Lopo dan Maknanya
LOPO DAN MAKNANYA
Heronimus
Bani
Pengantar
Pada
awal Oktober 2018, satu rombongan keluarga terdiri dari 30 orang berangkat dari Amarasi Selatan. Rombongan ini menuju suatu tempat di Betun,
Kabupaten Malaka. Dalam rombongan ini hanya seorang saja yang pernah ke kampung
tujuan. Oleh karena itu, ia meminta agar kami berkendaraan melewati jalan utama
lintas Timor sampai pertigaan Nurobo. Dari sanalah kami akan dengan mudah
mencapai ibukota Kecamatan Lelobotin, Kaputu. Tetapi, pengemudi menghendaki
berbeda. Ia mengantar rombongan menyusur lintas Selatan. Setelah melewati jalan
lintas Timor, berbelok di Batuputih menuju Kolbano dan selanjutnya berharap
tiba di Betun dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Perkiraan
sang sopir meleset. Perjalanan memakan waktu yang lama sekalipun rombongan
menikmati penorama alam yang indah menawan dan mengundang decak kagum atas
kemahakuasaan sang Khalik. Sementara rombongan mengagumi keindahan alam, sang
sopir mengemudi dengan kewaspadaan penuh. Dua roda belakang pecah. Sementara
jalan yang dilalui menanjak dan menurun dan sebagian besar belum beraspal di
hutan Nop-nop.
Tibalah
kami di Toianas, Amanatun Utara, setelah mental terkuras di antara pemandangan
indan dan kelelahan. Pengemudi membongkar dua unit ban. Penambal ban bekerja.
Saya dan beberapa saudara memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan anggota
masyarakat di kota Kecamatan itu, Toianas. Di sana kami duduk di dalam rumah
yang disebut Lopo. Bangunan khas suku Atoni’
pah Meto’.
Dari
cerita-cerita tentang pembangunan lopo yang menarik itu, saya terinspirasi
untuk berefleksi. Dari refleksi ini saya menarik sesuatu makna yang memotivasi
baik saya sebagai pribadi dan berharap pada komunitas dan khalayak (termasuk
yang rindu ikut membaca tulisan ini).
Material dan Konstruksi Lopo
Bangunan
yang disebut lopo, konstruksinya sangat umum dikenal dan ada dalam pengetahuan
suku Atoni’ pah Meto’ dan anak suku di dalamnya. Modelnya bulat, berdiri di
atas tanah dengan ukuran persegi yang kemudian diubah menjadi lingkaran.
Lingkaran ini ditandai dengan barisan bebatuan pagar.
Material
untuk bangunan lopo terdiri dari: kayu sebagai tiang, kayu sebagai balok, kayu
sebagai rangka atap, daun gewang (umumnya ilalang; di Amanatun Utara
menggunakan dun gewang), dan tali pengikat.
Jenis kayu yang paling kuat untuk tiang, balok, dan kuda-kuda rangka
atap diambil dari hutan. Sedangkan kayu penolong rangka atap berbatang kecil
diambil dari pantai yaitu pohon bakau. Daun gewang diambil yang berukuran kecil
dan sedang sebanyak mungkin. Tali-temali diambil dari janurnya batang gewang.
Cara mengambilnya adalah dengan membelah daun gewang itu sedemikian rupa
sehingga terkelupas untuk mendapatkan tali yang disebut kufa’ atau tusi.
Jumlah
tiang penyangga sebanyak 4 batang. Balok besar 2 batang. Tiang nok utama 1
batang. Tiang nok pembantu empat batang. Kayu kuda-kuda untuk rangka atap
jumlahnya bergantung pada ukuran luas bangunan. Dapat mencapai lebih dari 20
batang. Demikian pula penolong rangka kuda-kuda lebih dari 50 batang.
Aspek sosiologis Lopo
Lopo,
sebagaimana telah saya jelaskan di muka bahwa bentuknya bulat. Konstruksinya
dapat dimaknai secara sosiologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Bentuknya
yang bulat dapat dimaknai sebagai bentuk bumi yang bulat. Bahwa ilmu
pengetahuan menjelaskan kepada kita bahwa bumi bulat dapat ditarik maknanya ke
dalam lopo.
·
Empat
tiang, menggambarkan empat arah mata angin. Ilmu pengetahuan menjelaskan kepada
kita bahwa ada empat arah mata angin utama, yaitu Utara, Timur, Selatan dan
Barat.
·
Dua
balok besar. Dua balok yang ditempatkan di atas pangkuan tiang-tiang penyangga.
Kedudukan keduanya sama tinggi dan sama panjang. Di sini dapat dimaknai sebagai
kedudukan laki-laki dan perempuan yang seimbang, sejajar atau setara. Keduanya
dapat dimaknai pula sebagai sepasang suami-isteri di dalam suatu rumah.
·
Balok-balok
di atas dua balok utama dapat dimaknai sebagai orang sekitar kehidupan mulai
dari yang terdekat dengan orang tua (suami-isteri) yaitu anak-anak dan
komunitas mereka.
·
Satu
tiang nok yang menggantung dimaknai sebagai aspek kehidupan yang digantungkan
pada kehendak “Yang Maha Kuasa”.
·
Satu
tiang yang ditanam di tanah yang disebut nuni
dimana diyakini bahwa roh para leluhur berdiam di sana, dimaknai sebagai
dasar/fondasi dari daya imajinatif kepercayaan bahwa “Yang Maha kuasa” hidup
bersama penghuni rumah.
·
Tali
pengikat, dapat dimaknai sebagai tangan-tangan manusia yang saling berpegangan,
saling berpelukan untuk memperkuat persaudaraan dan persekutuan komunitas.
·
Tangga
di pintu loteng, dapat dimaknai sebagai usaha dan kerja keras untuk mendapatkan
berkat-berkat jasmaniah, yaitu hasil-hasil kebun/ladang yang ditempatkan di
dalamnya.
·
Pintu
yang kecil di loteng, dimaknai sebagai upaya ekonomis dimana pemilik rumah
harus secara cermat melakukan kalkulasi agar hasil yang ditempatkan di dalam
lumbung itu dapat memenuhi kebutuhan konsumtif mereka sepanjang setahun sebelum
musim tanam berikutya tiba.
Inilah
pemaknaan yang dapat saya sebutkan di sini, tentu saja dapat dianggap sangat
naif. Namun, bila memperhatikan dimana orang membangun rumah di pedesaan,
masyarakat dalam komunitas selalu bekerja bersama-sama, baik laki-laki maupun
perempuan, tua-muda, anak-anak dan orang muda.
Pada
konteks mengusahakan adanya material bangunan, mereka berangkat ke hutan menuju
ke berbagai arah mata angin. Mereka dapat saja berputar-putar di dalam hutan
sebelum menemukan material yang tepat dan berkualitas.
Kebersamaan
dalam satu komunitas tidak dapat disangkali, bahwa masyarakat pedesaan erat
kekerabatannya.
Aspek Teologis Lopo
Apakah
kita dapa belajar sesuatu yang sifatnya ilmu tentang Tuhan di sekitar lopo?
Saya hendak mencoba masuk area itu. Saya meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa
(Uisneno) Pencipta langit dan bumi (Amo’et-Apakaet neno tunan ma pah pinan)
berkarya bersama suku Atoni’ pah Meto’ ketika mereka membangun rumah yang
kemudian disebut lopo (Amarasi: Ropo).
Mengapa
saya meyakini hal ini? Saya sungguh percaya bahwa hikmat dan pengetahuan itu
berasal dari Tuhan. Pernyataan ini tentu debatable
oleh mereka yang ateis. Keyakinan saya inilah yang hendak saya tuangkan dalam
pemaknaan bahwa Tuhan ada dalam Loponya atoin’
meto’.
Lalu
bagaimana melihat dan merasakan adanya Tuhan di dalam lopo?
Pertama, penghuni
lopo yakin bahwa ada roh yang hidup bersama-sama dengan mereka. Dalam
kepercayaan lama mereka yang disebut Re’u
atau Le’u , roh yang dimaksudkan
di sini adalah roh para leluhur. Roh yang tinggal di balik kayu (tiang) induk
di tengah-tengah rumah yang ditanam sedalam satu setengah meter. Ujung atasnya
ditempatkan lembaran papan berfungsi sebagai meja. Tempat ini disebut nuni atau pamali. Sesuatu yang nuni dalam masyarakat atoini’ pah meto’ sesungguhnya tidak
diperkenankan untuk disentuh, dimasuki secara serampangan. Hanya orang tertentu
saja yang boleh masuk ke dalam area itu. Dalam keyakinan yang demikian, maka
yang memimpin untuk dapat berkomunikasi dengan roh para leluhur itu adalah
kepala keluarga di dalam rumah lopo. Ia menaruh “persembahan” di tempat nuni itu lalu berkomunikasi dengan roh
leluhur.
Jika
demikian adanya, kita mesti percaya bahwa keyakinan yang demikian adalah modal
agar dapat mengarahkan mereka kepada kepercayaan/keyakinan yang bermakna Tuhan
yang sesungguhnya dalam kepercayaan agama semawi (Kristen). Bagaimana caranya?
Menggunakan
pendekatan bahasa daerah Amarasi (saya berbahasa daerah Amarasi, salah satu
cabang Uab Meto’), saya mengutip do’a orang Kristen dalam bahasa daerah yang
menyapa Tuhan Allah dengan beberapa sapaan, misalnya: Amo’et-Apakaet neno-tunan
ma pah-pinan, (pencipta langit dan bumi); Arikin-Ape’en too nifun-too natun
(penyebab bertambah-tambahnya makhluk manusia); Atukus-Anenut (Gembala dan
Pembimbing); Afee ma’tani’-ma ‘hatanis (Pemberi/Sumber kekuatan); Oe je
matan-hau goe uun (Sumber air kehidupan dan Pohon Kehidupan); dan masih banyak
lainnya.
Dari
sebutan-sebutan itu yang sering diucapkan dalam do’a-do’a berbahasa daerah,
saya begitu meyakini semua ini berangkat dari fakta kehidupan mereka. Mereka
menganalogikan Tuhan Allah Yang Maha Kuasa itu ke dalam metafora-metafora yang
tepat sesuai keberadaan mereka di dalam alam/lingkungan dimana mereka berada
dan merasakan arti kehidupan itu seturut hubungan mereka dengan alam.
Pada
konteks inilah Tuhan Allah hadir di dalam alam, hadir di dalam alam kehidupan
manusia atoni’ pah meto’ dalam komunitas mereka, dan terlebih dalam kehidupan
satu keluarga penghuni lopo. Tuhan Allah ada di sana. Ia menjadi dasar yang
kuat, bahkan inti kehidupan mereka. Ia berada di pusat kehidupan penghuni rumah
itu. Ia tidak kelihatan dalam ruang gerak manusia, tetapi manusia merasakan
kehadian-Nya sehingga mereka harus membawa persembahan kepada-Nya di meja yang
kudus (nuni) itu. Meja kudus tempat persembahan itu ada di pusat lopo. Ia tidak
berdiri di pinggiran seturut arah mata angin. Ia berada di tengah-tengah
kehidupan mereka. Ia merohi, menghidupkan ruang gerak mereka.
Tiang
imajinatif yang tidak kelihatan tersambungkan dengan pangkal tiang nok yang
menggantung menjadi bukti bahwa sesungguhnya tiang induk yang ditanam di tanah sebagai
nuni itu, tersambungkan. Tuhan Allah tidak putus. Ia secara sadar tidak
memperlihatkan diri-Nya kepada para penghuni lopo agar ruang gerak mereka
menjadi luas. Di dalam ruang gerak itu mereka bekerja, hidup bersama dan hidup
bersama Tuhannya.
Kedua, Tuhan
Allah ada di suatu tempat yang lebih tinggi. Di tempat yang lebih tinggi itu Ia
menyediakan tempat sebagai sumber berkat. Orang Timor di Amarasi menyebutkannya
sebagai tetus-athoen neno-tunan. Artinya, berkat berlimpah dari langit
(sorga). Simbol yang apa yang kelihatan di dalam lopo? Simbolnya ada pada tiang
nok yang berdiri tegak di tengah-tengah rangka atap. Ia masih berada di
pusat/inti rangka atap. Ia bahkan menembus rangka atap dan muncul ke permukaan
di ruang yang lebih luas dan tak terukur.
Itulah
Tuhan Allah. Dia hidup di dalam lopo. Ia hidup bersama penghuni lopo. Ia
memberi ruang gerak kepada penghuni lopo. Ia tidak nampak tetapi Ia dpat disapa
dengan persembahan syukur yang diletakkan di meja persembahan dimana diyakini
Ia berada di sana, walau sesungguhnya Dia tidak tinggal di balik kayu dan batu.
Tuhan
Allah yang sama tidak tinggal dalam benda dimana Ia sendiri yang
menciptakannya. Ia tidak dapat dipagari atau dikurung untuk tinggal di dalam
ruang seperti loteng lopo. Ia melampaui ruang seperti itu. Ia mengatasi segala
ruang. Lihatlah, tiang nok di poros loteng yang justru tembus melampaui rangka
atap bahkan atap pun tidak menutupinya. Itulah Tuhan Allah, Allah yang oleh
orang Timor disebut Anesit-Afin-finit (Yang lebih yang di atas-segala-galanya).
Ketiga, berkat
sorgawi ada dalam kehidupan keluarga. Loteng lopo adalah tempat dimana petani
penghuni lopo menempatkan hasil ladang. Mari kita tarik maknanya, bahwa Tuhan
Allah menjadi sumber berkat. Jika tiang induk nok di poros loteng diimani
sebagai kehadiran Tuhan di sana, itu artinya, Tuhan yang samalah yang memberi
hikmat agar hasil ladang dikelola sedemikian rupa sehingga mencukupi dalam satu
satuan waktu.
Do’a
kaum Kristen, berilah kepada kami setiap hari makanan yang secukupnya. Ada
hikmat untuk mengkalkulasi hasil ladang yang ditempatkan di dalam loteng.
Hikmat inilah yang diberikan Tuhan kepada ibu agar mengelolanya sedemikian rupa
agar tidak dimanfaatkan secara boros. Itulah sebabnya, pintu loteng dibuat
kecil, dan hanya seorang ibu sajalah yang diperkenankan masuk. Seorang ibu saja
yang memiliki hikmat dan pengetahuan untuk mengatakan bahwa makanan (hasil
ladang) yang ditempatkan di sana dalam jumlah sedikit ataupun banyak, pada satu
satuan waktu satu musim tahun sebelum musim tanam berikutnya tiba, makanan itu
akan cukup untuk kebutuhan seisi penghuni lopo.
Keempat,
tikus, hama
pengganggu tidak dapat masuk ke dalam loteng lopo. Siapapun mengetahui, bahwa
dalam agama semawi (Kristen), setan atau iblis adalah pengganggu dan penggoda
utama kehidupan manusia. Ia ada di dalam ruang dan waktu gerak hidup manusia.
Itulah sebabnya di lopo, tikus bergerak di sana. Ia berada di sekitar kehidupan
manusia. Iblis pun demikian. Ia ada di sekitar kehidupan manusia. Ia tidak
menjauh, sekalipun Tuhan Allah ada dalam inti kehidupan mereka yaitu di poros
lopo. Ia hidup bersama mereka, dan Iblis pun hidup dalam kebersamaan itu dan
selalu nampak menjengkelkan dan menggemaskan. Ketika manusia melihat tikus yang
mengganggu tanaman dan hasilnya, mereka sangat gemas untuk membunuhnya. Iblis
pun tidak disukai sebagai penggoda. Tuhan Allah sangat antipati pada Iblis. Ia
tidak sudi agar makhluk manusia yang sempurna itu digoda. Oleh karena itu,
Iblis tidak mendapat tempat di sorga sebagaimana tikus tidak mendapat tempat di
loteng lopo.
Penutup
Demikian
pemaknaan dari lopo yang dapat saya persepsikan. Sungguh akan menjadi sangat
naif bila membacanya. Pembaca dapat saja menertawakannya. Namun, keyakinan saya
bahwa Tuhan hidup pada segala zaman. Ia tidak hidup hanya untuk orang yang
beragama semawi zaman ini. Keyakinan saya bahwa Tuhan hidup bersama leluhur
atoni’ pah Meto’ sehingga mereka dapat memiliki hikmat dan pengetahuan
konstruksi bangunan yang demikian dan sekaligus bernilai.
Maaf,
sekali lagi maafkan saya dalam pemaknaan ini. Sungguh sangat naif bila persepsi
pemaknaan ini menggelikan. Terima kasih.
Bila ingin berdiskusi, dapat menghubungi saya di email: herobani68@gmail.com
Bila ingin berdiskusi, dapat menghubungi saya di email: herobani68@gmail.com
Komentar
Posting Komentar