Cerita Maso Minta (Meminang)

Cerita Maso Minta (Meminang)

Pengantar

Upacara Perkawinan atau upacara pernikahan, entah dua istilah (kata/frase) ini mana yang paling tepat sebagai diksi pada suatu upacara yang mentautkan secara legal cinta sepasang kekasih. Pasangan kekasih akan sangat berbahagia manakala cinta mereka yang semula hanya ada dalam pengetahuan keduanya atau beberapa orang saja, kemudian berlanjut ketika "diproklamasikan" di hadapan orang tua, para tetua dan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal melegalkan ikatan cinta ke dalam satu rumah tangga.

Upaya menuju satu rumah tangga tidak selalu mulus dan lancar. Bagai menempuh perjalanan, di sana ada jalan berkelok, mendaki atau menurun, hingga mencapai area datar yang mulus laksana tanpa batu antukan. Di titik area terakhir ini, orang merasa telah sampai pada titik awal untuk memulai rumah tangga baru.

Mereview perjalanan yang berkelok, mendaki atau menurun itu, saya beberapa kali mempunyai pengalaman ini. Beberapa catatan pernah saya buat di dalam blog ini. Hampir selalu sama pada prinsipnya yang merujuk pada tiga hukum yang diberlakukan: Hukum Adat Perkawinan, Hukum Agama, dan UU Perkawinan.

Pada upacara menurut Hukum Agama dan UU Perkawinan, rasanya tidak ada hal yang rumit dan ribet. Selalu saja lancar dan mulus, bahkan tidak menguras emosi, waktu, tenaga dan materi. Sangat simpel dan menolong para pasangan. 

Upacara menurut Hukum Adat Perkawinanlah yang menguras ide, emosi, waktu, dan materi. Dalam upacara yang satu ini dibutuhkan kesabaran yang tanpa batas agar dapat keluar dari lubang jarum yang menjepit erat niat membawa pasangan kekasih ke jalan lurus dan mulus itu. Pada saat itulah mereka akan melenggang secara lebih leluasa dan menentukan langkah maju sendiri dan mandiri dengan kecepatan yang diatur oleh keduanya.

Sekadar pengantar saya berhenti di sini.



Maso Minta dan Duduk Adat

Dalam pelaksanaan Hukum Adat Perkawinan di wilayah perkotaan khususnya di kota-kota di Nusa Tenggara Timur, istilah yang paling populer yakni, maso minta; masok minta, masuk minta. Prosesi ini selanjutnya diadopsi hingga ke pedalaman dan pedesaan yang semula tidak mengenalnya dan tidak pula mempraktikkannya. Rasanya para orang tua pemangku kepentingan dalam urusan yang mempraktikkan Hukum Adat Perkawinan membaca nuansa turut serta dalam gerbong kereta yang maju sehingga tidak terkesan sedang ketinggalan kereta. Oleh karena itu, maso minta di pedalaman/pedesaan kini makin trend. Rombongan maso minta membawa baki/dulang berisi sejumlah hal. Isi dari dulang-dulang itu ditentukan oleh pihak keluarga yang akan menerima. 

Jika pelaksanaan maso minta itu berlangsung di wilayah perkotaan, seluruh isi dulang telah merepresentasi seluruh isi dan niat hati dari pihak keluarga yang menerima (orang tua kandung, para pemangku kepentingan di lingkaran/lingkungan pihak keluarga gadis).  Sementara di pedesaan/pedalaman, isi dulang-dulang hanya simbol belaka. Mengapa? Karena ada masyarakat pedesaan/pedalaman lebih memahami maso minta hanya suatu prosesi simbolik, bukan real pelaksanaan Hukum Adat Perkawinan. Oleh karena itu, sesudah dulang-dulang berisi itu diterima, masih ada acara lanjutannya yakni, dudu adat. Di sini letak bedanya pelaksanaan Hukum Adat Perkawinan ala masyarakat perkotaan di Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat pedesaan/pedalaman sebagaimana yang pernah saya alami walau belum seberapa banyaknya.

Maso minta ala masyarakat perkotaan. Jumlah dulang yang dibawa oleh pihak keluarga laki-laki ditentukan oleh pihak keluarga perempuan. Secara umum dan nampaknya sudah seperti suatu prosedur tetap, jumlahnya minimal 5 dulang yang terdiri dari: 

  • Pertama, Lilin dan Kitab Suci
  • Kedua, Pemberian untuk orang tua; isinya seluruh item Hukum Adat Perkawinan (penghormatan dan rasa terima kasih kepada orang tua kandung, dan pemangku kepentingan lainnya di lingkaran/lingkungan pihak keluarga perempuan)
  • Ketiga dan Keempat, Pemberian untuk gadis yang dipinang; isinya segala hal yang minimal yang patut diterima oleh seorang gadis (calon ibu rumah tangga baru); yang paling berharga di sana yakni, perhiasan (emas)
  • Kelima, simbol untuk publik yang turut menyaksikan upacara maso minta. Simbolnya berupa satu rangkai (tandan) pinang yang memiliki aroma yang khas (bonak) disertai sirih. Sering sekali ada yang menambahkan dengan kapur dan tembakau (rokok) 

Sesudah upacara maso minta ini berakhir, selesailah sudah prosesi pelaksanaan Hukum Adat Perkwinan. 

Bahwa masyarakat perkotaan itu terdiri dari berbagai etnis, kita patut bertanya, bagaimana memunculkan kekhasan etnis bila pendekatannya yakni maso minta?

Di sini peran para jubir (Juru Bicara). Mereka akan saling memberitahukan teknis pelaksanaan dari upacara ini yang dimodifikasi sedemikian rupa agar ada kesan bahwa nilai-nilai kearifan lokal dari etnis itu tetap dilestarikan, dipelihara oleh mereka yang sudah jauh dari kampung asalnya. Pemberian-pemberian (isi dulang) dinyatakan di dalamnya. Beberapa hal mungkin akan dinampakkan pada saat upacara itu berlangsung. Kenampakan yang paling menonjol yakni busana tradisional yang dikenakan dari dua pihak keluarga yang bertemu dalam upacara itu. Di samping itu, aksesori maso minta seperti parang, tombak, atau minuman beralkohol (bir pengganti tuak/laru/sopi). Sering sekali ditampilkan tarian dengan alat-alat musik yang khas. Kesemuanya itu untuk memberi nuansa entitas yang tetap terpelihara sekalipun mereka hidup di perkotaan.

Sementara itu di pedesaan/pedalaman hal itu berbeda. Beberapa kali saya mengikuti upacara seperti itu yang memberi pengalaman baik pada kami yang menyaksikan maupun pada mereka yang melaksanakan upacara itu.

Dulang-dulang diserahkan dengan pengantar ala kadarnya. Setelah itu pengantin pria diperkenalkan. Ia diizinkan menemukan calon pengantin perempuan (gadis pilihannya). Kedua memperkenalkan diri, lalu mendapatkan kesempatan duduk bersama para tetua adat. Proses tanya-jawab berlangsung sebelum prosesi yang disebut dudu adat dilangsungkan.

Berikut ini salah satu contoh yang saya catat. Prosesi itu berlangsung walau nampak sederhana, namun menguras ide, emosi dan diksi (menata kata/ungkapan) dari para jubir (aaz: mafefa').

  1. Koso-Foro, pemberian kepada kakek-nenek yang haknya terbatas dalam urusan perkawinan/pernikahan cucu mereka. Mereka "dibutatulikan" sehingga bagai tidak melihat peristiwa yang sedang terjadi di depan mata dan tidak mendengar apa yang diucapkan oleh para pihak yang bertemu.
  2. Ain uuf-Aam Uuf, pemberian kepada keluarga-keluarga yang ada hubungan langsung dengan gadis yang dipinang. Keluarga-keluarga yang dimaksud di sini yakni keluarga dari ibu dan ayah. 
  3. Mahonit, pemberian kepada orang tua kandung. Istilah untuk isinya di kalangan masyarakat adat Pah Amarasi misalnya; haot-fatis, oe maputu' - ai marara', suus oef. Besarnya nilai uang ditentukan oleh orang tua yang akan menerima. Orang tua tidak secara langsung menyampaikannya tetapi disalurkan melalui mafefa' (jubir).  
  4. Sea'nono heu'. Simbol pemindahan nama keluarga (nono, nonot, marga, fam). Di banyak etnis, pemberiannya berupa ternak sapi dalam jumlah yang saling  berbeda. Minimal 1 ekor. Sekalipun demikian masih mungkin untuk diganti dengan uang sesuai kesepakatan atau justru telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan. 
  5. Umi Nanan, pemberian kepada se-isi rumah yang dikhususkan. Di sini kakak atau adik serta saudara laki-laki mendapatkan hak mereka.
  6. Nonot-Asar, pemberian sebagai pemberitahuan kepada keluarga-keluarga yang disebutkan secara khusus.
  7. Hormaat neu Ana'prenat, pemberian kepada perangkat pemerintah (Lurah, Ketua LPM, Ketua RW, Ketua RT)
  8. Hormaat neu Krei, pemberian kepada pihak lembaga keagamaan.
  9. Taur mata', pemberian kepada dua orang yang ditunjuk sebagai Saksi atas sea'nono yang dibawa oleh pihak keluarga laki-laki
  10. Maro-Pono, pemberian dari pihak keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki berupa satu unit oko'mama' (koor-baha') berisi sirih-pinang-kapur-tembakau.
Sepuluh hal di atas disampaikan dengan tuturan yang saling berbeda dan bersahutan. Mafefa' (jubir) wajib memiliki diksi yang tepat pada setiap unit tempat sirih-pinang yang dihunjukkan dengan sikap menghormati para pemangku yang duduk secara berhadap-hadapan.

Penutup

Pelaksanaan Hukum Adat Perkawinan pada etnis mana pun tidak selalu memberi rasa puas pada para pihak. Mengapa? Karena Hukum Adat itu tidak tertulis. Wujud pelaksanaannya selalu berdasarkan persepsi dari pihak-pihak yang bertemu dalam urusan itu. Oleh karena itu, selalu saja ada perbedaan dalam item-item pemberian. 

Kemudahan dan kelancaran. Dua hal ini selalu menjadi pengantar dalam perbincangan yang diasumsikan akan melancarkan suatu urusan perkawinan/pernikahan. Benarkah di sana ada kemudahan dan kelancaran?


Koro'oto Pah Amarasi, 2 Juli 2021
herobani68@gmail.com

Komentar

  1. Mantap, adat masok minta tiap daerah py keunikan masing-masing e pak, klau saya di Sumba lbh unik lg pak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya