Babi Mati, antara tahyul dan pengetahuan

Babi Mati, antara tahyul dan pengetahuan


Seorang peternak babi melalui aplikasi messenger mengirimkan kabar bahwa babi yang diternakkannya telah mati sampai beberapa ekor. Ia sangat sedih. Saya memintanya untuk menulis ceritanya, ia malah makin susah saja. Ia mengatakan bahwa, ia benar-benar sedang dalam kesusahan atas kematian babi-babi itu menjadi penyebab ia tidak fokus untuk menulis ceritanya. 
'
Kepada peternak babi itu saya minta untuk mengirim satu atau beberapa foto. Ia pun mengirimkan foto yang saya tempatkan pada blog ini. 

Lalu, saya ingatkan agar mengubur babi-babi yang mati itu. Ia mengirim kabar bahwa pada masyarakatnya mereka tidak boleh mengubur babi, karena bila dikuburkan maka kelak bila akan memelihara babi kembali, maka babi yang dipelihara itu tidak akan hidup. 

Pikiran saya diarahkan pada budaya di kampung Koro'oto, kampung kecil tempat kelahiran saya dan komunitas keluarga-keluarga di  sini yang kemudian kampung ini berfusi ke dalam Desa Nekmese'. Di sini ada dua istilah pada dua jenis ternak berbeda.  Anjing dan ayam.

Bila anjing nakal, biasanya orang akan menyebut namanya dalam bahasa lokal, "Sroa' nukba'i!" Bila ayam mengais bijian jagung pada musim tanam, orang akan mengusir ayam dengan kata-kata, "Huis, meo 'ro'i!"

Apa artinya? Khusus pada anjing, orang meyakini bahwa anjing-anjing mati harus ditempatkan bangkainya pada cabang dari satu jenis pohon yang namanya dalam bahasa lokal, nukba'i. Bangkainya akan membusuk di situ hingga tulang-tulangnya yang terikat jaringan sel terlepas, jatuh berserakan di pohon itu. Ketika pemilik bangkai anjing itu memelihara anjing baru, maka anjing itu akan hidup.

Tentang ayam, sebenarnya kalimat itu merupakan kutukan pada ayam. Pemilik ayam itu hendak berkata, "Terkutuklah wahai engkau ayam yang mengais biji jagung yang kami tanam. Kucing-kucing akan mencabik-cabik tubuhmu dan dimakannya!"

Kutukan itu pun terjawab. Biasanya kucing akan memangsa ayam pada malam hari. Ayam-ayam yang tidur di cabang-cabang pohon akan dikunjungi kucing. Mungkin seekor akan ditangkapnya. Biasanya induk ayam membungkus anak-anaknya pada malam hari. Mereka tidak menuju pohon seperti yang lainnya. Mereka tidur di dalam rumah atau kandang. Kucing pun berkunjung ke sana. Mungkin si kucing akan membawa seekor atau bahkan dalam semalam sebahagian besar anak ayam akan dilahapnya. Walau sesungguhnya dalam pengetahuan tentang dunia satwa, kucing memangsa ayam.

Bagaimana dengan cerita babi mati tadi?

Sungguh satu pengetahuan lokal dalam masyarakat peternak babi di tempat pengirim kabar itu. Saya memintanya menjelaskan cara terbaik yang dilakukan oleh masyarakat bila babi mati/tewas diserang penyakit. Ia memberi jawaban, babi yang mati itu akan dibakar hingga berdebu. Debu-debu itulah yang dikuburkan.

Menarik. Tanpa penelitian lanjutan rasanya saya lebih setuju dengan cara ini. Virus mati karena panas. Bangkai babi yang mati sebaiknya dibakar hingga hangus berdebu.

Masalah pun muncul. Apakah udara tidak tercemar dengan asap bermuatan aroma bangkai babi?

Hal ini butuh penelitian lanjutan.


Terima kasih kaka Rince Bani-Adu yang mengirim cerita dari Batutua-Rote.

Kita masih perlu belajar lagi untuk mengetahui apa yang perlu menjadi pengetahuan kita.


Koro'oto, 3 Mei 2020
Heronimus Bani 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya