Guru dan Siswa Merokok di Sekolah, Siapa Yang Salah? (1)


Guru dan Siswa Merokok di Sekolah, Siapa Yang Salah? (1)




Pengantar
Beberapa hari yang lalu sebanyak 10 orang siswa Sekolah Dasar (Kelas II) ketahuan merokok oleh kakak-kakak kelas mereka (Kelas VI). Hal ini kemudian dilaporkan kepada seorang guru (perempuan). Sang guru mengambil tindakan pembinaan dengan mengingatkan:
·         Bahaya merokok bagi kesehatan tubuh yang dilakukan sejak dini.
·         Aturan yang diberlakukan di sekolah sebagai pusat pembelajaran budaya
Sesudah dua hal ini disampaikan kepada para siswa, sang guru mengingatkan pula agar pada hari berikutnya, ketika ke sekolah para siswa membawa orang tua. Kehadiran orang tua sangat diperlukan sehingga pihak sekolah (Guru/Kepala Sekolah) dapat menyampaikan bahwa telah terjadi sesuatua persoalan di sekolah, dan bentuk tindakan “hukuman” terhadap pelanggaran aturan sekolah yang dijatuhkan kepada anak. Di samping itu, diharapkan ada solusi bersama untuk pembinaan.

Guru Merokok di Sekolah
Bukan rahasia jika di sekolah-sekolah banyak individu guru (yang didominasi kaum lelaki) suka merokok. Ada yang merokok di dalam ruang kelas ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, ada pula di luar ruang kelas. Pendek kata, ada individu guru perokok tetap (katanya sebagai kebutuhan), merokok di lingkungan sekolah itu sesuatu yang biasa saja, lumrah dan lasim.
Pada saat yang sama sekolah memberlakukan aturan, dilarang merokok di dalam lingkungan sekolah. Aturan ini berlaku sama untuk guru dan siswa. Tetapi, pelanggarnya justru oleh individu guru perokok. Bila dimintakan untuk menyampaikan aturan ini kepada siswa, para individu guru perokok pasti menyampaikan dengan tanpa beban moral dan etika mereka akan berbicara di depan siswa. Bila ada swiping tas untuk antisipasi adanya rokok, justru dilakukan oleh individu guru perokok.
Bila kita bertanya, apakah  mereka tidak terbeban secara moral, etika dan tanggung jawab oleh karena mereka sebagai individu (dan kelompok) yang menjadi panutan?

Siswa Merokok di Sekolah
Jika siswa Sekolah Menengah (Pertama dan Atas/Kejuruan) merokok di sekolah, seringkali dianggap biasa saja, walau mereka telah melanggar aturan yang diberlakukan di sekolah. Tetapi, bagaimana kalua merokok itu dilakukan oleh siswa Sekolah Dasar? Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dan orang tua.
Peristiwa siswa Kelas II Sekolah Dasar merokok di sekolah secara berombongan, ini menggegerkan di sekitar lingkungan sekolah ini. Sesudah pembinaan oleh sang guru, para siswa bercerita sepanjang perjalanan pulang ke rumah setelah jam belajar regular berakhir. Para orang tua mendiskusikannya dalam pertemuan formal.
Anak-anak yang merokok, ketika dipanggil, mereka secara polos mengakui tindakan mereka. Mereka tidak canggung apalagi merasa malu karena telah melanggar aturan yang berlaku di sekolah. Mengapa?
Mereka bercerita apa adanya tentang bagaimana mendapatkan rokok. Siapa saja yang mendapat jatah batangan rokok. Siapa yang membawa pemantik. Mereka bercerita bagaimana mereka proses menghisap asap rokok itu dan akhirnya diketahui oleh kakak-kakak kelas mereka. Kejujuran dalam kepolosan mereka.
Pertanyaannya sekali lagi, mengapa?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah, orang tua dan siswa, serta lingkungan sekitar anak tidak bebas dari asap rokok yang keluar dari bibir para perokok. Orang tua di rumah merokok. Kesempatan membeli rokok sering diberikan kepada anak. Limit waktu pergi dan pulang dari warung (kios) untuk membeli rokok dipakai untuk merenungkan dampak rokok, bukan pada masa depan, tapi kenikmatan sesaat ini. Perenungan ini terjadi karena pendengarannya. Ia menyimpan kesan bahwa merokok akan bla bla bla. Itu semua yang bla bla bla itu diucapkan oleh orang tua. Jika orang tua itu juga adalah seorng guru, maka tentu saja rasa percaya anak pada guru jauh lebih tinggi dan melekat.
Jadi, merokoknya siswa di sekolah terjadi karena factor, keteladanan dan kesempatan. Siapa yang meneladankan hal itu? Jawabannya, orang tua dan guru (tentu saja tidak semua guru, tetapi hanya para perokok saja). Walau sifatnya individu guru, tetapi anak meniru. Mengapa kesempatan menjadi satu factor yang mendorong anak merokok di sekolah atau di luar lingkungan rumah? Jawabnya, karena di rumah orang tua akan dengan keras melarang. Larangan disampaikan kepada anak denangan nada suara yang sifatnya “ancaman”. Larangan itu diucapkan sambal menghisap rokok. Maka, ketika ia berada di sekolah, ia manfaatkan itu sebagai kesempatan untuk merokok.
Kesempatan yang lain adalah, ketika orang tua meminta anak untuk membeli rokok. Ia mungkin saja telah menyiapkan uang dari hasil sisihan jajan. Ia pun membeli rokok bersamaan dengan pembelian rokok untuk orang tuanya. Lalu rokok yang dibeli itu disimpan di satu tempat yang diketahui sendiri. Ketika berangka ke sekolah, rokok itu diambil. Di sekolah mereka berbagi untuk merokok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria