Mungkinkah Kosu' telah Go International?
Mungkinkah
Kosu' telah Go International?
Pengantar
Dalam tahun-tahun
belakangan ini budaya kosu' yang khas masyarakat adat Pah
Amarasi telah menjadi budaya publik. Saya pikir dan berasumsi demikian karena
rasanya dimana orang Amarasi berdiaspora, di sana bila mereka akan mengadakan
hajatan sukacita, pasti akan ada tarian massal kosu' . Saya
sebagai anggota masyarakat Pah Amarasi yang tinggal di wilayah Amarasi Selatan
turut menyaksikan bahwa hampir semua hajatan sukacita khususnya pada resepsi
pernikahan, akan selalu menjadi indah dan berkesan bila ada tarian massal kosu'. Keluarga
batih dan keluarga besar hingga undangan baru merasakan indahnya pesta/resepsi
pernikahan setelah kosu' dilangsungkan. Mereka akan pulang ke
rumah masing-masing dengan kesan pertama kosu' dan sesudah itu
akan diikuti dengan kenangan pada pasangan nikah itu dengan sejumlah acara dan
ritual keagamaan yang dilewati. Mereka pun akan mengingat-ingat gaya yang
khas dari master of ceremony yang entah profesional atau
amatiran telah mewarnai hajatan itu.
Berkesenian: Lagu, Musik dan Tari pada Masyarakat Pah Amarasi
Siapakah yang mula-mula
memulai kosu'. Komunitas keluarga manakah di Pah Amarasi
yang memulai kosu'? Jawabannya tidak dapat dipastikan kapan, siapa
komunitas keluarga itu, dan bagaimana menata gaya hingga kelihatan indah dan
lain-lain pertanyaan yang mewarnai benak bila harus menelusuri lorong waktu
menuju masa lampau. Satu hal yang pasti, kosu' telah membudaya
dalam sendi kehidupan masyarakat adat Pah Amarasi. Ketika orang mendengar lagu
yang khas seperti Ra'aro atau lagu lainnya yang khas
Pah Amarasi maka imajinasi akan segera dilayangkan ke tarian massal kosu', walau
lagu itu bukan satu-satunya untuk mengantar ke dalam tarian itu.
Entah sudah berapa lamanya
tarian massal kosu' ada dalam masyarakat adat Pah Amarasi? Tidak
ada yang dapat memastikan kapan persisnya dimulai. Masyarakat adat Pah Amarasi
makin mempopulerkan tarian massal ini ketika musik kontemporer dan modern makin
merembes masuk ke dalam sendi kehidupan seni bermusik hingga melahirkan musisi
lokal dengan kekhasannya.Memang tidak banyak musisi lokal yang melahirkan
lagu-lagu berbahasa daerah, namun sekalipun dalam jumlah terbatas, mereka telah
memberi nuansa warna berkesenian dalam model musik yang menghentak rasa (sense
of art) dari masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan area budaya
domestik mereka.
Masyarakat adat Pah Amarasi
populer dengan tenunannya yang khas dimana ada sejumlah motif yang menjadi
pembeda dengan sub etnis lainnya di Tanah Timor (Barat). Demikian dengan lagu
daerah dan tariannya. Lagu To Tiut, Ra'aro, Koa Kiku',
populer pada zamannya. Kini yang lebih populer Ra'aro, Kosu' Bifee
Noni, Nekaf mese'-Ansaof mese', Atoup Noni', dan lain-lain yang
dikaryakan dan dikereasikan di daerah sendiri, dengan konten musik modern yang
menggoda dan menghentak rasa bergirang (koa' ~ teriak) hingga
menari.
Dalam hal menari, selain
publik selalu menggeneralisir bahwa orang Amarasi pasti akan berdansa pada
hajatan sukacita. Generalisasi ini tidak dibantah walau tidak semua orang di
Pah Amarasi dapat berdansa. Dalam hal bermusik, alat musik yang terkenal pada
zamannya yakni 'reku 'boko, 'he'o (viol), 'sene, 'tufu, bano, feku,
knobe. Alat-alat
musik ini telah out of date, walau masih ada sisa-sisa
peninggalan yakni 'sene dan 'tufu. 'Sene, 'tufu dan bano harus
selalu berpasangan, bila terpaksa tidak ada lagi 'tufu maka
wujud yang dapat menggantinya yakni jerigen karena ada ruang
resonansinya. Sementara bano belum
ditemukan penggantinya. 'Reku 'boko telah tiada, begitu pula
dengan viol.
Lagu-lagu yang dianggap
sudah out of date seperti To Tiut, Haumeni, Koa Kiku',
Timo Noo Mnatu' sangat jarang dinyanyikan pada zaman ini. Orang mulai
berpaling kepada lagu ciptaan baru yang membawa kecirikhasan bahasa lokal.
Karya cipta yang baru telah mengubah pola pikir, gaya dan daya dorong untuk
memundurkan yang lama dan memajukan yang baru. Contoh-contoh lagu seperti yang
sudah saya sebutkan di atas telah dimundurkan. Begitu pula dengan tari-tarian
seperti herin, betiboe, rabeka; sudah mulai ditinggalkan
perlahan dan dimajukanlah tarian kreasi baru seperti Tari Tenun yang tidak
dapat secara mudah menyebutkannya dalam bahasa lokal.
Tari massal kosu' sangat
familiar. Tarian
ini tidak membutuhkan suatu persiapan, latihan atau hal lainnya. Cukuplah
dengan menyiapkan rasa percaya diri untuk masuk ke arena massal, membawa
sehelai kain tenun yang disebut po'uk kemudian memegang
sebatang lidi berukuran maksumal 20 cm, di sana ada belahan lidi itu ada
jepitan satu lembar uang dengan nilai tertentu. Lidi yang menjepit uang itulah
yang akan ditempatkan pada sanggul dari seorang perempuan yang menjadi
objek/sasaran pemberian atau kepada pasangannya yakni seorang laki-laki yang
mengenakan destar di kepalanya. Pada destar itu diselipkan lidi yang menjepit
lembaran uang.
Pertanyaan lain muncul,
yakni; sejak kapan masyarakat adat Pah Amarasi menggunakan uang untuk dijadikan
aksesori tarian massal kosu'? Pertanyaan ini menarik karena uang (logam
dan kertas) yang beredar di Nusantara digunakan pada zaman ketika ada perdagangan
antarbangsa, lebih gencar ketika Belanda dengan VOCnya menguasai perekonomian,
hingga akhirnya Indonesia Merdeka masih sempat menggunakan uang yang
dikeluarkan oleh De Javasche Bank[1]. Jauh sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan jargon glory, golden dan gospel yang
membawa berjenis mata uang dalam perdagangan, telah ada mata uang yang beredar dalam masa
Hindu-Budha. Hal ini terbukti dengan adanya koleksi mata uang tertua yang disimpan
di Museum Nasional dengan Nomor Inventaris 2087 dan 2119[2]. Hingga akhirnya Republik
Indonesia merdeka sempat mengumumkan adanya Oeang Republik Indonesia (ORI) melalui Maklumat 2 Oktober 1945. Mata uang
ini berlaku hingga nasionalisasi De Javasche Bank pada Desember 1951 dan
berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, maka sejak saat
itulah Bank Indonesia merilis mata uang baru yang disebut rupiah, dan sekaligus
hari lahir Bank Indonesia[3]. Mata uang Rupiah menjadi
alat pembayaran yang sah menggantikan ORI dan jenis ORI lainnya yang berlaku
pada saat itu.
Mengikuti perkembangan sejarah
pemberlakuan jenis-jenis mata uang di Nusantara hingga adanya Republik
Indonesia dimana Swapraja Amarasi (Pah Amarasi) turut serta sebagai bagian
integral dari Indonesia Merdeka, maka tentulah mata uang Rupiah (Rp) turut tiba
di Pah Amarasi yang antara 1945 – 1961 masih berbentuk Swapraja.
Pada tahun-tahun itu
berkesenian (paling kurang dalam hal: lagu, tari, dan musik) di dalam
masyarakat adat Pah Amarasi, sudah ada dan terus terpelihara. Saya menduga
tarian kosu’ sudah ada bahkan jauh sebelum adanya uang kertas. Asumsinya,
uang logam tidak dijepit dengan lidi tetapi ditempelkan ke badan penari[4], atau diberikan dengan
cara memberi salam (jabat tangan) sambil meletakkan uang di sana.
Jika menengok lagi,
sangat sering ada tarian yang sifatnya tidak saja menghibur tetapi menguji
ketangkasan, keuletan dan kesabaran. Biasanya tarian ini dilakukan oleh kaum
laki-laki. Tarian itu disebut Raim Roit, (hrfh: jilad duit/uang). Uang
logam atau kertas diletakkan di arena menari, para penari mengitari uang itu
sambil menari dan membungkukkan badan hingga dapat menjilad (menggigit) uang
itu sekaligus dijadikan miliknya (hadiah). Tarian jenis yang satu ini tidak
selalu dibuat pada hajatan sukacita, namun sesekali dibuat sebagai hiburan kaum
laki-laki yang sudah “kemasukan gelas”.
Jika menelusuri melintasi
Lorong waktu ke masa silam, kembali kita tidak akan segera berhipotesis bahwa
perkembangan tarian kosu’ yang memanfaatkan uang sebagai salah satu
aksesori telah terjadi baru pada saat adanya uang. Tengok uraian sejarah uang.
Uang logam telah ada terlebih dahulu sebelum adanya uang kertas. Jika secara
simultan pemberian hadian kepada seseorang yang menari menggunakan uang logam
misalnya dengan cara ditempelkan di badan, jatuh dan dipilihkumpulkan oleh
anggota keluarga atau digenggamkan di tangan, maka perkembangan menariknya
yaitu ketika uang kertas tiba, sanggul sang perempuan menjadi wadah tempat
dimana uang itu diletakkan, sekaligus hendak “memprokamirkan” bahwa pemberinya
berjiwa ksatria. Mengapa? Pemberian itu sangat bernilai. Semakin besar nilai
nominal yang diberikan dan ditempatkan di junjungan (sanggul ~ bu’it), maka
semakin bermartabat pemberi dan penerimanya.
Kini kita bertanya lagi,
jika demikian, maka apa yang diberikan ketika kosu’ diterima sebagai
budaya pada saat belum ada uang? Jawabannya yakni, jika kosu’ dimaknai
sebagai pemberian hadiah, maka uang hanyalah cara paling mudah dan dapat dibuat
oleh siapa saja. Sementara
bila orang memberi dengan barang tentulah tidak semua orang dapat melakukannya.
Pernahkah Anda melihat
pemberian hadiah berupa kain tenunan yang diserahkan di depan khlayak? Pemberian secara terbuka
ini sekaligus menaikkan martabat pemberi dan penerimanya. Ingatkah Anda kisah
dalam Kitab Suci Alkitab dimana seorang gadis menari dengan sangat indahnya
sehingga menyukakan hati raja Herodes? Sang raja memutuskan untuk memberikan
hadiah kepada sang gadis penari. Ketika sang gadis penari termakan bisikan sang
ibu tentang hadiah yang akan diklaimnya, sang raja pun tertegun. Tetapi,
sebagai seorang raja, ia tidak dapat menjilad ludah yang dibuangnya sendiri. Ia pun mewujudkan ucapannya
dengan memberikan hadiah kepada sang gadis penari. Kepala Yohanis Pembaptis
menjadi tumbal atas janji yang diucapkan sang raja.
Penutup
Tari Kosu’ yang
berlaku massal di dalam masyarakat adat Pah Amarasi telah berlangsung dalam satuan
waktu yang tidak dapat dipastikan. Tarian ini sendiri makin popular atau viral
ketika musik modern ikut menyentuhnya. Maka, siapa pun dari etnis mana pun makin
menyukainya, terlebih ketika makna sederhananya yakni memberi hadiah kepada
yang menerimanya, khususnya pada pasangan kekasih yang melangsungkan pernikahan
dan memulai rumah tangga baru. Makna yang diperluas sebagai menaikkan martabat dua
pihak yakni pemberi dan penerimanya. Itulah sebabnya ketika orang ramai menaikkan
(acungkan) tangan dengan memegang lidi yang menjepit uang, pilihan untuk
mengikuti segera dimulai walau ada pula yang menimbang-nimbang.
Masyarakat adat Pah
Amarasi di Timor telah melestarian tarian ini dengan memberi sentuhan tambahan
yang positif. Tarian
ini makin popular di banyak tempat, dan tentu dimana ada diaspora orang Timor
dalam semua anak-sukunya, pasti ada tari kosu’ bila ada hajatan.
[1]https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201029185107-78-564043/sejarah-uang-kertas-pertama-di-indonesia dan https://halosemarang.id/ini-sejarah-uang-di-indonesia-dari-ori-hingga-rupiah
[4] Bukti empiris saya
saksikan di Palmerston ketika tarian seperti ini dipertontonkan kepada kami. Saat
itu saya mengomentarinya sebagai kosu’ yang disambut oleh seorang Antropolog
dari Australian National University bahwa budaya menari di Pasifik seperti itu
meniru orang Timor-Amarasi.
luat biasa Bapak . selalun kren dalam menyuguhkan tulisan
BalasHapusSangat menarik ulasan Pak Bani semoga go internasional budaya Kosu
BalasHapusTerima kasih telah berkunjung di lapak sederhana ini. Semoga masih merindukannya
BalasHapus