Tidak sengaja
Tidak sengaja
Ketidaksengajaan
itu noktah noda yang menodai sejarah
Hati
tulus rela dikorbankan di altar kebencian dan murkanya waktu
Menjawab
susah, membisu susah
Ancaman,
terror, sarit to’os menghias awan pegunungan
Hina’an,
‘paran perendahan harkat manusia
mewarnai birunya langit
Siapa
tahan berhadapan dengan mereka?
Hati
tulus rela berkorban di altar kebencian dan murkanya waktu
Menjawab
susah, membisu susah
Engsel
pintu berderak saat dibuka dan ditutup
Mengabarkan,
ada penyamun dan perampok berdiri di sekitarmu
Tapi,
pintu terbuka lebar untuk penyamun di sisi kanan si Isa.
Pula
kepada mereka yang berhati orang samaria,
Dan
tertutup rapat kepada hati berbulu, aet
ma’funu’.
Saat
datang guruh menggemuruh
Langit
meluruhkan awan hendak gerimis
Bumi
bergolak menahan Guntur asnonot.
Tanah
diam bergeming menatap surya si manas
Menanti
putusan Sang Ilahi Uisneno
Gundah
gulana cacing di kolong tanah kering remuk retak
Menanti
sekedar gerimis malam fai meis-okan
Sang
Ilahi memasang mata dan menukik telinga
Bibir-Nya
membisikkan ujaran bunyi mengantar wahyu ke dalam sukma,
Ketika
tanah, air dan langit berseteru.
Antara
gerimis dan panas menyengat,
Antara
kehangatan dan kesejukan,
Memilih
satu adalah dilemma,
Labil
dan stabil saling berhadap rupa.
Tikar
besluit dibentangkan di muka tanah,
air dan langit
Guntur
tak bergemuruh, mengguntur dalam awan putih tanpa noda
Air
sungai tak bergemericik, mengalir diam membisu ke pantai tenang
Dan
tanah tetap diam sambil menumbuhkan semak
Semak
beradu dengan panas manas laksana
kisah Yunus dalam kitab suci
Ia
tumbuh di lereng ketinggian lima ratus meter di atas permukaan laut.
Bintang
laut mendaki lereng
Berkilau
kendaraan berbaris, menggaris lorong waktu
Faktanya
tak ada garis pelintas batas dalam
lorong waktu saat itu
Bintang
laut kembali turun ke laut membawa kabar
Sudah
genap
Ke
tangan afeek rasi kami sarankan
ujaran sabda.
Ke
altar meja hijau noda noktah ketidaksengajaan akan terjawab.
Akhhh
… .
Ssst
… .
Puiiihh
… .
Kini…
.
Guntur
kembali ke sarangnya, menggemuruh dalam noda dan roda kegilaanya
dan
air sungai bersisian dengan binatang air dalam lumut ani’te’e.
Tanah
berteman baik dengan cacing tanah, katak dan anjing tanah.
Rerumputan
dan semak tak lagi saling melempar dosa di desa dan dusun.
Pepohonan
liar bersahabat dengan roet warga
keluarga nonot-asar.
Semua
tersenyum sepat sembari menata bibir a’munu’.
Hati
kecut, mata berbinar girang tanda munafik napo-poi.
Berjalan
beriringan di lorong waktu oras ia.
Menanti
masa datangnya guntur, kilat dan awan penghantar air hujan berkat
Dan
kelak dengan senyum manis tanah menyambut kedatangannya.
Kutorehkan
di faut nekaf untuk dikenang waktu
dan massa di nekmese’.
Agar
waktu kembali memberi kasih dan cintanya dalam damai nekaf mese’.
Sambil
melabuhkan sayangnya pada anak negeri nekmese’
Dengan
tangan dan pangku yang lembut ainaf
nekmese’.
Memeluk,
memangku memberi senyuman khas ibunda terkasih di nekmese’.
Pada
anak negeri penghias sejarah dalam lorong waktu ke masa depan nekmese’.
oleh: Heronimus Bani
Komentar
Posting Komentar