(cerpen) Ujian Akhir Norma
UJIAN AKHIR NORMA
Heronimus Bani[1]
Norma
telah mengikuti seluruh proses ujian akhir sekolah sampai tuntas. Sepanjang
hari-hari pelaksanaan ujian, Norma sangat bergairah. Kepada sesama temannya ia
tidak canggung-canggung seperti hari-hari sebelumnya. Teman-temannya
terheran-heran. Ada apa dengan Norma? Ia yang dikenal pendiam, tiba-tiba
menjadi periang dan sangat suka bergurau.
Hari
terakhir ujian telah dilewati dengan sungguh amat baik. Semua peserta ujian
berbaris mendengarkan arahan kepala sekolah. Diakhiri dengan doa, mereka pun
memberi salam, berjabatan tangan dan pulang dengan tertib.
Para guru
setelah membereskan segala hal yang berhubungan dengan catat-mencatat pada
pelaksanaan ujian, mereka pun pulang. Ada yang bersepeda motor, ada pula yang
berjalan kaki. Para guru tidak menyadari bahwa seseorang siswa sedang duduk di
atas sebongkah batu besar di pinggir jalan. Batu besar itu tidak kelihatan karena
terlindung dari bunga-bunga pagar. Siapa yang duduk di sana?
Norma. Norma
sedang duduk termenung sendirian di sana. Ia menggaruk-garuk tanah dengan
sebatang kayu kering berukuran kecil. Berulang-ulang ia mencungkil. Beberapa
batu kecil berlarian. Norma berbicara pada dirinya sendiri.
“Aku telah
menyelesaikan ujian. Sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah. Teman-temanku
dan para guru yang menyayangiku. Mereka semua akan aku tinggalkan. Ada kenangan
indah yang akan kukenang.”
Angin
bertiup. Dedaunan kering di sekitar bongkah batu besar itu bertebaran mengarah
ke batu dimana Norma duduk di atasnya. Dedaunan kering berhenti seiring
berhentinya angin. Beberapa pohon kelapa bergoyang-goyang bagai manusia
menggeleng-gelengkan kepala.
Norma
masih duduk di atas bongkah batu besar itu. Sepasang kembang sepatu mekar di
dekatnya. Dahannya menjura mendekati kepala Norma. Dari kejauhan pasangan bunga
itu bagai makhota di kepala Norma. Indah nian dipadu warna-warni kembang sepatu
yang tidak saja merah tetapi berbaur kuning dan putih.
Sebuah
kelapa kering jatuh beberapa meter di samping Norma. Norma terkejut sebentar
lalu terpekur kembali.
Hari
menjelang sore. Norma masih duduk di sana.
Di rumah,
ibunya mencari-cari. Ia pergi ke tetangganya. Di sana ada Raymon teman Norma.
Kepada Raymon, ia bertanya, “Mengapa sudah sore tapi Norma belum juga kembali
dari sekolah? Adakah sesuatu telah terjadi pada Norma?”
Matahari
memancarkan warna merah keemasan pada sore itu. Norma memandanginya dengan
senyum sepat. Ia berpikir, “Aku akan seperti matahari sore ini. Aku ingin
meninggalkan kenangan bernilai emas.”
Norma
bergegas bangkit dari duduknya sepanjang siang itu. Ia nampak kelelahan. Ia
berlari-lari dan tiba di rumah sebelum gelap menjelang.
Setibanya
di rumah. Ia disambut dengan sebatang rotan oleh ibunya. Tidak banyak ia
dirotani. Sekali saja. Norma terdiam. Ia memohon maaf pada ibunya. Ia telah
lalai pada hari terakhir ujian ini. Tidak segera pulang.
Ibunya
memberi maaf sambil mengingatkan bahwa, hari-hari untuk masa depan masih
panjang. Panjangnya hari depan tidak sama panjangnya dengan bayangan dirinya
ketika matahari terbit, atau matahari terbenam. Hari depan yang cerah, sangat
jauh, sejauh fatamorgana di ufuk yang semakin dikejar, semakin menjauh. Siapa
yang dapat menggapainya.
Malam pun
tiba. Norma, ayah dan ibunya serta seorang adiknya bernama Roman hendak
menikmati makan malam. Mereka duduk berempat mengelilingi meja makan.
Tangan-tangan mereka direntangkan dan saling berpegangan membentuk lingkaran.
Ayah Norma memimpin do’a. Dalam do’anya, sang ayah menyatakan rasa syukur bahwa
Norma telah mengakhiri ujian di sekolahnya. Ada permohonan dan harapan untuk
masa depan bagi Norma dan adiknya, Roman. Setelah mengucap syukur untuk
makanan, mereka pun menikmati makan malam.
Udara di
luar rumah Norma sejuk malam itu. Maklum, mereka berada di perbukitan dimana
hutan masih terawat baik oleh masyarakat sekitarnya. Norma berbaring di tempat
tidur yang tidak seindah orang-orang kaya di kota. Tempat tidur yang sederhana
dialasi kasur gaya klasik berbentuk benjolan-benjolan di permukaannya. Di
tempat itu ia tidur bersama adiknya Roman.
Norma
tertegun. Ia telah berada di suatu puncak gunung yang terjal. Di depannya ia
tidak dapat melihat kedalaman, sementara ia berdiri di ketinggian yang memacu
jantung. Ia mencoba berteriak-teriak minta tolong agar dapat ditolong oleh
seseorang yang mendengarkan suaranya. Ia tiba-tiba telah berada di puncak
gunung itu. Batu-batu cadas berada di bawahnya. Ia mencoba menuruni gunung itu.
Dan … ia terjatuh. Ia sadar ketika tubuhnya terhempas di lantai. Ternyata Norma
bermimpi.
Pagipun
tiba. Ia mendiamkan mimpinya semalam. Ia tidak lagi seriang hari-hari
pelaksanaan ujian. Ia kembali pada keadaannya semula, seorang pendiam.
Hari ini,
Norma kembali ke sekolah. Teman-temannya bermain petak umpet. Ia menjadi
penonton. Entah apa penyebab awal, tiba-tiba ia terjatuh. Darah mengucur dari
hidungnya. Teman-temannya memberitahukan kepada para guru. Norma segera
mendapatkan pertolongan. Ia dibawa ke puskesmas terdekat. Seorang guru menelpon
orang tua Norma.
Dari
Puskesmas Norma dirujuk ke rumah sakit kota. Orang tua Norma bersama seorang
guru mengantar sampai ke rumah sakit.
Perawatan
diberikan oleh paramedis di rumah sakit kota. Norma harus menjalani rawat inap
beberapa waktu. Orang tua Norma tidak kuasa melihat anak mereka mengalami sakit
yang tiba-tiba. Norma masih sehat dan kuat. Riang di sekolah pada hari-hari
pelaksanaan ujian. Sungguh suatu kejadian aneh, jika hari ini ia mengalami
sakit.
Hasil
laboratorium ditunjukkan kepada orang tua Norma. Leukemia. Begitulah penyakit
yang diderita Norma. Oh…
Seminggu
sudah Norma berada di rumah sakit kota.Teman-temannya berkunjung. Mereka
membawa buah-buahan dari desa sekedar buah tangan pada Norma. Mereka
mendoakannya agar segera pulih dan kembali ke sekolah karena hari pengumuman
ujian akan segera tiba.
Hari
pengumuman hasil ujian tiba. Dua puluh lima siswa semestinya hadir pada
kesempatan ini. Hari ini dihadiri dua puluh empat siswa masing-masing bersama
orang tuanya. Sedangkan satu siswa tidak hadir karena sedang menjalani
perawatan di rumah sakit kota. Norma. Norma tidak hadir.
Pengumuman
pun berlangsung. Kepala sekolah menyampaikan arahan sehubungan dengan
syarat-syarat kelulusan peserta ujian. Ada tantangan, tapi juga ada peluangnya.
Ada kebanggaan namun diselingi kegundahan karena seorang peserta ujian sedang
terbaring sakit. Semua orang tua berdoa agar Norma segera pulih.
Tepat
pukul 13.00 kepala sekolah menyatakan bahwa seluruh siswa sebanyak 25 orang
dinyatakan lulus. Dan, Norma menempati peringkat pertama dalam perolehan nilai
ujian. Tepuk tangan dari para siswa dan orang tua serta guru yang hadir.
Sesudah
bersalaman, mereka pun menikmati makan siang bersama. Ada sesi foto bersama
antara guru dan siswa serta orang tua. Di sela-sela sesi foto bersama itu,
telpon milik seorang guru berdering. Sang guru menerima telpon itu. Ternyata
datang dari ibunya Norma yang berada di rumah sakit kota.
“Apa
katanya?” tanya seorang guru yang lain.
Guru yang
menerima telpon tidak memberikan jawaban. Air matanya menetes perlahan.
Semuanya
hening.
Norma
telah pergi untuk selama-lamanya.
[1]Guru
SD Inpres Buraen, tinggal di Koro’oto desa Nekmese’, Amarasi Selatan, cerita yang sama diposting di https://www.teresnews.com/ email: herobani68@gmail.com
Komentar
Posting Komentar