Belajar dari Cabe

Belajar dari Cabe

Sumber: kompasiana.com

Pengantar
Beberapa hari ini saya agak tidak nyaman di sekolah. Sesungguhnya saya sudah menyadari sejak awal ketika saya berada di sekolah itu. Ketidaknyamanan mereka yang "orisinal" dan kami yang "imitasi" di tempat dimana kam berkumpul bukan sebagai kerumunan tetapi sebagai abdi negara dalam status yang berbeda.

Sayang sekali bahwa sekalipun di lembaga pendidikan, hal yang saya sebutkan dalam tanda petik di atas secara senyap dimainkan pada kami yang imitasi. Saya sadar bahwa yang datang dengan embel-embel imitasi biasanya mudah disingkirkan. Maka, saya selalu mengingatkan rekan-rekan guru tanpa pandang orisinil atau imitasi, bahwa kesiapan diri untuk menjadi yang lebih baik dalam kualitas diri dan pelayanan harus nyata, nampak terlihat, dapat dirasakan oleh pemangku kepentingan di dalam sekolah dan di luar sekolah.

Kekuatiran saya akhirnya terbukti. Seorang di antara kami yang imitasi akhirnya "didepak" dengan secarik kertas resmi yang tak dapat kami bantah. Sesungguhnya kami tidak mengetahui bahwa ia akan didepak, tetapi dua minggu sebelum surat itu tiba di tangan rekan kami ini, kabar itu telah sampai, bahkan kami sempat membahasnya di dalam rapat guru pada agenda warna-warni.

Dalam pertemuan terakhir untuk menentukan kelulusan siswa, surat sakti itu ditunjukkan kepada kami. Kami yang imitasi "loyo", sementara yang orisinil terlihat "tegak" kepala. Mereka yang orisinil namun telah dewasa mindset membuat pernyataan penyesalana. Tetapi, kami hanyalah lembu-lembu yang dicucuk hidungnya. Kami tidak dapat melakukan protes karena status itu hanya berlaku selama setahun, dan akan dibaharui lagi setiap tahun, bahkan dapat saja hilang. Kami mengikuti dalam tindakan. Isi surat itu memerintahkannya untuk pindah. Ya, dia dan kami yang imitasi siap selalu untuk dimutasi agar yang tersisa adalah mereka yang orisinil dalam keberdayaan mereka.

Tapi, saya tidak hendak membahas hal itu dari aspek sosio-educare di sini. Saya memikirkan sesuatu yang berbeda secara filosofis. Ketika saya sedang makan, cabe yang saya makan, buahnya kecil, pedis, tapi saya masih mau mengambilnya untuk menambah dan menambah bersama setiap suap makanan. Lalu saya bertanya, ada makna kehidupan apa di baliknya?

Setelah berefleksi, saya menemukan jawaban makna kehidupan dari satu jenis tumbuhan yang tergolong tumbuhan semak. Cabe. Lalu saya coba tulis di blog yang sudah lama tak tersentuh ini.

Cabe hutan, tumbuhnya di hutan

Sebagai orang kampung saya kenal baik tanam yang satu ini. Ia tumbuh secara liar di hutan. Ia tumbuh tanpa perawatan awal oleh peladang ketika menemukannya tumbuh bebas di antara padi atau jagung. Ia baru akan dirawat oleh peladang bila ternyata menghasilkan. Sesudah buahnya diambil dan peladang pergi, sering sekali sang peladang kembali untuk mengambil buahnya.

Lebih menyedihkan bila ia ditemukan di tengah hutan. Mereka yang merambah hutan tidak memetik buahnya, mereka justru memotong batangnya dan membawanya secara utuh. Tiba di rumah, ibu rumah tangga atau anak akan memetik biji-bijian cabe itu. Mengapa si perambah mengambil dengan cara begitu? Karena ada kepastian bahwa di sisi lain di dalam hutan itu masih ada tanaman cabe yang tumbuh yang akan ia temukan.

Tanaman cabe itu ada di hutan, ada di ladang. Siapa yang menanamnya? Perambah hutan mengetahuinya. Peladang di Timor mengetahuinya. Periset tanaman semak yang berguna mengetahuinya. Bahwa burung pemakan bijian yang menebar benihnya.

Mari belajar sedikit makna kehidupan dari cabe hutan.

Sekalipun ia tumbuh secara liar, tetapi ia diminati burung pemakan bijian. Ia tumbuh sebagai semak yang berumur tiga sampai empat bulan telah mulai menghasilkan. Ketika menghasilkan, burung pemakan bijian datang bertengger padanya pada siang hari. Bila malam tiba, mereka dapat memanfaatkannya untuk bertengger dan bermalam.

