Iku, Roh di Ladang Atoin' Meto'


IKU, roh di ladang Atoin' Meto'




Pengantar

Berladang merupakan satu budaya pada masyarakat petani di Amarasi dan orang Timor pada umumnya. Berladang dengan pendekatan tebas-bakar dilakukan bertahun-tahun lampau, bahkan sampai sekarang pun masih dilakukan sekalipun hutan primer sudah tidak ada lagi.

Kehidupan masyarakat peladang dengan ladangnya sendiri pada masa lampau selalu dikaitkan dengan kepercayaan akan adanya kuasa yang memberi hasil pada padi dan jagung. Kisah asal-usul jagung sebagai pemberian “Tuhan” dengan cara yang aneh diyakini oleh peladang pada masa lampau. “Tuhan” (Uisneno) yang memberi perintah untuk menyembelih sepasang anak, daging manusia dicincang, dihamburkan ke ladang yang telah dibakar bersih, siap tanam. Cincangan daging manusia yang dihamburkan itulah yang kemudian tumbuh menjadi jagung.

Dari keyakinan bahwa jagung (dan padi) memiliki roh yang oleh karenanya maka mereka tumbuh dan berbulir, maka peladang merawat ladangnya secara hikmat dan bijak. Hikmat dan bijak yang dimaksudkan disini adalah, menghadirkan roh dari empat penjuru mata angin. Roh dari empat penjuru mata angin itu menguatkan tanaman di dalam ladang sehingga tumbuh subur, terhindar dari penyakit tanaman, dan pada masanya memberi bulir-bulir berisi yang bernas.

Roh yang diundang itu ditempatkan di tengah-tengah ladang, baik untuk menanam jagung maupun untuk menanam padi. Roh yang menempati area kecil di tengah ladang itu disebut, iku.

Konsep Iku

Bertolak dari keyakinan bahwa pada jagung dan padi dan semua tanaman ada rohnya, maka peladang menciptakan area khusus untuk menempatkan roh-roh itu di dalamnya. Area itu ditempatkan di tengah-tengah ladang (pusat) dengan cara sebagai berikut:
Keyakinan bahwa roh-roh itu dating dari empat penjuru mata angin; timur, barat, utara dan selatan, maka dibuatlah area persegi empat baik dengan menempatkan empat bongkah batu ukuran sedang maupun dengan menancapkan tonggak kayu pendek di sudut-sudut dengan ukuran yang tidak ditentukan luasnya.

Di dalam area itu ditanami dengan jagung (bila ladang itu khusus jagung) atau padi (ladang padi). Pada area yang demikian, diadakan upacara/ritual khusus memanggil roh-roh untuk tinggal di dalam iku. Roh-roh yang telah dipanggil itu “diikat atau mengikatkan diri” pada area itu setelah mereka “menerima” persembahan khusus yang disediakan kepada mereka.

Persembahan khusus itu dapat berupa; darah ayam dan sebongkah daging ayam dan bulunya yang dibakar sebagai ukupan pada para roh. Diyakini, bila roh-roh dari empat penjuru mata angin menghirup asap ukupan itu, mereka akan datang dan tinggal di dalam iku. Dari sana mereka akan menaruh kehidupan pada semua tanaman di dalam ladang.

Keyakinan bahwa iku yang telah dihuni para roh itu berdampak ketika peladang meninggalkan ladang. Dalam hitungan dua hari saja bila mereka kembali dan ada indikasi perubahan pada tanaman, misalnya bertambah tinggi, daunnya menunjukkan kesegaran karena subur, terasa seperti tanaman-tanaman itu tersenyum dan melambai pada peladang, itulah keyakinan bahwa iku  telah menaruh roh pada tanaman-tanaman itu. Semakin hari bila tanaman (jagung atau padi, dan lainnya) tumbuh subur tanpa gangguan berarti, maka iku telah berhasil menghalau segala terpaan bahaya pada tanaman-tanaman itu.

Selanjutnya, di ladang biasanya dibangun dua jenis bangunan. Bangunan pertama disebut uim rene. Pada uim rene peladang akan menetap sementara mengusahakan sampai ladang menghasilkan. Bangunan kedua, biasanya dibangun di ladang yang ditanami padi. Bangunan itu disebut tobe, Tobe, sama dengan rumah/pondok kecil, tetapi hanya dapat diduduki oleh satu orang saja. Posisinya bertiang empat tinggi sebagai tempat pengawasan atau pengintaian. Di sana peladang dapat mengawasi jika ada binatang pengganggu tanaman di dalam ladang.

Bila peladang pergi untuk waktu yang lama, penghuni iku dapat saja meninggalkan tempatnya. Mengapa? Karena penghuni iku yaitu para roh merasa bahwa mereka kurang mendapatkan perhatian dari pemilik ladang. Dampaknya, ketika peladang kembali ke ladang, bila ia mendapati dedaunan tanaman digigit serangga (misalnya, belalang atau wereng), maka itu tandanya roh di dalam iku dikecewakan oleh peladang. Ritual dilakukan untuk memanggil mereka kembali. Ritual dilakukan di dalam iku yang  berada di tengah-tengah ladang.

Ada kisah-kisah sekitar ladang yang ditunggui roh yang menetap di dalam iku. Misalnya, bila peladang tidak kembali ke rumahnya di perkampungan, ia akan bermalam di uim rene. Malam tiba, roh jagung datang memberi salam. Mereka menyapa peladang dalam mimpi. Sapaan itu sifatnya mengingatkan agar mereka dipelihara, dijagai, dan dibersihkan dari gangguan tanaman pengganggu (gulma, rerumputan liar di antara tanaman jagung atau padi).

Ada dua cara yang diyakini bahwa pemilik ladang berada di uim rene. Pertama, ia menyiapkan api di sana. Asap api akan menyebar di dalam ladang. Roh yang tinggal di dalam iku akan dengan sendirinya mengetahui bahwa peladang sedang ada di sana. Oleh karena itu, ia terus “menyalakan” kehidupan pada tanaman di dalam ladang. Kedua, peladang berjalan-jalan di dalam ladang itu. Ada keyakinan bahwa ketika peladang menyusur di antara celah tanaman jagung atau padi, bau badannya terhirup oleh roh yang tinggal di dalam iku. Roh-roh dalam iku semakin sadar bahwa peladang tidak meninggalkan mereka.

Roh dalam iku ketika musim panen tiba akan memberi hasil terbaik dari ladang itu. Peladang mengambil terlebih dahulu dari tengah-tengah ladang, yaitu hasil dari iku. Hasil itu dikhususkan kepada roh yang menghidupkan ladang. Roh itulah yang diyakini memberi bulir-bulir bernas. Bulir-bulir bernas itu dipersembahkan kepadanya. Ia tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah peladang, apalagi dimakan oleh peladang dan seisi rumahnya. Mereka dilarang keras untuk memakan hasil dari dalam iku.

Konsep “Iku Kudus”

Saya berpikir dalam pertanyaan, “Dapatkah iku yang dibuat para peladang masa lampau dihadirkan dalam nilai berbeda sesuai ajaran agama Kristen?”

Saya yakin sesungguhnya dapat dilakukan. Bagaimana caranya?
Di pedesaan Amarasi, masyarakat memeluk agama Kristen. Kehidupan pertaniannya masih sebagai peladang dengan membersihkan bekas ladang tahun-tahun sebelumnya yang disebut mnuki, atau a’tetas. Keduanya bukan hutan primer. Luas lahan pun tidak seberapa besarnya untuk menghasilkan padi atau jagung dalam jumlah besar. Dampaknya, persediaan makanan untuk setahun dalam satu keluarga sering tidak cukup. Lalu keluarga petani ladang melakukan pengadaan dengan membeli, bahkan bila musim tanam tahun berikutnya tiba, mereka meminjam benih padi atau jagung.

Saya merindukan satu hal untuk dapat dilakukan oleh satu jemaat. Semua petani ladang dalam satu jemaat masing-masing membersihkan ladangnya. Menanam di ladangnya dengan berdoa pada waktu mempersiapkan ladang, ketika menanam, dan seterusnya tahapan mengusahakan ladang sampai dengan mengambil hasil ladang. Namun, mesti ada satu ladang yang dikhususkan untuk Tuhan. Tuhan yang Mahakuasa yang menciptakan alam semesta ini. Tuhan, diyakini sebagai Pencipta, Dia hadir dalam  Roh. Kehadiran-Nya tiada mengenal batas waktu dan tempat. Baiklah jika semua anggota jemaat membersihkan satu lahan khusus yang dikuduskan tanaman di dalamnya untuk Tuhan.

Itulah kerinduan saya. Bila kerinduan itu terjawab, saya yakin Tuhan pasti mengabulkan semua permohonan para peladang yang menghadap hadirat-Nya siang-malam untuk mendapatkan hasil dari ladang mereka. Mereka hanya dibutuhkan kesediaan waktu dan tenaga, untuk membersihkan, menanam, menyiangi, dan mengambil hasil yang dikhususkan dan dikuduskan bagi Tuhan. Hasil itu dibawa ke Rumah Tuhan sebagai persembahan. Lalu, siapa pengelolanya? Majelis Jemaat sebagai pekerja di dalam Rumah Tuhan, merekalah pengelolanya.

Penutup

Buah pikir yang demikian tidak selalu mendapatkan dukungan. Akan tetapi saya menuliskannya. Kiranya Tuhan membuka jalan  dan mencerahkan anggota jemaat di pedesaan tentang pentingnya mengkhususkan dan menguduskan sesuatu dari hasil kerja mereka, khususnya bila mengusahakan tanah/lahan sebagai ladang.

Terima kasih.



Koro'oto, 14 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria