Amalgamation dan Resetlement Program Pemukiman Penduduk ala Victor H. R. Koroh Di Amarasi-Timor, 1968 – 1975
AMALGAMATION DAN RESETLEMENT
PROGRAM PEMUKIMAN PENDUDUK
ALA VICTOR H. R. KOROH
DI AMARASI-TIMOR, 1968 – 1975
Heronimus Bani[1]
Abstract
This paper discusses the process of transferring
traditional villages from the system of zelfbestuur or swapraja to a new system of village organisation in Amarasi (south-west Timor)
between 1968 and 1975. In 1968 there were 60 traditional villages in Amarasi
when the government began a process of forced village relocation and
amalgamation. The government constructed 23 new villages which were organised
along a new system of village administration. The population originally
resisted this relocation and because of this the government sent officers to
destroy their houses and force them to relocate to new areas, known as
amalgamated villages. The population did not have the power to resist this
relocation and had to re-start their lives in the new villages and built their
own houses, churches, roads and other infrastructure. The number of villages in
the new kecamatan of Amarasi
(formerly Amarasi zelfbestuur ) was
23 with the capital of the kecematan located in Oekabiti. This paper takes a
historical perspective and is based on interview with 20 key persons.
Key words: resettlement, amalgamation, old village system, new village system
Pendahuluan
Sejak
tahun 1965 gejala penggabungan desa-desa tradisional mulai menggema. Di sana terjadi
perubahan besar-besaran pada sistem pemerintahan dan kemasyarakatan desa.
Desa-desa yang tadinya diberlakukan pemerintahan
secara adat, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi
mengikuti hukum positif yang berlaku dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini memungkinkan untuk terjadi, karena pada tahun 1965, Pemerintah Pusat mengeluarkan
Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Memang
UU tersebut kemudian dicabut untuk tidak diberlakukan karena “kekacauan” dalam terjemahan
dan implementasi di lapangan. Akan tetapi, masyarakat pedesaan yang belum melek
peraturan secara baik, mendengar dan mengikuti bahwa aturan baru itu
diberlakukan di seluruh Indonesia. Maka, persiapan-persiapan untuk pembentukan
desa-desa baru dalam swapraja Amarasi daerah Timor mulai menggema.
Perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini sesungguhnya tidak serta merta
mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Walaupun demikian, Swapraja Amarasi
menangkap peluang itu untuk suatu visi baru yaitu Amarasi yang mamu. Desa-desa
di bekas Swapraja Amarasi pun mulai mempersiapkan diri untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam rangka pembentukan desa praja.
Swapraja
Amarasi Amarasi kemudian berubah menjadi Kecamatan Amarasi. Demikian pula
dengan desa-desa lama yang terbentuk secara genealogis dengan sistem pemerintahan
adat yang aseli. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1)
latar belakang pembentukan desa-desa gaya baru yang dibarengi dengan upaya
pemukiman kembali penduduk di dalam desa-desa gaya baru tersebut; (2) proses
pembentukan desa-desa gaya baru. Dengan membahas kedua masalah ini diharapkan
mencapai tujuan untuk mengetahui latar belakang dan proses pembentukan
desa-desa gaya baru dan pemukiman kembali penduduk di dalam desa-desa gaya baru
tersebut. Dengan begitu, ada kemanfaatan dari hasil penelitian ini untuk
menilai semangat kerja pemerintah dan masyarakat kecamatan dan desa/kelurahan
di Amarasi dewasa ini dan di masa yang akan datang.
Metode
Penelitian
Penelitian
dan pembahasannya menggunakan metode penelitian sejarah. Franken dan Wallen
(dalam Riyanto, 2001) mengatakan, penelitian sejarah adalah penelitian yang
secara ekslusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba
merekonstruksikan apa yang terjadi pada masa lalu yang selengkap dan seakurat
mungkin dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Nawawi (2003:78)
menyebutkannya sebagai metode historis, yang sumber datanya berupa peninggalan
material (seperti bangunan-bangunan, peralatan,dlsb); peninggalan tertulis; dan
peninggalan budaya.
Kajian
Pustaka
1.
Membaca masa lalu Amarasi
Widiyatmika
(2007:36-37) mencatat bahwa di pulau Timor sebelum datangnya bangsa kolonial,
terdapat kerajaan-kerajaan merdeka. Kerajaan-kerajaan itu terbagi atas 3
kategori, yaitu (1) Kupang/Helong; (2) Wesei Wehali, Liurai Wehali: Wehali,
Hatimuk, Dirma, Lakekun, Fialaran, Mandeu, Jenilu, Lidak, Naitimu, Lamaknen,
Manlea, Bani-Bani, Harneno, Biboki, Insana, Nenometan, Lakekun, Fahiluka; (3)
Liurai Sonbai: Amanuban, Amanatun, Mollo, Amfoang, Amkono/Miomafo, Amarasi, Amanatun.
Amarasi
termasuk salah satu kerajaan (negara) merdeka dan berdaulat ketika bangsa Eropa
belum tiba. Orang Amarasi sendiri menyebut diri sebagai Atoin Nai’ Rasis, dan menyebut negerinya dengan sebutan Pah nai’ rasi atau Pah Amarasi. Dari sumber-sumber tertulis tidak/belum ada penjelasan
tentang kepastian kapan berdirinya kerajaan Amarasi. Kisah-kisah yang melegenda
seperti migrasi orang-orang dari arah timur (Belu Selatan) mewarnai keberadaan
kerajaan Amarasi dan pemimpin (raja)-nya. Widiyatmika (2007) mengutip Heymering
tentang kisah terbentuknya Amarasi. Sekalipun demikian, masih belum ada
kepastian tentang siapa sebenarnya yang membangun kerajaan Amarasi, dan kapan
dibangunnya? Doko (1973) mencatat bahwa Nai’[i] Nafi
Rasi (Ama Rasi) berasal dari Belu bersama-sama dengan Bissing-Lissing raja
Helong.
Terlepas
dari hiruk pikuk masa-masa itu, sebenarnya Amarasi telah memberi warna dalam
pelangi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia pernah mengadakan kontak dengan
bangsa luar (Doko 1973, Parimartha, 2002, Widiyatmika 2007), baik dalam arti
hubungan dagang maupun hubungan politik.
Ketika
bangsa Eropa tiba terutama Portugis, Amarasi menerima mereka dan bersahabat
baik dengannya. Bahkan gelar Don yang disandang Don Alfonzo raja Amarasi,
sebagai bukti bahwa ada persahabatan antara Amarasi dan Portugis, dan sang raja
telah menerima agama Katolik. Persahabatan antara Amarasi dan Portugis
berlangsung cukup lama, bahkan terjadi kawin-mawin yang menimbulkan suatu
golongan orang yang disebut Topasses atau Portugis Hitam.
Bangsa
Belanda melalui usaha dagangnya VOC mencapai Timor-Kupang pada tahun 1613 dan
bertambah kuatlah VOC pada tahun 1657 setelah merebut benteng Concordia.
Sebelum VOC menjadi begitu kuat di Timor-Kupang,
ia telah mendapatkan perlawanan yang sangat sengit dari kerajaan yang tidak
menghendaki adanya Belanda (VOC) di Timor. Tercatat Kerajaan Amarasi menyerbu
benteng Concordia pada 1653 (Widiyatmika, 2007), Belanda menyerang Amarasi pada
1656, dan dibalas oleh Amarasi dan sekutunya pada tahun 1749 (Doko, 1973).
Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan di pihak Amarasi dan sekutunya. Raja
Amarasi Don Alfonso dipenjarakan, tetapi kemudian dilepaskan dengan perjanjian
menganut agama Kristen Protestan. Sekalipun demikian, Amarasi tetap
‘membangkang’ sampai tahun 1843 barulah Belanda ‘menundukkan’ kerajaan Amarasi secara
total.
Selanjutnya,
Kerajaan Amarasi diatur oleh pihak Belanda. Kontrak-kontrak ditandatangani oleh
raja-raja Amarasi. Kemudian Belanda mengubah sistem pemerintahan kerajaan
menjadi swapraja berdasarkan Gobernmentsbesluit 14 Desember 1917, Amarasi dikeluarkan dari onderafdeling
Kupang sebagaimana diatur dalam Staatsblat tahun 1879 Nomor 21. Sejak
tahun 1917, Amarasi berdiri sebagai sebuah swapraja (Lay, 2005) yang terus exis
sampai dengan menjadi Kecamatan dalam bingkai negara kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Amarasi dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Pasal
18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, dalam
penjelasannya berbunyi: dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih
250 zelfbesturendelandschappen dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa
dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya
(Widjaja, 2003). Penjelasan ini memberi sinyal bahwa sebenarnya Amarasi sebagai
sebuah zelfbestuur (swapraja) harus
mendapatkan perhatian pemerintah pusat untuk tetap diistimewakan dalam
pembentukan daerah-daerah pemerintahan.
Akan
tetapi, karena ‘ketundukan’ pada pemerintah Republik Indonesia, maka Amarasi
mengikuti segala peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Ketika lahir
Undang-Undang No. 19 tahun 1965 tentang Pembentukan Desa Praja, seharusnya UU
tersebut dapat diimplementasikan di seluruh Indonesia. Namun UU ini tidak dapat
diimplementasikan karena multi tafsir dari berbagai kalangan.
Waktu
terus bergulir, Provinsi Sunda Kecil dibagi ke dalam 3 Provinsi, dengan UU No.
64 tahun 1958 salah satunya, Provinsi Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara
Timur. Selanjutnya UU No. 69 tahun 1958 tentang pembentukan daerah-daerah
swatantra tingkat II dalam Provinsi Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara
Timur. Pemerintah Provinsi Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur
segera mengambil langkah-langkah pembenahan di dalamnya. Pembentukan
kecamatan-kecamatan di dalam Daerah Swatantra Tingkat II menjadi salah satu
kebijakannya. Widiyatmika (2007), mencatat bahwa pembentukan wilayah kecamatan
didasarkan atas kesatuan administratif/adat dengan 3 peluang:
a.
Wilayah
bekas wilayah satu swapraja dijadikan satu kecamatan
b.
Wilayah
bekas beberapa swapraja digabungkan dalam sebuah kecamatan
c.
Wilayah
bekas suatu swapraja dijadikan beberapa kecamatan.
Swapraja
Amarasi sebagai bekas satu swapraja dijadikan satu kecamatan di mana di
dalamnya terdapat 60 desa lama (Amarasi: kuan
atau ketemukungan). Dengan
terbentuknya kecamatan Amarasi, maka desa-desa di dalamnya pun turut dibenahi.
Desa lama (kuan) yang berjumlah 60
buah digabung-gabung ke dalam 23 desa yang disebut desa gaya baru, dengan
menempatkan mereka pada satu lokasi yang disebut desa konsentrasi. Penggabungan
ini bukan bersifat administratif saja, tetapi bersifat fisik,yaitu memindahkan
desa-desa lama itu ke tempat-tempat yang ditentukan oleh pemerintah kecamatan
Amarasi.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan Desa, yang menyeragamkan nama, bentuk,
susunan dan kedudukan pemerintahan desa disahkan dan diberlakukan untuk seluruh
Indonesia.
Menurut
Widjaja (2003), UU No. 5/1979 tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945, yang tidak
menghormati asal usul dari tiap-tiap daerah yang bersifat istimewa. Penulis
berpandangan yang sama dengan Widjaja. Karena dengan penyeragaman ini, nyata
bahwa asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa seperti kerajaan-kerajaan,
nusak-nusak, liurai-liurai di Timor dan sekitarnya terhapuskan dengan
sendirinya.
Penyeragaman
istilah untuk suatu wilayah administrasi pemerintahan terendah terjadi di
seluruh Indonesia. Nagari/negeri di daerah-daerah Sumatera diganti dengan desa.
Lurah-lurah di Jawa menjadi desa, dan kuan di Amarasi yang lahir secara
genealogis dengan sistim pemerintahan adat, diganti dengan desa bentuk/gaya
baru dengan sistim pemerintahan yang diatur menurut Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya.
Dalam
Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 72 Th.2005 tentang Desa , disana
dinyatakan desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Frase ...yang
disebut dengan nama lain, nampaknya hanya sebutan saja. Fakta lapangan tidak
demikian, karena semua menggunakan istilah desa.
Widiyatmika
(2007403-404) mengutip memori dari buku 1 Gubernur NTT tahun 1958-1972, yang
mengatakan bahwa, mengingat desa-desa tradisional di Nusa Tenggara Timur
merupakan desa genealogis dengan wilayah dan jumlah penduduk yang kecil namun
tersebar di banyak tempat, maka perlu dibentuk suatu desa gaya baru dengan
menggabungkan beberapa desa tradisional.
Pembentukan
desa gaya baru berdasarkan Surat Keputusan (SKP) Gubernur Propinsi Nusa
Tenggara Timur tanggal 12 Mei 1969 Nomor 17 Tahun 1969, dari 4.575 desa tradisional yang tersebar di 12 kabupaten
digabungkan dalam 1.692 buah desa gaya baru. Kemudian disempurnakan lagi
berdasarkan SKP Gubernur NTT tanggal 24 Juni 1970 Nomor 29 Tahun 1970, jumlah
desa gaya baru diubah menjadi 1.717 desa.
Masyarakat
dan Pemerintah Kecamatan Amarasi tetap mengikuti peraturan yang berlaku dan
terus exis sampai dengan tahun 2002, dimana Kecamatan Amarasi dimekarkan
menjadi 4 buah kecamatan, dengan 4 kelurahan dan 20 desa di dalamnya.
Pembahasan
1.
Kefetoran dan ketemukungan
Kefetoran
dalam wilayah bekas swapraja Amarasi yaitu, Kefetoran Baun, Kefetoran Buraen,
dan Kefetoran Oekabiti. Masyarakat Amarasi masih memegang teguh prinsip
aristokrasi, dimana wilayah Amarasi (pah
nai’ rasi’) harus dipimpin oleh golongan bangsawan, orang-orang yang tinggi
harkat kemanusiaannya dan lagi harus kaya. Oleh karena itu, Kefetoran Baun,
berada di bawah kekuasaan marga Koroh, Kefetoran Buraen berada di tangan marga
Tinenti, dan Kefetoran Oekabiti, di tangan marga Abineno.
Pada
ketiga kefetoran ini terdapat wilayah-wilayah ketemukungan.
a.
Kefetoran
Baun
Di
dalam Kefetoran Baun terdapat wilayah-wilayah ketemukungan, yaitu;
·
Ketemukungan
Ruanrete
·
Ketemukungan
Battuna
·
Ketemukungan
Rakase
·
Ketemukungan
Tninri’in
·
Ketemukungan
Pote
·
Ketemukungan
Ruasnaen
·
Ketemukungan
Faut uran
·
Ketemukungan
Faut Koa’
·
Ketemukungan
Soba’
·
Ketemukungan
Sonreno’
·
Ketemukungan
Baun
·
Ketemukungan
Koor-koor
·
Ketemukungan
Oerantium
·
Ketemukungan
Riumata
·
Ketemukungan
Tofa’
·
Ketemukungan
Noe-kaesmuti’
b.
Kefetoran
Buraen
·
Ketemukungan
Buraen
·
Ketemukungan
Suit
·
Ketemukungan
Tarba
·
Ketemukungan
Ruakato’
·
Ketemukungan
Nisum
·
Ketemukungan
Kretan
·
Ketemukungan
Fautsapu’
·
Ketemukungan
Sonkiko
·
Ketemukungan
Hinmat/Teunraen
·
Ketemukungan
Noehaen
·
Ketemukungan
Pakupetas
·
Ketemukungan
Rabe
·
Ketemukungan
Rium
·
Ketemukungan
Fautfuaf
·
Ketemukungan
Oemoro’
·
Ketemukungan
Tuamese
·
Ketemukungan
Naet
c.
Kefetoran
Oekabiti
·
Ketemukungan
Oekabiti
·
Ketemukungan
Kot-koto’
·
Ketemukungan
Bkait
·
Ketemukungan
Binobe
·
Ketemukungan
Oebaki’
·
Ketemukungan
Ekam
·
Ketemukungan
Koro’oto
·
Ketemukungan
Bisena’
·
Ketemukungan
Timo’-Fo’asa’
·
Ketemukungan
Hauhena’
·
Ketemukungan
Puahono
·
Ketemukungan
Humoen
·
Ketemukungan
Binoni
·
Ketemukungan
Oebifai
·
Ketemukungan
Oekaunoe
·
Ketemukungan
Si’uf
·
Ketemukungan
Bimosu (Bimous)
·
Ketemukungan
Noenaak (Noenaka)
·
Ketemukungan
Oeturu
·
Ketemukungan
Oehausuf me’e
·
Ketemukungan
Poti
·
Ketemukungan
Nunka’
·
Ketemukungan
Naisko’u
·
Ketemukungan
Tainbira
·
Ketemukungan
Koat
·
Ketemukungan
Oebat
Ketemukungan
sesungguhnya bukan istilah yang lazim di Amarasi. Orang Amarasi lebih mengenal ‘nakaf dari pada temukung. Doko (1973) menjelaskan bahwa temukung merupakan peninggalan dari Majapahit, dimana dikenal
istilah tumenggung, yang kemudian di
Timor dan sekeitarnya berubah menjadi temukung.
Dengan begitu, ‘nakaf yang
artinya kepala kampung, berubah menjadi temukung,
yang juga berarti kepala kampung. Istilah kuan, yang berarti kampung, berubah menjadi ketemukungan, yang berarti wilayah kekuasaan temukung.
2.
Desa-desa Baru di Amarasi
Dari
62 ketemukungan yang ada di Amarasi,
kemudian oleh pemerintah Kecamatan Amarasi digabung ke dalam 23 buah desa.
Desa-desa itu adalah: (1) Desa Nonbes (kemudian menjadi Kelurahan Nonbes), (2)
Desa Kotabes, (3) Desa Oesena’, (4) Desa Ponain, (5) Desa Tesbatan, (6) Desa
Apren, (7) Desa Oenoni, (8) Desa Oebesi, (9) Desa Enoraen, (10) Desa Nekmese,
(11) Desa Buraen (kemudian menjadi Kelurahan Buraen), (12) Desa Sonraen,
(kemudian menjadi Kelurahan Sonraen), (13) Desa Retraen, (14) Desa Sahraen, (15)
Desa Pakubaun (16) Desa Tunbaun, (17) Desa To’obaun, (18) Desa Niukbaun, (19) Desa
Erbaun, (20) Desa Nekbaun, (2`) Desa Merbaun, (22) Desa Teunbaun (menjadi
Kelurahan Teunbaun), (23) Desa Soba’.
Untuk
menggabung seluruh wilayah ketemukungan/kuan
ke dalam 23 wilayah desa, diperlukan kerja keras dari pemerintah kecamatan.
Beberapa hasil penelitian ditunjukkan oleh Bani (2007), bahwa desa Nekmese’
merupakan salah satu desa yang sulit untuk digabung. Alasan yang paling kuat
dari kuan-kuan pada waktu itu adalah
afiliasi politik mereka ke wilayah kefetoran. Kuan yang nyata-nyata berada di wilayah kefetoran Oekabiti
menyatakan ketidaksetujuannya untuk bergabung dengan kuan yang berasal dari kefetoran Buraen.
Alasan
lain yang dipakai oleh masyarakat untuk bergabung dalam satu desa baru,
misalnya seperti yang ditunjukkan oleh Thao (2010), bahwa desa Sonraen,
sekalipun seluruhnya berada di bawah kefetoran Buraen, tetapi masyarakat/rakyat
enggan meninggalkan kampung halaman (kua-mnasi’)
mereka seperti; Sonkiko, dan Teunraen, apalagi digabung dengan satu kampung
kecil yang bukan wilayah ketemukungan, yaitu Oeketun. Sesuatu yang bagi
masyarakat Sonraen pada waktu itu naif untuk terjadi.
Pada
sisi berbeda, ada kuan-kuan yang
memanfaatkan momentum ini dan bergabung secara baik-baik walaupun dari sisi
jumlah penduduk tidak mencukupi. Contoh yang dapat dilihat adalah desa Apren.
Jumlah penduduknya tidak mencapai angka 750 jiwa, maka kemudian kuan Tutun yang masyarakatnya berasal
dari Ketemukungan Koro’oto serta sebagian masyarakat Makuni’ dari Koro’oto,
digabung ke dalam desa Apren. Nama Apren sendiri merupakan akronim dari Abineno’, Pono dan Reinnati.
Tameon
(2010) menulis bahwa nama desa Kotabes, merupakan akronim dari Kopan, Taimetan,
Ruabes. Tameon mencatat bahwa akronim ini diambil karena nama-nama tempat
dimana masyarakat melakukan usaha perladangan dan menetap di tempat-tempat
tersebut. Padahal, sesungguhnya Kotabes merupakan desa gaya baru dimana di
dalamnya terdapat ketemukungan Ekam, Binobe dan Oebaki’, serta satu kampung
kecil bernama Bisoni.
Tebulakar (2006) menjelaskan, desa Tesbatan
diberi nama demikian karena merupakan gabungan dari tiga ketemukungan, yaitu
‘Tubu, Besatbaat atau Oebat, dan Tainbira. Demikian pula Nomtanis (2007)
menjelaskan bahwa desa Oenoni dibentuk dengan menggabungkan tiga ketemukungan
yaitu, Oebifai, Oekaunoe, dan Binoni. Dan beberapa desa lainnya yang dibentuk
dengan melihat latar belakang masyarakat asal juga filosofi yang hendak
digunakan. Misalnya, Nekmese’ artinya satu hati. Dalam hal ini menunjuk pula
persatuan wilayah-wilayah ketemukungan yang disatukan bukan secara fisik saja,
tetapi maksud hati pun disatukan. Nekmese’ merupakan kata bentukan, dari nekaf dan mese’.
Ada
sesuatu yang menarik dalam penelitian ini, dimana ditemukan nama-nama desa gaya
baru yang menggunakan kata baun dan raen di belakang istilah yang dipakai
untuk menamai desanya. Hal ini terjadi pada bekas-bekas ketemukungan (kuan) yang berada di wilayah-wilayah
kefetoran Buraen dan Baun. Sedangkan
ketemukungan-ketemukungan dalam wilayah kefetoran Oekabiti, memilih
sendiri nama secara musyawarah untuk mencapai permufakatan. Contoh nama-nama
yang menggunakan baun di belakang
nama desanya: To’baun, Teunbaun, Niukbaun, Erbaun, Merbaun, Tunbaun, Nekbaun, dan Pakubaun. Nama-nama desa gaya baru yang
menggunakan istilah raen adalah: Sonraen, Buraen, Retraen, Sahraen, Enoraen. Penelitian ini mendapati bahwa nama-nama desa gaya baru yang
menggunakan istilah baun dan raen, justru dinamai oleh pimpinan
swapraja (pah) Amarasi, yaitu Victor
Hendrik Rasi Koroh. Umumnya nama-nama itu terdapat di daerah-daerah yang
menggunakan bahasa lokal Amarasi dengan dialek Ro’is.
Istilah
baun dan raen didapati dalam penelitian ini sebagai sebutan terhadap sonaf (istana) sebagai pusat kerajaan,
sedangkan raen menunjuk kepada
sapa’an indah kepada nama kerajaan Amarasi yaitu teunraen-buraen. Dengan menyebut teunraen-buraen, secara otomatis masyarakat mengetahui bahwa itulah
Amarasi.
Di
sisi lain, ada pula desa-desa gaya baru yang tidak menggunakan nama baun dan raen. Desa-desa gaya baru itu adalah: Nonbes, Oesena’, Kotabes,
Tesbatan, Ponain, Apren, Oenoni, Oebesi, Nekmese’ dan Soba’. Masing-masing nama
ini disepakati secara musyawarah, sekalipun dihadiri oleh Victor Hendrik Rasi
Koroh yang mempunyai kuasa untuk dapat menekan masyarakat untuk mengikuti
keinginannya. Umumnya desa-desa gaya baru ini berada di daerah-daerah yang
menggunakan dialek Kotos.
Desa
Soba’ sebagai satu-satunya desa yang
dikelilingi oleh pengguna dialek Ro’is namun
masyarakatnya menggunakan dialek Kotos. Nama
desanya tetap menggunakan nama ketemukungannya.
Simpulan
Desa-desa
gaya baru di Amarasi merupakan desa-desa yang dibentuk dengan melakukan
pembongkaran dan penempatan kembali masyarakat dari kampung mereka yang lama.
Mereka tidak ingin disatukan, tetapi kemauan yang kuat dari pemerintah untuk
membantu mereka mendapatkan akses jalan yang baik, dan pertimbangan visi bahwa
di masa yang akan datang jaringan listrik, dan berbagai hal yang menyangkut
pembangunan dan pemanfaatan sumber daya; manusia dan alam patut diperhitungkan
secara cermat.
Enam
puluh temukung (‘nakaf) dan
masyarakatnya secara terpaksa harus menerima kenyataan bahwa mereka perlu
bersatu dalam satu kesatuan wilayah yang disebut desa. Situasi kebatinan
menyangkut kepemimpinan digumuli bersama dalam suasana kekeluargaan yang mengedepankan
musyawarah mufakat.
Antara
tahun 1968 – 1975, program ini nyata kemudian keberhasilannya, sehingga
pemerintah merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara sinergis sehingga
akselerasi pembangunan berjalan dengan baik. Victor H. R. Koroh yang menjadi
Camat pertama Amarasi berhasil membangun Kecamatan (pah) Amarasi dengan program cluster
dan resetlement
Daftar
Pustaka
Ataupah
Yusuf, 2010, Sejarah Gereja Ebenhaizer
Oekauna’ Di Kelurahan Nonbes Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Tahun 1964 –
2009, (Skripsi), FKIP Univ.PGRI NTT, Kupang
Banunaek
Kusa Y.Y.Don, 2007, Raja-Raja Amanatun
yang berkuasa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Depdikbud,
1977/1978, Sejarah Daerah Nusa Tenggara
Timur, Puslit Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, Jakarta
Doko
I.H., 1973, Nusa Tenggara Timur dalam
Kancah Perjuangan Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta
Lay,
Cornelis, 2005, Demokrasi Lokal dalam
Masyarakat Terbelah: Amarasi di bawah bayang-bayang Aristokrasi (artikel
ilmiah), Jurnal Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,
LIPI, Jakarta
Mbado Joni Frans, 2007, Agama Kristen Protestan di Oekabiti, Suatu
Tinjauan Historis (Skripsi) FKIP, Program Studi Pendidikan Sejarah,
Universitas PGRI NTT, Kupang
Nawawi
Hadari H., 2003, Metode Penelitian Bidang
Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Nomtanis Filmon, 2007, Budaya
Tenun Ikat Timor di desa Oenoni Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Propinsi
Nusa Tenggara Timur, (Skripsi), FKIP Univ. PGRI NTT, Kupang
Nubatonis
Edison, 2007, Sejarah Gereja Kalvari
Bkait 1963 – 2006, (Skripsi), Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Univ.
PGRI NTT, Kupang
Riyanto
Yatim, 2001, Metode Penelitian Pendidikan,
Penerbit SIC, Surabaya
Thao
Joseba, 2010, Sejarah
Desa Sonraen Di Kecamatan Amarasi Selatan
Kabupaten Kupang Tahun 1968 – 2008, (Skripsi), FKIP
Univ. PGRI NTT, Kupang
Tameon
Dorthia, 2010, Sejarah Gereja Bet’el Ekam di Desa
Kotabes Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Tahun 1948 – 2009¸(Skripsi), FKIP Univ. PGRI NTT, Kupang
Tebulakar, 2006,
Laporan Akhir Kelompok KBPM tahun 2006
Kabupaten Kupang, Kecamatan Amarasi, Desa Tesbatan I, Universitas Kristen
Artha Wacana, Kupang
Widiyatmika
Munandjar, 2007, Lintasan Sejarah Bumi
Cendana, Pusat Pengembangan Madrasah, Kupang
[1] Heronimus Bani,S.Pd, Guru SD Inpres Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang. Pemred infontt.com; blogger
1. Atoin nai’ rasis
~
sebutan kepada orang Amarasi
2. Fetor ~ istilah
jabatan untuk pemimpin wilayah kefetoran. Istilah lain yang dipakai untuk
menyebut fetor adalah uistua.
3. Kuan ~
kampung
4. Ketemukungan ~
istilah pengganti kuan
5. Kefetoran ~
suatu wilayah dimana di dalamnya terdapat sejumlah ketemukungan atau kuan
6. Kotos dan
Ro’is, adalah dua istilah dialek
dalam bahasa Amarasi. Dalam ilmu bahasa (linguistik), di Amarasi terdapat
dialek yang demikian, termasuk dialek Ro’is
tais nonof. Ro’is tais nonof, artinya orang-orang yang menggunkan dialek ro’is dimana mereka tinggal di pesisir
pantai selatan dan terus mengarah ke timur. Menurut penuturan para narasumber,
istilah kotos diberikan kepada
masyarakat pengguna dialek itu karena faktor makanan. Masyarakat pengguna
dialek itu mengkonsumsi sejenis kacang hutan yang disebut koto. Orang mengkonsumsinya dalam waktu lama disebut kotos. Sampai hari ini koto masih dikonsumsi oleh masyarakat
Amarasi, terutama di tempat-tempat yang menggunakan dialek kotos.
7. ‘Nakaf ~ istilah
jabatan untuk pemimpin kuan, dapat
disebut sebagai Kepala Kampung
8. Pah nai’ rasis, atau
pah Amarasi ~ kerajaan Amarasi, yang
kemudian berubah menjadi swapraja Amarasi, dan akhirnya menjadi kecamatan
Amarasi, yang kini dimekarkan menjadi 4 wilayah kecamatan.
9. Teunraen-buraen,
istilah ini merupakan sebutan indah/manis
kepada nama kerajaan Amarasi. Dalam bahasa lokal nama yang demikian disebut kaan akun. Kaan, dari kanaf yang artinya nama, dan akun, artinya ditopang, dimuliakan,
diangkat tinggi harkatnya. Maka, kerajaan Amarasi diberi kaan akun, dengan istilah teunraen-buraen.
10. Sonaf, istana
keusifan atau istana kefetoran,
dimana pada tempat ini menjadi pusat kendali pemerintahan, pembangunan, dan
pembinaan kemasyarakatan. Nama-nama sonaf:
disebutkan misalnya: Sonaf Baun artinya
istana di Baun, Sonaf Buraen artinya
istana di Buraen. Di bekas Kefetoran
Oekabiti, dikenal Sona-breek, Sonhuun,
Sonfatu. Sona-breek.
11. Usif, uispah, tuan,
tuan raja, tuan tanah/wilayah kerajaan
trimakasih ba'i...cerita sejarah yang laur biasa dari stiap tempat. berarti beta termasuk di tamukung Puahono.
BalasHapusWao... rupanya su ada yang baca... dari cara sapaan, Ba'i, beta bisa tau sapa yang kasi koment ini. Makasi banya
HapusWah, menarik sekali, Pak Roni. Sejarah yang penting bagini sudah disediakan untuk generasi berikut dengan cara yang jelas dan lengkap.
BalasHapusTerima kasih banyak ibu Barbara su baca...
HapusWiii Mantap bapa .keren dan luar biasa.lewat ini bacaan kktng bisa tau sejarah Dari Amarasi.
BalasHapusIni Anonim (no name, sonde ada nama) makasi banya su baca ee...
HapusTulisan yang sangat menarik, mengulas secara detail membahas tentang Kefetoran di Amarasi.....Trimakasih Pak Guru Roni Bani....GB
BalasHapusterima kasih sudah berkunjung ke sini pak
HapusMantap bapa, tetap menulis agar kami bisa me Baca Dan menambah l wawasan kami anak Muda Zaman sekarang bapa. 🙏🙏
BalasHapusSuka sekali Bapa
BalasHapusTerima kasih...Ternyata ini sejarah harus dipahami sepanjang masa karena ada hal2 baru yang luar biasa seperti nama tempat "Apren " berasal dari Abineno, Pono, Reinnati...