Bijian yang dimakan burung tidak pedas. Burung-burung tidak merasakan pedasnya buah yang dihasilkan cabe hutan. Tetapi buah itu membantu pencernaan dan bahkan membantu agar burung pemakannya mempunyai suara yang merdu. Lalu, biji yang terbungkus daging buah dibuang oleh burung sebagai cirik. Bijian itulah yang kemudian tumbuh lagi sebagai tanaman baru di tempat yang baru. Di sana ia memberi warna baru pada kehidupan yang berulang pada burung-burung pemakan bijian di dalam hutan, termasuk makhluk manusia yang suka padanya sebagai pengharum dan pemberi rasa pedas pada makanannya.

Pada masyarakat di lereng Pah Amarasi, sering mereka mengambil buah cabe hutan dalam jumlah yang cukup pada musim mengambil hasil laut di pantai. Mengapa? Karena di buah-buah cabe itulah yang akan dipakai untuk memberi rasa pedas sekaligus mengurangi aroma dari binatang laut hasil tangkapan para pelaut amatiran yang hanya memungut kerang-kerangan di pantai.

Apa maknanya yang berhubungan dengan cerita di awal tulisan ini?

Belajar dari Cabe Sisi lain Makna Hidup

Pertama, Makhluk manusia sesungguhnya memulai hidup dari satu tempat. Ia tidak sesegera mungkin berpindah tempat bila belum matang. Tetapi, ia dapat dipindahkan atas keingingan orang yang lebih berkuasa atasnya. Orang yang lebih berkuasa itu terlebih dahulu menikmati karya-karya dari mangsanya, lalu kemudian dibuang ke tempat lain. Di tempat yang baru nanti dia akan ikuti untuk mengambil hasil karyanya kelak.

Kedua, Pada orang yang suka berkelana, ia akan sangat menyukai petualangan (adventure). Ia tidak peduli apakah akan disakiti. Semakin disakiti, ia makin berkelana untuk menemukan pengalaman-pengalaman baru yang lebih menarik dan menantang. Orang seperti itu bahkan tidak takut pada kematian. Bila ia harus berhadapan dengan situasi seperti itu, ia hanya berharap mendapatkan belas kasihan agar dapat menikmati hidup walau harus memulai dari zero, nol. Tumbuh baru, usaha baru. Ketika mengalami hal yang demikian, ia justru tumbuh makin subur dan segera menghasilkan pula. Orang lain makin heran dengannya dan mendekat untuk mengambil keuntungan darinya.

Ketiga, Pada orang tertentu ada sifat yang kiranya dianggap buruk, pedis/pedas. Kata-katanya menyakitkan. Sikap dan tindakannya kurang  terpuji. Anehnya, orang seperti itu justru pemberani. Maka, dialah yang akan dipasang sebagai tameng agar dapat dikorbankan. Tidak heran, banyak orang yang bermulut pedas selalu berada di barisan depan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Lalu, bila hukum harus ditegakkan, orang seperti itu yang menjadi sasaran empuk di bawah tekanan ayat-ayat hukum yang berlaku. Ketika ia dipenjarakan, siapa peduli padanya secara 100%? Tetapi, ketika ia bebas, ia memulai hidupnya secara baru di tempat baru. \

Keempat, Ada orang yang tampilannya sederhana di tempat-tempat yang tidak dalam pengetahuan umum. Suatu ketika mereka didatangi oleh para pembawa kabar kebahagiaan. Mereka yang sederhana itu kemudian tertelan dalam kepongahan dan kebohongan yang dimainkan para pembawa kabar kebahagiaan itu. Lalu, setelah mereka ditelan dan ditelantarkan, minyak dari diri mereka diisap hingga habis tersisalah ampas napas kehidupannnya. Mereka dibuang, lalu orang-orang sederhana itu harus memulai sesuatu yang baru dari awal lagi.

Penutup
Apakah sahabat yang sedang membaca artikel ini sedang menjalani suatu proses di antara keempat kategori orang yang saya kelompokkan berdasarkan filosofi cabe hutan?

Saya tidak dapat mengkategorikan lebih daripada keempat hal ini. Jika sahabat yang membaca artikel ini masih bisa menyambungnya, saya kira akan lebih baik lagi agar semakin bijaklah kita menyikapi persahabatan sebagai sesama insan.

Koro'oto, 10 Juni 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria