Haef si Pembawa Kabar mulai Tergerus
Haef si Pembawa Kabar mulai Tergerus
Masyarakat adat di Pah Meto' (Pulau Timor) mengenal satu istilah dalam bahasa Uab Meto', haef, yang artinya pembawa kabar. Padahal, secara lurus kata ini adalah anggota tubuh yaitu kaki. Posisi kata ini dapat berubah-ubah menurut bentukannya, misalnya haek, haen, haem dan haef. Mengapa begitu, karena kata bila kata ini mendapatkan subjek tertentu, maka akan berubah, kecuali pada kata haef, yang merupakan kata benda asli dan sekaligus kata sifat.
Contoh penggunaannya, sebagai berikut:
Au haek ~ kaki saya
Ho haem ~ kaki kamu
In haen ~ kakinya
Nah, ketika kalimat pendek di atas menunjukkan bahwa kata-kata haek, haem, dan haen sebagai kata benda. Kata itu dapat berubah menjadi kata kerja bila mendapatkan imbuhan (prefiks)
Au 'haek ~ saya berdiri
Ho mhaek ~ kamu berdiri
In nhaek ~ Dia berdiri
Hai mhaek ~ Kami berdiri
Hi mhaek ~ Kamu berdiri
Sin nhaken ~ Mereka berdiri
Hit thaek ~ Kita berdiri
Kata dasar haef yang telah mendapatkan imbuhan (prefiks), telah memberi makna berbeda.
Pada tata bahasa Uab Meto' khususnya dalam Bahasa Amarasi sebagai salah satu cabang Uab Meto', diketahui prefiks sebagai berikut:
a' ...
am ...
an ...
at...
Pada titik-titik itulah ditempatkan kata benda yang berubah menjadi kata kerja. a di depan /'/, /m/, /n/, dan /t/ tidak selalu luluh.
Demikian sedikit penjelasan linguist.
Selanjutnya saya kembali kepada budaya Atoni' Pah Meto' yang mengenal istilah haef bukan saja sebagai kaki, tetapi sebagai pembawa kabar.
Pada masa lampau, ketika kabar dari satu tempat ke tempat lain harus disampaikan, seseorang atau sekelompok orang ditunjuk sebagai haef. Mereka diwajibkan pergi sampai di tempat tujuan, bertemu dengan orang-orang yang ditunjuk atau disebutkan namanya. Kabar disampaikan kemudian harus kembali kepada pemberi tugas, dan menyampaikan jawaban dari penerima kabar. Haef yang tidak pergi atau yang pergi tetapi tidak pernah sampai di alamat yang dituju, akan mendapatkan denda. Haef pergi dengan tanpa syarat apapun. Ia harus mengetahui nama tempat (kampung, desa), ke arah mana ia harus tuju. Boleh bertanya kepada siapa pun, tetapi tidak diperkenankan bertanya pada pemberi tugas. Hal ini berlangsung pada masa pemerintahan adat hingga swapraja.
Ketika pemerintahan adat dan swapraja berakhir, beralihlah masyarakat ke dalam pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang mengedepankan hak asasi, di antaranya kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para muda untuk dapat mengelak dari tugas menjadi haef. Sekalipun mereka yang ditugaskan tetap berangkat, tetapi mereka sudah mulai berani memberikan pertimbangan yang kiranya meringankan tugasnya. Di antara pertimbangan itu adalah, pergi dengan membawa teman dan dibiayai.
Kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong percepatan menggerus budaya mengirim kabar dengan menggunakan jasa haef. Maka, kendaraan roda dua mulai dimanfaatkan. Para muda yang mempunyai kendaraan roda dua berkesempatan untuk meraup keuntungan dari tugas menjadi haef. Sekali dayung dua hal didapatkan yaitu, melaksanakan tugas sebagai anggota masyarakat, dan mendapatkan keuntungan finansil. Tersirat di dalam keuntungan itu adalah plesir, karena tempat-tempat yang dituju dapat saja menjadi tempat baru baginya.
Haef, makin tergerus walau hari-hari ini masih bermanfaat di pedesaan dan pedalaman Timor. Masyarakat yang masih kuat dan pekat budaya, haef akan melaksanakan tugas tanpa biaya. Sementara mereka yang sudah menerima budaya baru, berkendaraan telah menggeser penugasan gratis menjadi tugas berbayar.
Kini, haef terasa makin terjepit untuk akhirnya akan tenggelam pada beberapa tahun ke depan. Media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Zoom Cloud, dan lain-lain digunakan oleh anggota masyarakat mulai dari perkotaan hingga pedesaan, pantai, dan pedalaman. Aplikasi-aplikasi itu sangat cepat dimanfaatkan oleh penggunanya dalam rangka menyampaikan kabar-kabar yang sifatnya sosial seperti: mengucapkan selamat hari lahir, hari ulang tahun pernikahan, hari sukacita wisuda, dan berita dukacita. Pada titik ini Haef, sudah tergerus.
Kaum yang masih memegang teguh hukum adat dimana kabar-kabar harus sampai ke tujuan (alamat) dengan memanfaatkan tenaga haef, mereka akan sangat kecewa dan bahkan murka. Sangat sering mereka akan berkata, "Untunglah ada ...!" Mereka digolongkan sebagai kaum status quo yang terus memegang teguh hukum adat itu dimana ketika seseorang tiba untuk membawa kabar baik bersifat suka maupun duka, senantiasa harus ada yang disebut nateek oko'. Bila nateek oko' sudah berlangsung, kabar itu dapat diterima.
Di sini beberapa hal mulai bergeser. Masyarakat yang mulai berpikir kritis ekonomis, dengan mengeluarkan biaya sedikit kabar telah menyebar sampai sejauh-jauhnya melewati batas geografis. Jika pada masa lalu orang harus pergi ke stasiun radio untuk menyampaikan berita keluarga, atau surat kabar untuk mengisi kolom iklan keluarga, kini rasanya hal itu mulai tergerus. Pada kalangan tertentu, iklan keluarga pada surat-surat kabar masih ada demi menaikkan gengsi. Sementara kaum ekonomi lemah menggunakan aplikasi media sosial yang murah, meriah dan mudah menjangkau siapa pun.
Demikian sedikit ulasan tentang haef yang mulai tergerus pada masa ini.
Penulis: Heronimus Bani
Di masa kini, jiwa sosial Mulai menipis.
BalasHapusAktual Guru....keren...eksis terus...mantap
BalasHapusGeser terus ahhh jamgan buarkan punah
BalasHapusGeser teruss ahhh jgn biarkan punah lah
BalasHapus