Modifikasi Gaya Meminang

 Modifikasi Gaya Meminang



Pengantar

Dalam tahun-tahun dimana pandemi covid-19 mendera dan merambah dunia, kesehatan individu dan masyarakat menjadi yang prioritas untuk mendapat perhatian. Maka, pemerintah memulai dengan himbauan yang bermuara sebagai aturan yakni, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Selanjutnya diikuti dengan 3 M, 3 T dan kini mencapai 6 M. Lantas daerah-daerah melaksanakan pembatasan-pembatasan baik skala menengah hingga mikro dengan pemberian nama zona dengan warna-warna tertentu. Zona-zona itu akan memberi ruang atau tidak memberi ruang gerak pada masyarakat. Kini dengan penentuan level 1 - 4; kota, kabupaten dan provinsi hingga kecamatan dan desa/kelurahan pun berlaku hal itu.

Situasi pandemi covid-19 kiranya tidak harus menjadi penghalang pada individu dan komunitas masyarakat untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup. Salah satu di antaranya yakni mengurus perkawinan/pernikahan.

Suatu dilema terjadi pada banyak kalangan yang harus dilibatkan pada hajatan perkawinan/pernikahan. Para pemangku kepentingan seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, institusi keagamaan, Pemerintah Desa/Kelurahan dan perangkatnya, serta para pemangku (hukum) adat perkawinan berada dalam situasi yang dilematis. Bila mengurus suatu hajatan perkawinan ketaatan pada protokol kesehatan yakni, mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir, memakai masker, menjaga jarak fisik dan sosial, sudah tak dapat ditawar-tawar lagi. 

Satuan Tugas Covid-19 di area terdekat seperti Desa/Kelurahan atau Kecamatan dapat mengeluarkan izin untuk maksud mengumpulkan anggota masyarakat dan keluarga dalam jumlah dan waktu yang terbatas. Upacara menurut tata institusi keagamaan pun dibatasi. Hal ini sungguh-sungguh menjadi pergumulan yang membebani emosi (secara psikologis).

Banyak pasangan nikah telah berhasil melewati semua itu tanpa sampai pada satu titik kenikmatan mengurus pernikahan. Mengapa? Dunia media sosial menjadi terbuka sehingga ketika anggota keluarga mengunggah foto sepasang kekasih yang sedang berada dalam prosesi pernikahan (adat atau liturgis), pasti dikomentari secara beragam. Pada mereka yang sempat menghadiri, tentulah mereka memberikan ucapan selamat. Sementara yang tidak sempat menghadiri oleh karena tidak mendapat kabar (undangan) atau karena pembatasan, maka mereka menyatakan kekecewaan.

Upacara pernikahan/perkawinan baik menurut hukum adat perkawinan, hukum keagamaan dan hukum positif (UU Perkawinan), tentulah akan menarik dan berkesan bila diketahui publik, terlebih pada kalangan kerabat dan sahabat. Pada mereka yang sudah berprofesi tertentu, mereka akan menghadirkan (mengundang) rekan-rekan se-profesi hingga pimpinannya. Semua itu akan memberi rasa berbeda pada keluarga, khususnya pada pasangan kekasih yang menikah. Kisahnya akan diingat selalu.

Sementara itu kita mengetahui bahwa covid-19 tidak akan pernah lagi untuk hilang di peredaran dunia gangguan kesehatan. Virus korona akan terus menjadi bagian dari makhluk manusia bahkan hewan. Kelak bila vaksinasi berhasil mencapai seluruh masyarakat, maka pandemi akan menjadi endemi. Lalu vaksin akan menjadi bagian dari kehidupan manusia untuk menjaga kesehatan.

Lalu bagaimana mengurus perkawinan di tengah pandemi saat ini? Berikut ini saya hendak mencoba menawarkan gaya meminang yang kiranya sederhana untuk masyarakat pedesaan di Pulau Timor. Masyarakat perkotaan (di kota Provinsi, Kota Kupang, dan kota-kota Kabupaten) telah mempunyai semacam prosedur tetap pelaksanaan peminangan dengan cara maso minta. Kira-kira pendekatan yang mirip yang akan saya paparkan di sini.

Prosesi Maso Minta ala Masyarakat Kota

Masyarakat kota ketika mengurus perkawinan menurut hukum adat perkawinan, di sana terjadi elaborasi antarbudaya. Mengapa? Heterogenitas etnis menjadi alasannya. Itulah sebabnya orang membutuhkan percakapan-percakapan (lobi) awal yang kiranya cukup memakan waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi bila terjadi perkawinan antar etnis sekalipun mereka yang akan menikah lahir di kota. 

Prosesi maso minta umumnya menggunakan satu paket yang disebut dulang maso minta. Paket dulang maso minta ini sangat lazim sebanyak 5 (lima) dulang. Pada kalangan tertentu sering menambah menjadi 7 (tujuh) bahkan 9 (sembilan). Paket dulang yang jumlahnya 9 (sembilan) memang tidak lazim, namun kadang ada dalam percakapan. 

Lazimnya yang lima itu yakni,

  1. Lilin dan Alkitab, sering kali ditambahkan dengan lampu (dapat saja lampu gas atau kini diganti dengan lampu emergency)
  2. Orang tua. Dulang ini berisi seperangkat pakaian untuk sepasang orang tua. Isi ikutannya berupa pemberian menurut tuntutan (pasal) hukum adat perkawinan yang diminta untuk diberikan oleh keluarga pihak laki-laki. Isian untuk orang tua ditempatkan pada satu tempat sirih-pinang dan diperlakukan secara lebih istimewa. Pada dulang ini, biasanya ditempatkan pula permintaan untuk keluarga-keluarga dan pemangku adat, aparat pemerintah desa/kelurahan, dan institusi keagamaan.
  3. Dulang untuk gadis 
  4. Dulang untuk gadis. Dulang ketiga dan keempat isinya dialamatkan kepada gadis yang disasar dalam acara maso minta. Isinya selain pakaian untuk gadis, juga seperangkat alat-alat make up dan sebentuk barang mas (bisa cincin atau kalung). 
  5. Dulang untuk publik. Isinya berupa setangkai besar pinang wangi (bonak), sirih, kapur dan tembakau. Ini semua sebagai simbol dimana banyak pihak ikut menyaksikan prosesi maso minta sebagai salah satu langkah  (pra syarat) memasuki rumah tangga baru.
Semua dulang maso minta ini disampaikan dan diterima oleh dua orang yang mewakili keluarga yang disebut juru bicara (jubir).

Bagaimana bila ada 7 (tujuh) dulang yang harus disiapkan? Tentu saja ini bukan hal yang teramat sulit. Mengapa? Karena dulang nomor 2 yang disasarkan kepada orang tua, isinya dipilah. Sementara itu bila ada sesuatu yang kiranya terlihat berbeda, itu merupakan "aksesori" tindakan budaya yang menghias ritual/prosesi maso minta seturut etnis yang menerima prosesi maso minta.

Maso Minta di Pedesaan Pulau Timor

Masyarakat adat Pulau Timor sangat variatif budayanya, walaupun menghuni satu pulau, namun dalam hal mengurus perkawinan menurut hukum adat perkawinan saling berbeda. Ada satu yang kiranya sama yakni, tempat sirih-pinang (oko'mama'). Senantiasa oko'mama' mewarnai ritual/prosesi dalam rangka mengurus suatu perkawinan. Istilah yang amat terkenal untuk pemanfaatan oko'mama' yakni, nateek oko'mama' (terj.harfiah meletakkan tempat sirih-pinang). Ada pula istilah lain dengan makna yang sama untuk acara nateek oko'mama', yakni, napuah am namaun, ma'a'at ma matonis, makrira'-matonas - masine-mabeno'. Semua istilah ini bila disematkan pada upacara nateek oko' mama'  mempunyai satu tujuan yakni upacara itu telah berlangsung secara sah di hadapan banyak pemangku kepentingan, sehingga akan diceritakan sebagai suatu hal yang baik di kalangan masyarakat luas (publikasi). Ketika publikasi yang dilakukan secara mulugram berlangsung, maka sesungguhnya roh para leluhur di alam lain pun turut mendengarkan dan memberikan restu pada pasangan nikah adat itu.   

Dalam mengurus perkawinan, oko'mama' akan selalu diisi dengan uang dalam satuan-satuan tertentu sambil menyampaikan maksud. Setiap item maksud akan didahului satu oko'mama' dan isinya berupa uang, termasuk yang sakral yakni, kaos nono (sea'nono), dan lain-lain yang dianggap harus (wajib) untuk disampaikan.

Seiring perkembangan yang terjadi akibat akselerasi dan elaborasi budaya, maka masyarakat adat pedesaan yang sudah mulai terbuka (alam pikir yang efektif dan efisien), maka item-item yang wajib diserahkan keluarga pihak laki-laki mulai disederhanakan dalam dulang maso minta. Masyarakat adat pedesaan di pedalaman Timor, mayoritas masih mempertahankan cara-cara lama, sementara yang sudah terbuka mulai menggunakan pendekatan dulang maso minta.

Dalam cara yang meniru ritual maso minta masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan dan pedalaman Timor yang sudah mulai terbuka itu melaksanakan dua cara, yakni, maso minta dan nateek oko'mama' . Dua cara ini tetap belum optimal. Sangat sering menjadi materi percakapan informal dengan gaya membuli, tetapi mereka yang duduk mengurusnya tidak pernah menyadarinya. Parka pemangku yang duduk dalam acara yang demikian merasa telah bertindak tepat. Padahal mereka telah secara tanggung mengadopsi cara kota lalu mengkolaborasinya dengan cara di kampung dengan gaya berbahasa Indonesia. Itulah bedanya. Mengikuti acara yang demikian, ternyata tetap makan waktu dan terkuras secara psikis.

Beberapa kali saya mengikuti upacara yang demikian sehingga lahirlah ide untuk mencoba cara yang kolaboratif pada seluruh aksesori (oko'mama' dan dulang) yang saya kelompokkan sebagai berikut:
  • Pertama, ketuk pintu; umumnya menggunakan satu unit oko'mama' di dalamnya terdapat sehelai uang kertas dengan nilai minimal Rp10.000 dan beberapa buahu sirih-pinang. Sepasang (laki-perempuan) anggota rombongan dari pihak keluarga laki-laki menyampaikan kepada pihak keluarga perempuan, bahwa rombongan peminangan telah siap untuk berada bersama-sama dalam acara maso minta. Pihak keluarga perempuan melalui jubir menerima oko'mama' tersebut, kemudian meminta pasangan pembawa oko'mama ketuk pintu  untuk pulang. Lalu, sepasang (laki-laki - perempuan) membawa oko'mama' dari pihak keluarga perempuan dengan cara yang sama menyampaikan kepada rombongan pihak keluarga laki-laki bahwa pihak keluarga perempuan telah siap dalam acara maso minta.
  • Kedua, lilin, lampu (darurat/emergency) atau lampu ala masa lampau termasuk obor (jika mungkin); dipadukan dengan Kitab Suci (Alkitab)
  • Ketiga, penghormatan kepada orang tua. Isinya sangat variatif menurut gaya berhukum adat perkawinan di kampung-kampung termasuk aneka suku bangsa di perkotaan. Beberapa hal yang pasti ditempatkan di sana yakni; tanda terima kasih kepada ibu (suus oef/air susu ibu), paman/om/baab mone/to'o, saudara laki-laki (atoin' amaf, atoin' mone, orif-tataf); sering pula ditambahkan kakek-nenek/be'i-na'i, dan lain-lain. Selain amplop-amplop berisi uang sesuai kesepakatan mereka, ditambahkan pula paket pakaian. Paket pakaian yang dimaksudkan dapat berupa pengadaan pakaian modern (kemeja, kebaya, kain pabrikan) maupun pakaian tradisional (tenunan) yang khas dari pihak keluarga laki-laki.
  • Keempat, pemberian tanda-tanda cinta kepada gadis yang dipinang. Pemberian tanda cinta ini berupa seperangkat alat-alat rias diri, pakaian-pakaian, alas kaki dan lain-lain; terutama satu unit oko'mama' yang isinya sebentuk barang mas (cincin, gelang atau kalung) dengan berat tertentu sesuai permintaan pihak keluarga gadis.
  • Kelima, pemberian kepada pihak pemerintah desa/kelurahan. Umumnya di perkotaan, Lurah dan perangkatnya menerima satu amplop saja dengan nilai yang sangat pasti akurat. Sementara di pedesaan, hampir tiap desa memiliki cara tersendiri untuk menentukan nilai amplop yang akan diterima mereka. Kepala Desa dan perangkatnya menerima sejumlah amplop seperti: (1) ketuk dan membuka pintu balai pertemuan desa, (2) pemberitahuan kepada Kepala Desa bahwa akan ada upacara antar dua keluarga dalam urusan perkawinan sepasang kekasih sehingga Kepala Desa diharapkan hadir (walaupun sudah hadir) untuk menyaksikan peristiwa tersebut, (3) administrasi desa (karena Sekretariat sibuk menulis surat keterangan belum menikah dan surat-surat lain yang diperlukan, sering sekali nilainya fantastis), (4) Staf Kantor Desa; (5) Kepala Dusun; (6) Ketua RW; (7) Ketua RT di dalam lingkungan itu sendiri, (8) para Ketua RW yang turut menyaksikan dan disibukkan dalam pengkondisian lokasi dan suasana pesta adat perkawinan; (9) Lembaga Adat; (10) Anggota BPD, (11) Menutup kembali pintu kantor desa, (12) Memohon izin untuk bersukacita (pesta meriah dengan makan-minum, menari, bebunyian), dan akhirnya (13) gadis itu akan meninggalkan wilayah desa sehingga harus pamit  kepada Pemerintah Desa. Sangat sering lebih dari 13 amplop diserahkan kepada Kepala Desa dan perangkatnya, termasuk dua amplop untuk dua orang saksi yang akan menghitung isi amplop untuk ibu dan sea'nono/kaos nono yang disertakan. Nilai rupiah yang ditotalkan sangat variatif antardesa, bahkan antardusun dalam satu wilayah administrasi desa. 
  • Keenam, persembahan kepada Tuhan melalui institusi keagamaan; sangat sering pula nilai ini ditentukan oleh pihak keluarga perempuan. Ada pula institusi keagamaan yang menetapkan angka rupiah atau bahkan menetapkan pemberian berupa barang tertentu di luar kesepakatan keluarga untuk diserahkan sebagai persembahan kepada Tuhan melalui institusi keagamaan itu.
  • Ketujuh, serangkai besar pinang wangi (bonak), sirih, pinang, kapur, tembakau.
  • Kedelapan, satu unit oko'mama' untuk penyampaian bahwa sea'nono' yang ditentukan telah dibawa serta dalam upacara ini.
  • Kesembilan, simbol pakaian (busana) pengantin yang akan dipakai pada saat berada di hadapan Tuhan di dalam rumah ibadah. Sangat trend orang mengenakan pakaian ala Barat; sementara memodifikasi pakaian khas etnis (tenunan) kurang diminati walau pun trend ke arah itu sudah dimulai ketika memasuki tahun ke-20 abad ke XXI ini. 
Di kalangan masyarakat adat Timor Tengah Selatan (Banam, Oenam, Onam), terdapat variasi cara maso minta, atau nateek oko'mama'. Variasi itu terjadi dimana-mana yang berbeda antardesa dalam wilayah-wilayah bekas kefetoran dan keusifan.


catatan:

Teknik dan trik yang dipakai sebagai cara pelaksanaan upacara peminangan (maso minta dan nateek oko'mama') terus berkembang dengan berbagai pertimbangan, di antaranya efisiensi. Walau secara implisit pihak-pihak yang mengurus perkawinan itu menempatkan martabat keluarga lebih tinggi di atas kerugian material dan psikologis. 

Komentar

  1. Informatif Pak Bani, membaca artikel ini jadi tahu maso minta yang ada di Kota dan Pedesaan Pulau Timur.

    BalasHapus
  2. Hebat kawan...tetaplah terus melestarikan budaya bangsa. Terimakasih sudah berbagi ilmu.

    BalasHapus
  3. Terima kasih para sahabat yang sudah berkunjung di blog ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya