Oko'mama' di Sekitar Budaya Atoin' Meto'
Oko'mama' di Sekitar Budaya Atoin' Meto'
Pengantar
Mungkinkah masyarakat adat Nusa Tenggara Timur tidak mengenal alat yang satu ini? Tentu mereka mengenalnya karena mereka memiliki budaya mamah sirih-pinang. Pada kalangan masyarakat adat Atoin Meto' (orang di pulau Timor) tempat sirih pinang punya peranan penting dalam keseharian, terlebih dalam hal upacara-upacara yang khas budaya Meto'.
Tulisan berikut ini akan mengurai secara gamblang tentang oko'mama' (tempat sirih-pinang) di sekitar budaya Atoin Meto', terlebih dalam masyarakat adat Atoin Meto' Pah Amarasi.
Nama dan fungsi di sekitar Masyarakat Adat Pah Amarasi
Pada masyarakat adat Atoin' Meto', tempat sirih-pinang yang khas itu terbuat dari anyaman daun lontar. Dilihat dari sudut pandang wujudnya, ada dua bentuk tempat sirih-pinang, yakni berbentuk kotak persegi panjang dan berbentuk tabung. Pada kedua bentuk ini, terlihat pula dua bagian, yakni bagian tubuh/badan/bawah dengan kedalaman/ketinggian tertentu, dan bagian tubuh/badan/atas yang sifatnya penutup tetapi bukang pembungkus.
Pada bagian atas ini, selain polos satu ruang/kotak, tetapi sering pula masih terbagi dua kotak.
Sekujur tubuh benda ini akan dihiasi dengan bentuk-bentuk motif simetris yang khas. Kekhasan pada masyarakat adat Atoin Meto' Pah Amarasi, ditunjukkan dengan motif (aaz: a'kaif) yang variatif. Kemampuan dari penganyam sajalah yang akan menentukan motif apa yang akan dipasang pada bagian luar tubuh oko'mama'.
Akan tetapi bila ditelusuri, khusus penempatan motif, terlihat motif 'kai ne'e dan erak mendominasi. A'kai ne'e ('kai ne'e) bermakna mengawali hidup baru sebagai satu rumah tangga, atau secara umum maknanya, memulai sesuatu yang baru.
Erak terjemahan harfiahnya, tangga. Hal ini bermakna pada kehidupan yang sering naik-turun, antara suka-duka. Keinginan untuk terus menanjak (naik) ada pada insan manusia itu sendiri, tetapi tidak selamanya akan sampai di puncak keinginan, karena selalu ada rongga dan ruang kosong yang disebut belum cukup. Maka selalu ada ruang terbuka untuk bekerja dan berusaha lagi, untuk naik; namun bila terjadi halangan, rintangan, dapat saja justru sebaliknya, turun.
Nama tempat sirih-pinang di kalangan masyarakat adat Atoin Meto' Pah Amarasi yakni, oko'mama', atau oko' saja atau 'koor baha', atau a'kuru' ('kuru'). Nama tidak membedakan fungsi, tetapi nama yang demikian dipakai secara variatif menurut gaya berbahasa pada kalangan masyarakat. Para ahli bahasa membedakan penggunaan bahasa Amarasi dalam gaya Kotos, Ro'is, dan sering ada tambahan pada kalangan masyarakat sendiri sebutan Tais Nonof,
Kalangan pengguna Bahasa Amarasi Ro'is, menggunakan kata a'koor baha' atau a'kuru'. [NB: tanda koma hamzah pada kata-kata ini mewakili satu lambang bunyi (huruf)].
Entah sejak kapan masyarakat adat Pah Amarasi memanfaatkan oko'mama', tidak jelas sejarah awal mula, asal-muasal. Satu kepastian, ketika orang memamah campuran sirih-pinang-kapur dan sering ditambahkan dengan irisan tembakau, maka dipastikan tempat terhormat dan bermartabat untuk menempatkan keempat material itu yakni oko'mama'.
Pemanfaatan dan fungsinya secara umum terlihat dan dapat dibaca sebagai berikut:
- Pembuka percakapan; maksudnya, setiap orang dapat memamah campuran material yang disebutkan (sirih, pinang, kapur dan tembakau sesering mungkin). Bila orang bertamu, dipastikan akan menerima oko'mama' dari tuan rumah. Sang tamu secara moral dan materil akan menerima dan memberikan balasan untuk mengisi "tempat kosong" sebagai balasan/kembalian. Sambil memamah sampai muncul liur berwarna merah hingga merah hati, orang memulai percakapan maksud kedatangan tamu.
- Pergaulan. Oko'mama' dapat dipakai untuk memulai suatu awal dalam pergaulan. Bertemu dengan orang yang belum dikenal, mungkin akan secara mudah orang saling bersalaman (jabat tangan). Menyebut nama, asal daerah, dan lain-lain yang sifatnya identitas diri agar mudah diterima. Namun, pada kalangan masyarakat adat orang Timor termasuk masyarakat adat Atoin Meto' Pah Amarasi, orang menggunakan oko'mama' untuk basa-basi pembuka percakapan (seperti fungsi pertama di atas), selanjutnya akan terasa makin nyaman berbicara (cerita, dan lain-lain yang sifatnya oral), orang akan merasa makin akrab.
- Penghormatan. Oko'mama' ditempatkan pada posisi terhormat untuk menghormati seseorang atau sekelompok orang. Budaya Meto' menyebutnya nateek oko'mama' (harfiah: mendudukkan tempat sirih-pinang). Maksudnya, sebentuk oko'mama' ditempatkan di hadapan seseorang yang dihormati. Isinya berupa sirih-pinang (batang dan buah utuh), kapur, disertai selembar atau sebentuk duit (uang) dengan nominal tertentu. Dalam hal nateek oko'mama' yang demikian penerimanya akan sangat merasa dihormati. Bila orang membuat undangan dengan pendekatan nateek oko'mama' maka sulit menghindar dari kealpaan. Mengapa? Bila menolak penghormatan nateek oko'mama', orang yang kepadanya penghormatan ini diarahkan mesti menolak, tetapi bila mengambil isinya termasuk lembaran atau lempengan duit yang ditempatkan di sana/di dalamnya,maka wajib hukumnya untuk memenuhi undangan dimaksud. Hal lain, bila itu bersifat permintaan untuk melakukan sesuatu, dan tidak dapat melakukannya, baiklah untuk menolak, tetapi bila mampu melakukannya, bolehlah untuk mengambil isi dari oko'mama' tersebut pada saat orang melakukan ritual nateek oko'mama'.
- Penghormatan pada upacara adat perkawinan. Pada upacara adat perkawinan, (NB: bila boleh menggunakan istilah pasal-ayat hukum adat perkawinan) pasal atau ayat lisan dalam hukum adat perkawinan menggunakan beberapa istilah. Salah satu di antaranya yakni napuah ma namaun; terjemahan harfianya, berpinang dan bersirih. Maksudnya, sepasang kekasih melalui dua pihak orang tua telah saling bersilangan pemberian sirih-pinang. Lantas, apakah sirih-pinang itu digulirkan di dalam genggaman tangan? Tidak! Sirih-pinang-kapur-tembakau ditempatkan pada sebentuk oko'mama' pada saat kedua pihak bertemu.
- Pada segala situasi pertemuan, orang menggunakan oko'mama' untuk saling berbagi material mamahan.
Kini kita boleh mengajukan pertanyaan, apakah oko'mama' akan menggenerasi sehingga dapat dilestarikan pemanfaatan dan nilai-nilainya dapat terus terjaga?
Ya, sepanjang masyarakat adat memahami oko'mama' amat penting untuk tidak membiarkan harga diri terlalaikan, sepanjang masa-masa itu, ia akan terus dimanfaatkan.
Sewaktu-waktu dalam kondisi darurat pada zaman modern ini orang menggunakan piring, atau benda lain yang fungsinya sebagai oko'mama'.
Mari membayangkan kesopanan saling membagi mamahan di pasar? Apakah mereka masih sempat menggunakan oko'mama' sesungguhnya? Tidak! Mereka akan menggunakan tangan saja. Seseorang akan mengambil sirih-pinang, digenggamnya kedua mamahan itu lalu menyerahkannya kepada lawan bicara. Sambil menyerahkan, ia akan akan berkata, "Maaf, saya tidak membawa oko'mama'!" Atau, "Maaf, kita saling sorong saja!"
Jadi, pada kondisi dan konteks tertentu orang dapat mengganti oko'mama' yang sesungguhnya, tetapi fungsi dan nilai/maknanya tetap ada di sana.
Mari memperhatikan kesibukan di pesta perkawinan atau persiapan konsumsi pada saat suatu peristiwa dukacita terjadi. Para pekerja di dapur pasti peka, bila orang menggunakan piring untuk menempatkan sirih-pinang-kapur lalu saling memberi untuk menjadi mamahan. Keramahan dan kesopanan tetap terjaga di sini.
Hal-hal yang demikian ini secara langsung maupun tidak langsung terjadi upaya alih pengetahuan dan ketrampilan pada generasi muda. Mereka melihat, turut mengambil bagian, dan akan menyimpannya dalam kesan ingatan. Pada masa depan mereka akan bersikap dan memberlakukan hal yang sama pada oko'mama'.
Penutup
Oko'mama' bukanlah suatu benda keramat dalam masyarakat. Pada blog ini, saya pernah menulis satu artikel pemaknaan oko'mama' sebagai ibu, kiranya dapat dibaca.
Terima kasih.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 4 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar