Hujan Dalam Rangka Apa??
Pengantar
Masyarakat adat Pah Amarasi yang berprofesi sebagai petani (ladang) dan beternak (sapi dan babi), selalu diperhadapkan dengan situasi dan kondisi alamnya. Alam Pah Amarasi yang rerata berada 500-600 meter di atas permukaan laut menyajikan pemandangan yang indah pada musim hujan, karena pada saat itu hutan menghijau dimana-mana. Kesejukan pada pandangan mata antara bulan Mei - September disebabkan hutan masih memperlihatkan keindahannya dengan hijauan. Peternak (sapi dan babi) sangat bersyukur antara bulan Desember tahun sebelumnya sampai bulan Agustus hingga pertengahan September tahun sesudahnya.
Bila musim tanam berlangsung pada bulan Desember tahun sebelumnya hingga Januari tahun sesudahnya, maka musim panen (menuai) berlangsung antara April - Mei. Sesudah panen, ternak-ternak sapi dan babi akan menjadi perhatian utama walau mungkin jumlahnya hanya berkisar antara 2 - 5 ekor untuk perorangan. Sementara peternak yang sekaligus berperan sebagai pedagang memungkinkan untuk memelihara sapi dan babi mencapai angka puluhan (20 - 40 ekor).
Bila ada peternak sapi yang memiliki lebih dari 40 ekor, biasanya mereka menggunakan jasa (buruh) peternak.
Kalangan masyarakat adat Pah Amarasi sesungguhnya tidak mengenal profesi peternak sebagai buruh. Seorang peladang dapat sambilan sebagai peternak atas alasan memberikan jasanya oleh karena ia tidak memiliki ternak sapi, sementara ia memiliki pakan (dedaunan). Di sini terjadi kontrak kerja antara pemilik sapi dan peladang yang Nyambi sebagai peternak. Mereka akan membagi hasil pada saat ternak sapi dijual. Konsep Paron (paroh) berlaku di sini.
Tulisan ini tidak hendak mengurai secara lebih detil mengenai konteks masyarakat peladan dan peternak di dalam wilayah Pah Amarasi. Saya hendak mengurai suatu pengetahuan lokal yang berhubungan dengan kondisi alam yakni, hujan pada akhir September hingga Oktober walau tidak selalu ada.
Hujan untuk Apa?
Masyarakat Pah Amarasi khususnya peladang berpindah dan peternak akan mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan bila memasuki bulan September. Suhu alam mulai menaik dan terasa makin panas terlebih mencapai puncaknya pada bulan Oktober. Hal ini terjadi karena pada bulan September dedaunan mulai gugur. Debit air pada sumber yang paling dekat dengan area beternak mulai berkurang. Langit makin terang setiap harinya, dan terlihat bagai makin menjauh dari permukaan bumi, namun makin panas dan "ganas". Bila malam hari cahaya bulan amat terang dan bintang bertaburan, pertanda pagi menyediakan embun bertabur, lalu terbaca sebagai, hari makin panas dan ganas.
Mengeluh, lelah namun wajib hukumnya untuk bekerja keras menemukan sumber air atau membawa air agar ternak sapi dan babi dapat menikmati air minum setelah mendapatkan pakan (daun lamtoro, rumput gajah, raja rumput, turi, dll). Semua jenis pakan ini tidak selalu mudah didapatkan pada bulan September - Nopember bila tidak segera hujan.
Pada tempat tertentu tanah terbelah (kb aaz, pe'es, pea'as). Menurut pengetahuan lokal, belahan tanah itu menyebabkan rembesan air di permukaan tanah makin turun sehingga debit air pada sumbernya pun turun. Gugurnya dedaunan karena kekurangan air yang disediakan di dalam tanah.
Lalu, bila akhir September atau awal Oktober terjadi hujan sehari dalam satu jam, atau dua jam, betapa hati bergirang. Bila hujan berselang dalam seminggu atau dua minggu, para peternak makin bergembira.
Pohon-pohon yang tadinya berguguran daunnya, kini kembali menunjukkan hijauannya. Proses ini disebut nasaeb hau no'o. Belahan tanah kembali tertutup atau mungkin lebih tepat terkatup setelah "menelan" air hujan dalam rembesannya. Proses ini disebut kee' pe'es (pea'as). Hujan menyebabkan dua hal ini terjadi. Tunas-tunas muda mulai terlihat, tanaman pakan ternak kembali menghijau. Tanah tidak lagi terbelah.
Maka, bila ada pertanyaan hujan pada akhir bulan September atau awal Oktober untuk apa? Masyarakat Pah Amarasi yang peladang dan peternak akan memberikan jawaban, nasaeb hau no'o ma nkee' pe'es (pea'as).
Pengetahuan lain yang menjadikan peladang menjadi galau bila hujan itu terjadi bukan sekadar nasaeb hau no'o ma nkee' pe'es (pea'as). Bila hujan terus berlangsung selama bulan Oktober - November maka suasana hati bukan bergembira. Peladang akan gelisah karena belum sempat menyiapkan lahan untuk menanam padi dan jagung.
Masyarakat peladang makin bergegas antara mengurus ternak dan ladang. Kaum perempuan dan anak-anak pun akhirnya turut serta dengan kaum lelaki agar tenaga kerja bertambah sehingga persiapan lahan (ladang) makin cepat berhubung hujan bukan lagi nkee' pe'es (pea'as) ma nasaeb hau no'o.
Pada kondisi yang demikian, mereka akan belajar. Langit akan menjadi fokus perhatian pada malam hari. Bintang tertentu akan mendapatkan perhatian untuk dibaca indikasinya yang memberikan informasi tentang perubahan cuaca saat itu.
Penutup
Pada masyarakat adat khususnya di daerah pedesaan dengan konteks alam berlereng dan berbukit, mereka tidak hanya menjadi penghuni dan pengambil manfaat dari alam. Mereka menjadi pembelajar dengan materi ajar yang tersedia dari alam, baik yang terdekat (hutan, pepohonan, sumber air, sungai, danau, dll) hingga yang tak dapat dijangkau (langit).
Dalam konteks yang demikian, masyarakat pedesaan bukan tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang alam, justru mereka memahami dan menjalankan hukum adat tertentu untuk menjaga kelestarian alam, agar tanah dan pepohonan hingga sumber air tetap terjaga.
Dunia ekonomi (uang) menghias otak manusia, lalu pepohonan ditebas, ditebang dan penjualan hasil hutan terjadi untuk mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat. Perambahan hutan dengan menggembalakan ternak sapi di dalamnya menyebabkan ekosistem hutan menjadi rusak.
Hujan untuk apa?
Hujan terjadi pada waktunya sesuai siklus alam. Manusialah yang menjadi penyebab perubahan iklim. Manusia pula yang menikmati akibat perubahan iklim ini.
Mari menjadi arif dan bijak pada alam, agar kita tidak "menghukum" diri ketika panas mengganas atau hujan menghujam hingga meruntuhkan.
Salam Literasi
Umi Nii Baki-Koro'oto, 10 Oktober 2022
Komentar
Posting Komentar