suami berkata, “Ketika
pagi tiba, kita menuju rumah bapak Mese’.” Isterinya mengiyakan. Lalu keduanya
pun berbaring lagi.
Pagi pun tiba. Bingo telah masuk ke dalam rumah dan
melihat tuannya masih terbaring. Ia mengibaskan ekornya. Tidak ada suara dari
tuannya. Bingo menggongong. Tuannya tetap membisu. Sepasang suami-isteri masuk
ke dalam rumah itu. Keduanya mendapati Bingo serta tuannya di sana yang bernama
Mese’. Bingo mengibaskan ekornya kepada kedua orang itu. Kedua orang itu
mendekati tempat tidur bapak Mese’.
Mencoba membangunkannya. Si bapak meraba tangannya, berpindah ke dahi,
hingga leher. Semuanya dingin. Dingin. Wajahnya kelihatan seperti membeku.
Pasangan suami-isteri itu saling berpandangan. Keduanya sebagai saksi atas
kematian bapak Mese’ di rumahnya. Anjing peliharaan bapak Mese’lah yang
menjagai jenazahnya. Sepanjang malam, Bingo telah berkali-kali berusaha
memberitahukan tentang kematian tuannya. Tidak seorang pun peduli padanya.
Pasangan suami-isteri ini kembali ke dalam kampung.
Keduanya menyampaikan kabar kematian bapak Mese’ kepada kepala kampung dan
perangkatnya. Kepala kampung meminta agar lonceng kematian segera ditabuh.
Lonceng itu berbunyi pada sekitar pukul tujuh pagi. Lalu anggota masyarakat saling bertanya tentang siapa gerangan yang
meninggal dunia. Kabar tersiar tentang bapak Mese’ yang tinggal di pinggir
kampung yang jaraknya dua kilometer dari pusat kampung. Mereka segera ke sana.
Kepala kampung memimpin rombongan untuk segera melihat
jenazah bapak Mese’. Ternyata, bapak Mese’ yang tinggal sendirian di pinggir
kampung itu benar-benar telah meninggal dunia. Tidak diketahui penyakit apa
yang dideritanya. Kepala kampung mengarahkan masyarakatnya untuk segera
mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan upacara pemakaman jenazah. Pemangku
agama pun telah mendapat kabar. Ia tiba pada siang harinya untuk mempersiapkan
upacara secara keagamaan. Keluarga dekat dari bapak Mese’ hanya satu keluarga
saja di dalam kampung itu. Mereka menjadi satu-satunya orang yang menang dan
meratapi jenazah bapak Mese’.
Tibalah waktunya upacara pemakaman. Kepala kampung
menyampaikan bela sungkawa yang mendalam sambil mengingatkan warganya agar
tidak hidup dalam kesendirian seperti
bapak Mese’. Masyarakat harus ada dalam kehidupan bersama sehingga bila terjadi
sesuatu seperti sakit berat segera mendapat pertolongan. Kader-kader pos
pelayanan terpadu yang ada di lingkungan rukun tetangga agar tidak berdiam
diri. Aktif berkunjung kepada warga terutama para ibu hamil dan lansia.Kepada para
pemimpin lembaga kemasyarakatan seperti Ketua RT, mesti sesering mungkin
mengunjungi warga sehingga mengetahui kondisi mereka. Segera lakukan tindakan
pertolongan pada warga bila mengalami sesuatu, apalagi jarak tempat tinggal
jauh dari pusat kampung.
Pidato pernyataan belasungkawa berakhir. Pemangku agama
menyampaikan kabar penguatan berdasarkan kitab suci. Akhir kehidupan di dunia
adalah kematian. Di balik kematian ada kehidupan yang abadi bersama sang Khalik
bila Ia berkenan menerima.
Si Bingo melolong panjang ketika liang lahat ditutup. Ia
menangis dan menangis. Para penghantar hanyut dalam tangisan Bingo. Ia hidup
dalam kesendirian kini.
Seorang bapak berdiri di kejauhan. Ia berteriak pada
dirinya sendiri. “Hei Mese’. Kamu hidup menyendiri. Kini kau mati dalam
kesendirianmu!”
Si bapak menangis dan berbalik pulang. Semuanya pulang
dengan kesan masing-masing. Bingo duduk di pusara itu. Tiga hari kemudian.
Bingo pun mati di atas pusara tuannya. Ia didapati sepasang suami isteri. Tubuh
Bingo telah busuk. Pasangan suami-isteri ini pun menguburkan Bingo di samping
pusara tuannya.
Komentar
Posting Komentar