Sanksi Adat dalam Perwujudan Hukum Adat Perkawinan
Sanksi Adat dalam Perwujudan Hukum Adat Perkawinan
Pengantar
Pernahkan Anda menghadiri suatu acara perwujudan pernikahan/perkawinan menurut hukum adat perkawinan? Bila Anda menghadiri di wilayah perkotaan, rasanya hal yang satu ini jarang terjadi. Sanksi atau Denda yang diterimakan kepada pihak keluarga laki-laki. Di wilayah perkotaan, hal ini rasanya tidak pernah terjadi, padahal ketika menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan item-item kesepakatan, salah satu di antaranya yakni waktu yang ditentukan tidak boleh dilanggar, dilangkahi apalagi diabaikan untuk tidak datang sama sekali. Pastilah mereka yang terlambat, atau abai pada waktu yang disepakati itu akan menjadi satu batu antukan untuk menerima sanksi/denda. Tetapi, faktanya tidak selalu terjadi demikian, kecual kata-kata yang terasa pedis mengiris perasaan dan hati bila tanpa sengaja tidak tepat waktu.
Berbeda bila perwujudan hukum adat perkawinan itu terjadi di wilayah pedesaan. Sanksi/Denda dipastikan terjadi dan benar-benar diucapkan dan dilaksanakan sesaat sesudahnya. Para pemangku adat tidak akan menunggu sampai ada lobi dan negosiasi. Tidak ada peluang lobi dan negosiasi pada saat sanksi/denda diucapkan. Pihak yang menerima sanksi/denda wajib segera menuntaskannya tanpa bertanya, tanpa berkomentar, tanpa pengeluhan.
Itu sebabnya, di perkotaan ketika acara maso minta dilaksanakan, orang berusaha untuk tepat waktu, bahkan jika perlu pada detik pertama sesudahnya waktu yang ditentukan. Bila menentukan waktunya pukul 16.00, maka persis waktu itu, rombongan keluarga peminang sudah harus berdiri di depan rumah dari pihak yang akan terminang. Sementara di pedesaan, hal itu sering diabaikan. Namun, ketika item-item hukum adat perkawinan yang disebutkan dan disepakati tidak dilaksanakan seutuhnya, maka point-point itu akan mendapatkan sanksi/denda. Bayangkanlah bila ada 5 butir saja kesepakatan, dan di setiap butir kesepakatan itu cara menyajikan dan menyampaikan dianggap tidak tepat, tidak sesuai kesepakatan, tidak seturut rasa tata krama berbudaya, dan lain-lain persepsi pihak terminang, maka mereka akan menjatuhkan sanksi/denda.
Pengalaman Belaka
Saya mengikuti banyak cerita tentang sanksi/denda yang diucapkan oleh pihak terminang yang diwakili oleh Juru Bicara (jubir, mafefa'). Mafefa' akan mengucapkan kesalahan atau kekeliruan, selanjutnya diikuti dengan nilai nominal yang harus diterima dan dilaksanakan oleh pihak peminang yang diwakili oleh mafefa' pula. Mafefa' pihak peminang akan berbicara seadanya menjelaskan kesalahan atau kekeliruan kepada pihak kelaurga laki-laki. Pihak keluarga laki-laki akan berdiskusi sambil merogoh kantong persediaan. Hasil rogohan itu ditempatkan di atas tempat sirih-pinang. Sanksi/denda yang demikian untuk menutup kesalahan, kekeliruan yang dibuat oleh mafefa' atas nama mereka.
Mari melihat conntoh-contoh, tanpa menyebut nama dan tempat terjadinya kasus sanksi/denda adat demi perwujudan item kesepakatan hukum adat perkawinan.
Lihatlah kesepakatan item hukum adat perkawinan yang pokok:
- Air susu ibu (suus oef, dll istilah menurut etnis dan entitas)
- Pindah nama marga (sea'nono, kaso nono, kenoto, dll istilah menurut etnis dan entitas)
Kedua point ini sangat penting pada urusan perkawinan menurut hukum adat etnis mana pun di Nusa Tenggara Timur ini. Di samping kedua hal ini, terdapat sejumlah hal lain yang berhubungan dengann keluarga, institusi pemerintahan desa/kelurahan dan institusi keagamaan.
- To'o', pada etnis Rote, pemberian kepada saudara laki-laki dari ibu. Ibu dari gadis yang dipinang.
- Atoin mone, pada etnis Timor, pemberian kepada saudara laki-laki dari gadis yang dipinang.
- Baab mone, pada etnis Timor, pemberian kepada saudara laki-laki dari ibu gadis yang dipinang.
- Ama mone, pada etnis Sabu, pemberian kepada saudara laki-laki dari gadis yang dipinang; sering pula kepada saudara laki-laki dari ibu gadis yang dipinang.
- Umi nanan dan nonot, etnis Timor, pemberian kepada anggota keluarga di dalam rumah gadis yang dipinang, dan keluarga luasnya. Keluarga luas yang dimaksud biasanya diwakilkan kepada orang tertentu yang mewakili 2 marga yang disandang oleh ibu dari gadis yang dipinang.
- Para pemangku adat, agama, pemerintah desa. Jumlah item bergantung kesepakatan di dalam desa/kelurahan. Nilai nominal yang ditentukan di sana, sangat sering menjadi gangguan pada rasa keberpihakan.
Satu kepastian, item-item hukum adat perkawinan tidak dapat dipatok sebagai harga mati dan tidak dapat diubah. Orang justru menambah-nambah sesuai dengan asumsinya sendiri pada hukum adat perkawinan. Orang dapat saja menambah sesukanya bila merasa itu pantas. Contoh-contoh berikut ini merupakan penambahan:
- Ketua Paduan suara
- Ketua PKK
- Ketua Arisan
- Ketua Kelompok Wanita Tani
- dll
Bila gadis yang dipinang itu seorang "aktivis" kampung (desa/kelurahan), sangat sering organisasi yang dimasukinya akan disebutkan untuk mendapatkan bagian dalam urusan mewujudkan hukum adat perkawinan. Ini semua menjadi "gangguan" pada pihak keluarga laki-laki. Maka, ketika pelaksanaan di dala forum adat, sangat sering mafefa' akan pangling dan linglung. Ketika terjadi demikian, silap kata dan sikap muncul, terdengar dan terlihat. Di sanalah titik-titik awal dimulainya sanksi/denda adat, karena semua item itu tidak diserahkan sekaligus, tetapi wajib menyerahkannya satu per satu.
Saya beri contoh konkrit pada dua peristiwa dimana saya hadiri.
Pertama, Dua pihak menyepakati bawaan berupa 7 (tujuh) dulang (5 dulang seperti biasanya dan 2 dulang tambahan untuk para pemangku kepentingan di pemerintahan desa dan institusi keagamaan). Ketika rombongan peminangan tiba, terjadi check and recheck sebelum masuk. Mereka benar-benar menyiapkan ketujuh dulang itu dengan masing-masing isiannya. Entah apa yang terlintas di dalam olah pikir anggota rombongan itu, seorang di antaranya mengambil isian dari 2 dulang terakhir lalu ditempatkan ke dalam dua dulang lain di barisan lima dulang. Hilang dua dulang yang disebutkan kemudian itu.
Ketika penyerahan dilakukan, mafefa' bingung karena 2 dulang "hilang". Ketika ditanyakan kepada mafefa' pihak peminang, dia makin bingung karena sesaat sebelum memulai acara, kedua hal itu masih terlihat. Tiba-tiba "hilang". Lalu diketahui mereka menempatkannya di dalam dulang-dulang lain yang sudah diserahkan. Maka, salah satu anggota keluarga dari rombongan itu diminta mengambil kembali. Proses ini hanya bisa terjadi dengan sanksi/denda secara tegas. Kedua dulang itu akan disampaikan kemudian dengan nilai sanksi/denda sebesar 2 juta rupiah. Apakah rombongan peminang akan menolak? Tidak! Wajib untuk dilaksanakan dan terwujud di hadapan seluruh pemangku kepentingan: Kepala Desa dan perangkatnya, para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, para orang tua dua pihak keluarga, dan semua orang yang hadir sebagai bagian dari urusan perkawinan itu.
Kedua, Dua pihak telah bersepakat bahwa acara peminangan dipisahkan dari acara perwujudan item hukum adat perkawinan. Sesi peminangan berjalan lancar, mulus, full smile and applause. Kini para pihak saling berhadapan. Keluarga laki-laki dan perempuan saling berhadapan dengan mafefa' masing-masing duduk di depan. Ketika acara dimulai, mafefa' pihak keluarga laki-laki kelimpungan karena seluruh amplop tidak berurut secara baik. Ia makin bingung dan linglung. Di hadapan semua pemangku kepantingan, mafefa' menerima sanksi/denda. Nilai nominal rupiah tidak disebutkan pada mulanya. Ia menempatkan sekitar 25 ribu rupiah pada point kesalahan pertama. Ketika tiba pada point sea'nono atau kaso (kaos) nono, terjadi kesalahan yang sifatnya fatal. Maka, mafefa' pihak keluarga perempuan menjatuhkan sanksi/denda adat untuk disampaikan kepada tiga pihak. Masing-masing pihak akan menerima tempat sirih-pinang, oko'mama' yang nilai nominalnya disebutkan sebesar 100 ribu rupiah. Mafefa' keluarga laki-laki mewujudkannya dengan mengambil dari mereka yang sedang dalam proses itu.
Dapatkah orang menghindari sanksi/denda adat pada urusan perkawinan? Dapat! Bagaimana caranya?
Menghindari sanksi/denda dapat terjadi pada siapapun yang mengurus perwujudan item-item hukum adat perkawinan sebagaimana yang disepakati. Cara menghindarinya yakni:
- Pilihlah mafefa' yang menguasai bahasa (istilah) adat. Di dalam masyarakat Pah Meto', metafora sangat banyak dan bervariasi. Mereka yang tidak paham makna yang dikandung dalam sejumlah metafora, baiknya tidak duduk sebagai mafefa'. Orang dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk tidak terjadi kesalahan, kekeliruan, namun menerjemahkan metafora dalam waktu singkat pada dialog para mafefa' menjadi tantangan tersendiri.
- Tempatkan seluruh item kesepakatan secara berurut bila tidak diminta pengelompokan. Hal ini untuk menghindari kekeliruan dan atau kesalahan mengambil dan mengantarkan.
- Bila memungkinkan, buatlah kesepakatan untuk memodifikasi pendekatan peminangan (maso minta) dengan cara yang memudahkan yakni kolaborasi. Masukkan cara masyarakat adat perkotaan (dulang maso minta), lalu tambahkan dulang lain sesuai hukum adat perkawinan. Serahkan seluruhnya dengan penjelasan yang sejelas mungkin pada acara peminangan. Maka, ketika selesai peminangan, tidak ada lagi acara lanjutan yakni duduk bersama untuk pelaksanaan hukum adat perkawinan.
Penutup
Hal-hal sebagaimana diuraikan di atas sebagai pelaksaan hukum adat perkawinan dengan sanksi/denda adat di dalamnya, tidak selalu terjadi dan tidak diharapkan terjadi. Maka, orang menyiapkan diri sebaik-baiknya sehingga dapat menghindari sanksi/denda adat. Namun, bila sanksi/denda adat harus terjadi, mafefa'lah yang harus bertanggung jawab dengan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima oleh mafefa' lawan bicaranya.
Demikian sekelumit kisah pada urusan perkawinan yang tidak selalu dimunculkan ke permukaan, namun selalu dikuatirkan.
Umi Nii Baki, 15 Juni 2022
herobani68@gmail.com
Mantap pak, sebuah pengetahuan penting bagi generasi muda dlm hal adat perkawinanan
BalasHapusTerima kasih sudah membaca dan memberi respon komentar di sini.
Hapus🙏🏻😇
BalasHapus🙏🙏
HapusCatatan bijak yang perlu direnungkan oleh generasi masa kini. Terima kasih Pak Roni
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung
Hapus