Derita Orang Kaya
Derita Orang Kaya
“Kuceritakan
padamu, pak. Selagi aku masih muda, aku punya ratusan ekor sapi. Ya. Aku punya
ratusan ekor sapi di tiga tempat berbeda. Semua itu aku usahakan sendiri, bukan
warisan orang tuaku. Begitulah aku, pak.” Demikian penggalan kisah bapak Log di
Lelogama semalam sebelum aku meninggalkan kota kecamatan itu.
Aku terus
memperhatikan wajah bapak Log yang memang semakin tua. Ada guratan di wajah yang
memberi tanda itu. Rambut yang menguban. Gigi yang makin berkurang yang
menyebabkan ada lesung palsu pada dua belah pipinya. Jemari tangannya yang
kasar serta kaki beralaskan sandal jepit yang sudah agak kumal. Sorot mata yang
kiranya tajam pada masa mudanya, telah sayu pada masa ini ketika ia berkisah.
Log,
mengawali kisah hidupnya dengan menyebutkan orang tuanya yang tidak hendak
menyekolahkan anak-anaknya. Log mengetahui, bahwa pada masa itu rerata orang
tua di sana tak mau menyekolahkan anak-anaknya oleh karena ternak-ternak sapi memenuhi
padang-padang penggembalaan.
“Untuk
apa sekolah? Pada akhirnya kamu akan mencari uang. Bila kamu menjadi pegawai,
kamu akan dibayar dengan uang. Bila kamu menjadi apapun, kamu akan menerima
uang. Bukankah ada pada kita sapi? Bukankah sapi-sapi itu dapat menghasilkan
uang?” begitu kata Log mengulangi kata-kata orang tuanya dan orang tua lain yang
mempunyai ternak sapi dalam jumlah besar.
Aku
bertanya, “Mengapa sapi-sapi tidak dijual saja untuk menyekolahkan anak-anak?”
“Kami
menjual. Pada masa lalu tidak ada kendaraan. Kami menghalau sapi-sapi ini di padang-padang,
lalu mengikuti jalan menuju arah pasar terdekat. Di sana kami melilitkan tali
pada sapi yang kami halau untuk dijual. Tapi, nilai uang yang kami terima tidak
sebanding harapan kami,” jawab Log.
Aku
mencoba memberi jawaban atas pernyataan ini, bahwa memang dalam dunia ekonomi,
jarak tempuh yang makin panjang akan
memberi pengaruh pada harga barang. Pembeli akan membeli dengan harga murah dari
produsen oleh karena ia harus mengeluarkan beberapa jenis biaya untuk membawa barang
ke tempat baru. Di antaranya, bila ia membeli sapi di pasar yang jarak
tempuhnya jauh, sementara akses jalan rusak, kendaraan pengangkut tidak
tersedia dalam jumlah yang cukup, maka barang yang disediakan produsen akan
ditawar murah.
Penjelasan
ini belum dapat dipahami bapak Log. Ia melanjutkan kisah hidupnya.
“Sekalipun
orang tuaku tidak sudi menyekolahkanku, secara diam-diam aku memaksa agar adikku
dapat bersekolah. Puji Tuhan! Akhirnya, dia berhasil menjadi orang yang
mengerti setelah menjadi guru. Dia ditugaskan pemerintah untuk kembali ke
kampung kami. Dia menjadi pendorong pula pada generasi berikutnya. Bukan hanya
dia semata, tapi banyak pula yang sadar untuk bersekolah walau harus menempuh
perjalanan ke kota dengan berjalan kaki untuk dapat mencapai akses jalan yang
baik, misalnya ke Takari.”
Log terus
menceritakan bagaimana pada masa mudanya ia bekerja keras untuk mendapatkan
sejumlah besar ternak sapi. Ternak-ternak itu pada akhirnya menjadi liar. Ada
pula yang secara sengaja diambil orang oleh karena di area padang penggembalaan
sapi-sapi saling berbaur. Jadilah miliknya ada yang secara sengaja dan sadar
diambil orang lain. Ada pula yang mati oleh karena penyakit atau karena situasi
tertentu, misalnya panas, rerumputan di padang mati hingga sapi-sapinya mati kelaparan.
Log
menikah. Ia memberikan apapun untuk memenuhi seluruh tuntutan hukum adat
perkawinan yang khas Amfo’an. Sapi, ia berikan. Uang perak, ia berikan, bahkan dengan
cara yang tidak biasa. Ia menyerahkan sekantong besar uang perak. Keluarga
pihak isterinya menghitung sendiri sesuai keinginan mereka menurut pasal atau
ayat hukum adat yang diterjemahkan menurut selera mereka. Puluhan ekor sapi ia
berikan kepada mertua dan keluarga isterinya.
Anak-anaknya
lahir. Sungguh, malang tak dapat ditolak. Ia menduda ketika anak kelima lahir.
Ia tak dapat mengurus rumah tangga sebagai seorang ayah untuk anak-anaknya. Ternak
sapi yang jumlahnya ratusan ekor di dua tempat pun terbengkalai.
Anak
lelaki sulung memilih tidak bersekolah. Ia tidak pula mengurus sapi-sapi yang
jumlahnya ratusan ekor itu. Ia memilih berangkat ke luar negeri sebagai naker.
Sepuluh tahun ia balik lagi. Satu unit rumah kecil ia bangun, atas bantuan ayahnya.
Beberapa ekor sapi ia jual untuk membantu menyelesaikan bangunan rumah
sederhana itu.
Anak
perempuannya telah berkeluarga. Anak-anak yang dapat mengurus sapi-sapi ia berharap
mereka dapat menangkap/menjerat sendiri daripada diambil orang. Sementara itu,
ia tak dapat lagi mengurus rumah tangga sendiri sebagai orang tua tunggal. Log
menikah untuk kali kedua. Anak-anaknya lahir pula. Si sulung sudah bersekolah
pada sekolah menengah atas. Ia rajin mengurus sapi yang jumlahnya tidak lebih
dari 40 ekor.
Log
sedih. Sakit mendera tubuhnya. Tertolong setelah berobah di rumah sakit
Naibonat. Ia baru saja mengalami satu masalah mahaberat. Seseorang menyerangnya
di rumahnya. Ia membela diri. Ia memukul penyerangnya itu dengan linggis.
Korban melaporkan ke apparat yang berwenang. Proses hokum berlangsung. Ia
disidang. Dihukum penjara tiga bulan
yang langsung bebas karena dipotong masa tahanan.
Kekayaan
telah pergi. Raga semakin tua. Anak yang mau mengurus ternak sapi hanya
seorang. Sapi-sapi menjadi liar. Log menderita dalam kekayaannya.
Komentar
Posting Komentar