'Soko dan Rafe

'Soko dan Rafe

Sebetulnya dua kata di atas bukan sesuatu yang luar biasa di kalangan Atoin' Meto'. Sebagai orang Atoni', saya dan komunitas kami di Amarasi Raya begitu mendengar kata 'soko atau rafe, orang langsung paham dan dapat secara tepat menyebutkan barang yang dipakai sebagai 'soko atau rafe.

  • 'Soko. Tanda larangan dengan dedaunan tertentu. Dalam budaya Atoin' Meto', melarang seseorang atau komunitas untuk tidak masuk, tidak mengambil barang sesuatu apapun di satu area/lahan, orang menggunakan tanda. Tanda itu disebut 'soko. Begitu tanda itu ditempat pada satu tempat atau beberapa tempat, maka orang segera sadar akan larangan. Jika larangan itu dilangkahi akan berdampak buruk pada pelanggarnya. 
Contoh. 
  1. Seseorang menanam lamtoro sebagai pakan ternak sapi. Lamtoro yang ditanam itu tumbuh besar dan tinggi. Lalu, sebelum ia mengambil, ternyata sudah ada orang yang mengambil terlebih dahulu. Ia lalu memasang tanda larangan itu. Tanda itu hendak mengingatkan si pengambil tadi yang melakukan secara tidak terhormat, yaitu mencuri. Bila si pengambil pakan itu terus melakukannya, maka akan diadakan upaya memata-matai agar dapat ditangkap. Bila tertangkap, ia akan dihukum dengan pasal-pasal (lisan) hukum adat akan akan membuatnya jera.
  2. Seseorang menebang pohon jati dengan cara membeli. Kita beri nama pembeli ini bapak S. Ketika bapak B sedang menjadikan batangan pohon jati menjadi papan-papan, ia mendapat teguran dari seseorang yang lain, sebutlah namanya bapak P. Bapak T akan memasang tanda larangan untuk menghentikan penebangan pohon jati karena si penjual, kita sebutlan namanya bapak J, bukan pemilik pohon jati itu. Tanda 'soko menjadi bukti larangan. Bapak B akan berhenti menebang, bapak J, mendapatkan kesempatan untuk membela diri, sementara bapak P, akan menjadi salah satu pihak yang akan berperkara di sini. 'Soko akan dicabut setelah persoalan ini diselesaikan oleh para pihak di hadapan para pemuda masyarakat dan pemerintah desa. Bila tidak ada upaya dari pihak bapak J, sementara pihak bapak B pun tidak ada upaya lain, maka pada akhirnya bapak P akan mengambil papan-papan itu menjadi miliknya. Mengapa? Karena pohon-pohon jati itu telah ia klaim sebagai miliknya yang ia tanam, tumbuh dan besar di lahan miliknya.
  3. Pemangku kepentingan yang mengurus kelestarian alam memasang 'soko di hutan. Istilah yang lazimnya dipadankan pada larangan di hutan untuk menjaga keamanan hutan, dan tanpa diketahui mereka tentang ekosistem dan jejaring makanan antar makhluk hidup di dalam hutan. Masyarakat mengenal istilah 'soko-noo'. Bila 'soko-noo' dipasang, atau sekalipun tidak dipasang dan hanya diumumkan saja, maka masyarakat tidak diperkenankan memasuki area hutan pada masa tertentu, sampai dengan upacara sanu' 'soko-noo'. Ketika ritual sanu' 'soko-noo' dilakukan, saat itulah masyarakat boleh merambah hutan untuk mengambil hasilnya. Akan tetapi hal ini terjadi pada masa lampau ketika hukum adat berlaku keras, ditakuti secara luar biasa oleh masyarakat. Zaman ini 'soko-noo' tak lagi  mendapatkan perhatian. Bahkan dengan peraturan yang berlaku dalam negara pun, hutan dapat dirambah tanpa kepedulian akan kelestarian dan kelangsungan hidup penghuni hutan.
  4. 'Soko-noo' yang lain berlaku pada mamar (kebun dengan berbagai jenis tanaman umur panjang~aaz: po'on). Pada masa hukum adat berlaku secara ketat, setiap mamar tidak diperkenankan pengambilan hasil bila bukan musimnya. Hasil dari mamar boleh diambil melalui ritual sanu' 'soko-noo'. Hal ini untuk menjamin kehidupan bersama. Di beberapa tempat di pulau Timor budaya ini masih terpelihara, walau sebahagian terkikis oleh pergeseran nilai dimana, kepentingan ekonomi menutupi kehidupan bersama dalam komunitas sosial-masyarakat.
  5. 'Soko yang terakhir ini agak tidak nyaman. Para muda menggunakannya pada pesta-pesta dansa masa lalu. Seorang pemuda bila menaruh hati cintanya pada seorang gadis, ia akan menempatkan sehelai uang di kepala gadis penari. Lalu, pemuda lain tidak diperkenankan menyentuh gadis penari itu karena ia telah memberi 'soko padanya. Hanya dia seorang yang diperkenankan menari dengan gadis itu, dan bila gadis itu berkenan menjadi pacarnya, kelak dapat saja berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
  • Rafe. Model yang satu ini juga merupakan tanda. Tanda yang diberikan pada dua hal. Pertama, di rumah. Ketika seseorang bertamu dengan maksud membawa kabar (suka maupun duka). Ketika pemilik rumah tidak berada di tempat, maka sang tamu diperkenankan menempatkan sehelai daun (daun apapun) di pintu. Mengapa di pintu? Karena pemilik rumah akan kembali. Ketika mereka kembali, sebelum membuka pintu, tanda itulah yang akan terlihat. Setelah membuka pintu, mereka akan bertanya pada tetangga tentang kemungkinan tamu yang datang itu meninggalkan pesan. Kedua, bila dua orang berjalan bersama, lalu mereka berpisah di persimpangan jalan. Mereka saling berjanji untuk kembali bersama di tempat yang sama. Siapa yang tiba lebih awal di simpangan jalan tersebut, boleh menempatkan dedaunan apapun sebagai tanda bahwa ia telah tiba lebih dahulu, dan karena tidak hendak menunggu maka ia menempatkan daun ini sebagai tanda bahwa ia sudah pergi.
Demikian sekilas cerita masa lalu. Dua hal ini sesungguhnya dipandang dari aspek komunikasi, di sana ada komunikasi non verbal. Komunikasi dengan menggunakan simbol. Simbol-simbol itu ada dalam pengetahuan semua orang yang menggunakannya.

Dunia modern memberi perubahan. Simbol diganti dengan pesan singkat via beragam aplikasi. Feisbuk, pesan singkat, WhatsApp, dan lain-lain aplikasi media sosial.

Walau 'soko telah berkurang pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat, tetapi keberadaannya pada hal-hal tertentu masih berlaku.

Akh... itu sedikit pengetahuan masa lampau. Semoga berkenan.


Koro'oto, 7 Februari 2020





Komentar

  1. Beta pernah ikut ritual yg dibuat sekolompok masyarakat yg berkaitan dgn larangan menebas,ambil hasil hutan seperti tali hutan,daun dan apa saja termasuk binatang liar yg ada didalam. Upara ini namanya saeba " soko no'o hau tani" itu untuk pelestarian hutan rakyat. Tapi kalau sudah saatnya untuk boleh ambil itu namanya sanu..soko no'o hau tani .ini juga termasuk simbol larangan atau pembebasan. Brarti soko dan rafe punya arti banyak tergantung kebutuhan dan maksuksud. Makasi bp sudah buat ini cerita👏

    BalasHapus
  2. Masih ada simbol lain seperri haep me e (ludah siri pinang) diran tefa atau pertemuan jalan setapak.bisa berarti sesuai perjanjian pihak satunya sdh datang dan lewat😀

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya