Gegara Sehelai Foto
Gegara Sehelai Foto
Kemarin (5/6/19) saya buka kotak surat masuk. Di sana Prof. Charles Grimes mengirim surel yang isinya meminta saya dan lima teman lain. Surel itu tertanggal 2 Juni 2019. Isinya pendek saja.
Saloom,
Botong su dapa dong pung foto. Kira2 800-an. Ada yang cukup bae, deng cukup menarik.
Ada 2 flash di beta, yang beta mau kasi sang bosong, kapan sa.
Makasi,
Chuck
Puji Tuhan. Saat saya membaca surel ini saya sedang berada di ruangan lain di kantor Unit Bahasa dan Budaya (UBB) GMIT. Saya mengetahui bahwa yang mengirim surat ini sedang berada di Kupang, dan pasti ada di salah satu ruang kerja UBB GMIT. Saya pamit dari ruang IT dan Percetakan UBB GMIT dan melangkah ke ruangan dimana Prof. Charles Grimes biasanya bekerja.
Beliau agak terkejut, tapi senang karena saya ada di kantor UBB GMIT. Kami saling bersalaman yang khas (pegang tangan dan cium hidung), kemudian ia langsung memberikan satu unit flesh disk yang memuat lebih dari 800 foto. Foto-foto itu bercerita tentang seluruh rangkaian acara peminangan anaknya Andrew Grimes (Ucu) dan Rossie. Peristiwa itu terjadi pada Juni 2017
Sepulangnya dari Kupang, saya menunjukkan foto-foto itu pada dua anak saya. Mereka sangat antusias melihat foto-foto itu. Ada beberapa pertanyaan yang dapat saya jawab pada mereka, ada pula yang terpaksa saya abaikan berhubung saya merasa sulit menjelaskannya.
Lalu, di antara 800-an foto itu saya mengambil satu helai di antaranya. Satu helai itu berisi dua belas orang laki-laki dan sembilan orang perempuan. Kedua belas orang laki-laki itu ada di antaranya anak-anak, demikian pula sembilan orang perempuan itu. Satu anak laki-laki memegang tempat sirih-pinang berisi hadiah dan tertulis BUKA PINTU. Rombongan dua puluh yang beranggotakan 21 orang itu berdiri di depan satu unit rumah disinari cahaya lampu remang-remang. Kami sedang melakukan satu ritual adat sebagaimana umumnya dilakukan masyarakat adat Kota Kupang. Ritual adat itu disebut maso minta.
Kami memulainya dengan melakukan satu prosesi yang disebut aa' asramat atau yang dikenal luas di Timor natoni. Saya memimpin prosesi itu dengan kata-kata dalam Bahasa Amarasi, sedangkan semua lelaki dan perempuan dewasa menyambung pada penggalan akhir kalimat-kalimat saya sebagai penegas.
Foto itu kemudian saya beri sedikit keterangan, lalu saya posting di akun feisbuk Tateut Pah Meto'.
Postingan itu mendapat sambutan dari orang-orang yang berteman maupun yang belum berteman namun mengetahui siapa saya. Seluruh responnya positif. Ada di antaranya menyatakan turut berbangga, dan berkerinduan pula agar terus dilestarikan. Beragam respon dalam kolom komentar yang prinsipnya menyukai.
Seorang teman menanggapi dengan cara berbeda, Kisah lengkapnya di bagian perjalanan ke luar negeri sudah saya baca berulang-ulang. Pertanyaannya kenapa keluarga itu mau melaksanakan perkawinan menurut tradisi Amarasi? Lalu apa hubungan Roni Bani dengan keluarga ini?
Sampai dengan saat menulis artikel dalam blog ini saya belum memberikan penjelasan pada feisbuker tersebut. Walau begitu, saya merasa tertantang bukan karena pujian seringkali menjadi batu sandungan. Saya justru berharap agar ada yang mengkritisi seperti yang dibuat oleh teman ini. Saya tidak ingin lupa daratan sebagaimana kata orang Kupang, makan puji.
inilah foto yang dimaksud
Sy sangat terinspirasi, begitu bnyk cerita , pengalamn budaya yg dialami dan kemudian di-publish.mingkin betul adanya, sy jadi ingin mengenal keluarga Grimes, terutama Rossie dan Ucu
BalasHapusSaya sangat terinspirasi, begitu banyak pengalaman dan cerita budaya uang dialamii dan kemudian di-publish.mungkin betul adanya, saya jadi ingin berkenalan dengan keluarga Grimes dan congratulation for Rossie and Ucu
BalasHapusSangat terinspirasi utk Kita mengenal lebih dalam mengenai tradisi Timor
BalasHapus