Duduk Makan Bersama Dalam Masyarakat Adat
Duduk Makan Bersama Dalam Masyarakat Adat
Pengantar
Ziarah kehidupan manusia yang semula
nomaden kemudian beralih menjadi menetap ketika terjadi revolusi hijau,
menyebabkan manusia memiliki pola pikir yang mengevolusi gaya hidup seperti
berpakaian dan mengkonsumsi sesuatu secara bersama dan tetap. Pada saat manusia mulai mengenal pola bercocok tanam, tanaman-tanaman palawija
dan tanaman pangan dikembangkan secara besar-besaran. Beternak secara tetap
sehingga mendapatkan profesi sebagai peternak dan gembala merupakan sikap dan
tindakan yang bersamaan dengan revolusi hijau. Menangkap ikan yang semula
dilakukan di sungai atau danau beralih ke laut, yang menelorkan ketrampilan
hingga keahlian menjadi nelayan, pembuat perahu, kapal dan berjenis alat perangkap
dan penangkap ikan. Semua itu dilakukan atas dasar olah pikir yang berkembang untuk menyikapi perubahan di sekitar kehidupan
mereka.
Bagaimana pola dan gaya hidup yang berhubungan dengan makan yang semula
mentah lalu beralih menjadi panggang hingga masak dan varian ikutannya? Kira-kira
kapan orang (masyarakat) mulai menyadari untuk duduk makan secara bersama-sama dalam
kelompok terbatas atau boleh juga massal? Bila orang menyadari bahwa duduk
untuk makan bersama-sama itu terjadi, apa yang dapat dimakan? Jenis makanan
seperti apa yang disepakati itu patut diolah dengan cara apa dan bagaimana sehingga
dapat diterima oleh semua pihak yang duduk makan bersama (kelompok terbatas
atau massal)?
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu tidak
mudah untuk mendapatkan jawabannya. Orang mulai berpikir
dengan “menoleh” ke masa lampau dari aspek kesejarahan baik oralis maupun historigrafis.
Ini memang tidaklah mudah, namun asumsi-asumsi yang kiranya mendekati kebenaran
informasi dan logik dapatlah pula menjadi rujukannya.
Sudah berabad lamanya orang (masyarakat) menikmati makanan. Sumbernya dari
alam sekitar kehidupan dimana mereka berada. Maka, ketika komunitas A mengkonsumsi
sesuatu di daerahnya oleh karena sesuatu itu ada di alam kehidupan mereka,
tentulah komunitas B tidak mengkonsumsi hal yang sama karena tidak tersedia di tempat
dimana mereka hidup. Itu
sebabnya, makanan khas dan pokok komunitas atau etnis saling berbeda.
Bagaimana dengan duduk makan bersama?
Saya kembali kepada pernyataan sebelumnya,
bahwa duduk makan bersama menjadi suatu kesepakatan dalam suatu komunitas.
Kesadaran untuk duduk makan bersama, satu jenis menu dengan pendekatan olah
yang diterima semua pihak, antar komunitas dan etnis pada prinsipnya sama,
namun berbeda dalam pendekatan menyajikannya. Materi ini yang akan saya ulas secara gamblang pada tulisan ini. Masyarakat
etnis Atoni’ di Amarasi (Raya ~ Pah) sudah lama “meninggalkan” pendekatan duduk
makan bersama yang disebut bukae harat.
Varian Makan Bersama di Nusantara dan Bukae Harat di Timor
Duduk makan bersama, sekali lagi secara prinsip sama dengan komunitas dan
etnis lain di berbagai tempat[1]. Lihatlah
bagaimana suku Jawa, Sunda, Solo, Minang dan Bali melakukan apa yang disebut makan
bersama itu. Mereka menyebutkannya menurut bahasa di daerahnya, seperti: bancakan,
ngeliwet, bajamba, dan mengibung.
Apa dan bagaimana beseprah di Kabupaten Kutai Kertanegara[2]? Cermati
pula bagawa yang dianut dan dilakuni masyarakat Belitung[3]. Cermati
lagi ngodu adat dan saro-saro pada masyarakat
Maluku. Bukankah komunitas dan etnis di Indonesia (nusantara dan dunia) sangat banyak
sehingga pendekatan budaya makan bersama akan saling berbeda, namun secara
prinsip sama, yakni duduk sama rendah, menikmati sajian makanan dengan menu
yang sama tanpa sekat status sosial dan kehormatan. Masing-masing pendekatan duduk
makan bersama ini memiliki filosofi dasar dan nilai menurut etnis penganutnya.
Bagaimana dengan bukae harat yang khas di Timor?
Di Timor, menurut pemberitaan yang sempat saya baca[4], Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) pernah melakukan tradisi duduk makan
bersama yang disebut Fole’ Mako’ (folemako). Seorang
blogger menulis di Kompasiana[5],
bahwa orang Timor dalam upacara-upacara yang khas selalu mempunyai pendekatan
duduk makan bersama.
Duduk makan bersama yang dimaksudkan pada masa lampau yakni duduk setikar-semenu.
Bila menu yang disiapkan oleh para juru masak dalam jumlah yang lebih dari dua
(nasi jagung dan kuah/sup) maka, semakin banyak perlengkapan makan yang
disediakan untuk setiap orang yang duduk di tikar atau meja (‘nahek; harak,
hala’, mei bukaet). Prosesnya mengalami perubahan dari duduk di tikar “naik
kelas” menjadi duduk di dadegu[6]
(harak, hala’)
Setiap orang yang duduk di ‘nahek, atau harak/hala’, mei-bukae-harat,
akan mendapatkan jatah (porsi) yang sama banyaknya. Menambahkan ke dalam wadah
makanan merupakan suatu kewajiban yang akan dilakukan oleh para petugas yang
melayani makanan. Mereka terus menerus memperhatikan peserta duduk makan
bersama agar wadah makanannya tidak sampai benar-benar kosong. Porsinya akan
tetap sama dari sejak awal sampai dengan peserta itu menyatakan
ketidaksanggupannya.
Perhatikan gambar yang saya ambil dari satu upacara duduk makan bersama Fole’
Mako’ berikut ini.
Dalam foto ini menggambarkan suatu acara
duduk makan bersama yang khas masyarakat adat Timor, khususnya di Timor Tengah
Utara. Mereka menyebutkannya Fole’ Mako’. Perlengkapan makanan
sudah modern, makanannya pun sudah bukan dari beras olahan padi yang ditumbuk,
tetapi dari padi yang digiling. Piring bukan lagi dari tempurung kelapa, atau
dari anyaman (a’sa’u, a’sau’), tetapi sudah menggunakan piring modern. Wadah untuk kuah/sup (oef) bukan dari tempurung kelapa yang dimangkokkan,
tetapi piring bercekung, dan bukan mangkok. Rerata perlengkapan yang digunakan
telah mengalami perubahan, namun esensinya tetap baik pada proses olahan sampai
pada penyajiannya. Jika di sana terjadi pergeseran proses olahan khususnya pada
kuah/sup (oef), hal ini seturut perkembangan gaya hidup dalam mengolah bahan
makanan sampai siap saji.
Hal yang sama terjadi pada masyarakat Amarasi (Raya ~ Pah Nai’ Rasi’). Mereka tidak lagi menggunakan tikar (a’nahek) atau meja dadegu (harak, hala’), tetapi menggunakan meja yang dibangun oleh tukang kayu. Meja modern. Ini bukan sesuatu yang tabu. Piring pun berganti dari piring berbahan dasar alamiah: tempurung kelapa atau anyaman (a’sa’u, a’sau’) tetapi sudah sampai pada titik menggunakan piring milamin. Para pelayan tidak menyediakan mangkuk tetapi masih menggunakan piring pula. Sambal (lu’at, pasi’) dan garam (masiik), dan tempat minum (a’koma’) berupa gelas pun tidak disediakan atas alasan makan adat itu tidak minum air tetapi sup/kuah menjadi minumannya. Padahal, sesungguhnya menyebut makan adat, maka, minumannya yakni tuak ~ raru, laru. Dagingnya bukan daging sapi, tetapi harus daging babi. Mengapa daging babi? Karena pola dan gaya makan daging pada masayrakat Timor pada umumnya yakni makan daging babi.
Persiapan Bukae Harat, Foto: Dokpri, RoniBani |
Pada masyarakat Timor, ketika orang harus duduk makan bersama, mereka
menyediakan mangkok berisi rebusan daging babi berlemak tebal. Semua peserta
wajib “minum” sup/kuah dari rebusan daging babi berlemak tebal itu.
Mengapa mesti “minum” kuah/sup rebusan daging babi berlemak tebal? Hal ini
terjadi karena rerata masyarakat Timor merupakan pemamah sirih-pinang. Lapisan
lidah dan saluran yang akan dilewati makanan terasa seperti telah “menebal”
akibat dimasukkannya mamahan setiap saat. Oleh karena itu, orang yang
duduk makan bersama bila menikmati kuah/sup rebusan daging babi berlemak tebal,
mereka bagai tidak merasakan adanya minyak di sana. Bahwa bila seseorang merasakan
hal berbeda karena telah merasakan minyak, kepadanya diberikan minuman
beralkohol agar “membunuh” minyak yang ditelannya melewati saluran makanan,
mulai dari mulut, lidah tenggorokan hingga lambung.
Duduk makan bersama, dalam komunitas dan etnis Amarasi disebut bukae
harat secara harfiah, makan adat. Orang dapat saja “menghindar” untuk tidak turut
serta dalam bukae harat. Mengapa menghindar? Beberapa alasan berikut:
·
Makanan
yang disiapkan tidak sesuai kondisi keimanan dan kesehatan
·
Denda
adat berupa sejumlah uang yang ditetapkan oleh pemimpin (atook mei je ‘nakan).
Lalu bagiamana jika seseorang wajib duduk makan
bersama dalam bukae harat? Bukankah ia tidak boleh menghindar? Tentu
saja ia tidak boleh menghindar. Pendekatan yang paling tepat yakni, “membayar
denda” di depan semua peserta bukae harat. Denda yang dimaksudkan itu
sebesar yang ditentukan oleh atook mei je ‘nakan. Denda itulah yang
dipakai untuk pengadaan minuman beralkohol agar melayani semua peserta bukae
harat. Selama tidak ada yang membayar denda, maka penyelenggara bukae harat
yang wajib menyediakan minuman beralkohol. Pendekatan minum minuman
beralkohol pada acara bukae harat yakni minum secukupnya untuk menghapus
rasa “geli” pada tenggorokan, bukan dalam rangka menaikkan tensi martabat
hingga melemahkan urat dan otot.
Penutup
Bukae Harat sudah lama hilang
dari praktik penyelenggaraannya. Orang Amarasi merupakan masyarakat yang “mudah”
mengikuti perkembangan dunia luar, termasuk gaya hidup dalam hal makan bersama.
Jagung rebus (peen teme ~ jagong katemak), jagung bose (peen pa’u),
nasi jagung (peen tutu’), sudah bukan sajian utama pada acara bukae
harat. Bukae harat menempatkan
nasi dan daging yang diterima umum. Bila menu lain yang dikreasikan atas alasan
mengikuti perkembangan dunia kuliner, maka hal itu bukanlah tabu pada masyarakat.
Kini, makan bersama bergeser ke ruang makan bersama. Setiap orang mengantri
untuk mengambil bagian sesuai kemampuannya. Sesudah mengambil bagian di ruang
makan, tiap orang pergi mencari sendiri tempat duduk sedekat atau sejauh
mungkin sesuai kondisi tempat dimana ia duduk semula atau tempat lain yang
dianggap layak, pantas untuk duduk makan.
Mungkinkah mengantri di ruang makan, mengambil porsi sendiri, keluar dari
sana, mencari tempat duduk, orang merasa telah terhormat?
Duduk makan bersama dalam budaya bukae harat, sesungguhnya
menempatkan martabat manusia pada tempatnya. Ada yang duduk makan secara
terhormat, menjaga disiplin: bicara menyuap makanan, menenggak minuman,
disiplin pelayanan hingga berhenti secara bersama. Mereka yang duduk makan
bersama dalam secara budaya, mereka menempatkan diri sebagai orang terhormat dan
bermartabat.
Koro’oto-Nekmese, 22 September 2022
herobani68@gmail.com
[3] https://www.idntimes.com/travel/journal/regina-amalia/6-tradisi-makan-barengan-di-indonesia-c1c2?page=all
[4] https://gardaindonesia.id/2020/06/21/folemako-tradisi-makan-adat-dari-kabupaten-timor-tengah-utara/
[6] Dadegu,
istilah berbahasa Melayu Kupang. Meja tradisional yang dibangun dengan
menggunakan belahan bambu atau pelepah gebang. Kaki meja berupa kayu bercabang.
Dua batang kayu lurus disambungkan dari
satu tiang ke tiang berikutnya. Di atas batang kayu lurung itu ditempatkan
belahan bambu atau pelepah gebang. Hal yang demikian ini berubah menjadi
meja dengan menggunakan papan.
luar biasa ulasannya. informatif dan menarik , salam hangat terus berbagi
BalasHapusTerima kasih telah berkunjung ke lapak saya
Hapus