Etika Berbicara dalam Konteks Atoin' Meto' di Pah Amarasi

  Etika Berbicara dalam Konteks Atoin' Meto' di Pah Amarasi

Pengantar

Melalui aplikasi WhatsApp seorang pendeta mengirim pesan sebagai berikut, "Bapa, beta agak kurang nyaman di sini. Biasa orang akan panggil beta: Ibu, lu mau pi mana? Ato Ibu, kamu su habis ibdah? Ada ko bahasa Timor untuk panggilan halus untuk yang lebih tua, ato yang dihormati? ato karna terjemahan bahasa hanya ada ^ho^? 

Ada dua kata yang saya beri huruf tebal sekaligus garis bawah. Sang pendeta merasa tidak nyaman pada dua kata itu. Rasanya secara etika, ia kurang mendapat tempat "terhormat" sebagai salah satu pemimpin di dalam kampung, apalagi ia seorang pemimpin umat.

Apa yang dapat saya sampaikan kepada sang pendeta tentang situasi seperti itu?

Bahwa masyarakat pedesaan Timor menerjemahkan secara lurus kata [ho] ke dalam Bahasa Melayu Kupang menjadi [lu] atau ke dalam Bahasa Indonesia menjadi [kamu]; atau [kau]. Hal ini berangkat dari ungkapan sehar-hari seperti ini,

  • Ho mnao meu mee? artinya Lu mau pi mana? atau Kamu mau kemana?
  • Aam, ho mnao meu mee? artinya, Bapa, lu mau pi mana? atau Bapa, kamu mau kemana?
  • Ain, ho mnao meu mee? artinya, Mama, lu mau pi mana? atau Mama, kamu mau kemana?
Dalam konteks berbahasa Uab Meto' Amarasi. atau Amanuban misalnya, orang akan menambah kata penghalus di belakang kalimat-kalimat tanya itu, seperti ini:

  • Ho mnao meu mee, tua? artinya Lu mau pi mana? atau Kamu mau kemana?
  • Aam, ho mnao meu mee, tuaartinya, Bapa, lu mau pi mana? atau Bapa, kamu mau kemana?
  • Ain, ho mnao meu mee, tuaartinya, Mama, lu mau pi mana? atau Mama, kamu mau kemana?
atau
  • Ho mnao meu mee, ahoit? artinya Lu mau pi mana? atau Kamu mau kemana?
  • Aam, ho mnao meu mee, ahoitartinya, Bapa, lu mau pi mana? atau Bapa, kamu mau kemana?
  • Ain, ho mnao meu mee, ahoitartinya, Mama, lu mau pi mana? atau Mama, kamu mau kemana?
Kata-kata penghalus yang menunjukkan etika itu sangat tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Kupang atau Bahasa Indonesia. Bila dialihkan ke Bahasa Inggris kira-kira seperti ini:

  • Ho mnao meu mee, tua? artinya Where are you going, sir (or mom)?
  • Aam, ho mnao meu mee, tuaartinya, Father, where are you going, sir?
  • Ain, ho mnao meu mee, tuaartinya, Mom, where are you going, mom?
Hal yang sama berlaku untuk terjemahan pada teks berbahasa Amanuban.

Lalu mengapa sang pendeta merasa kurang nyaman?

Berikut perasaan berbahasa yang kiranya secara etika mesti menjadi perhatian.

Etika Berbicara dengan Sesama

Dalam percakapan sehari-hari, lafal-lafal dalam Bahasa Daerah yang umum tidak dilafalkan dalam konteks untuk tidak menghargai atau tidak menempatkan orang pada kemuliaan dan harkat kemanusiaannya. Lihatlah contoh-contoh di atas. Ho mnao meu mee? atau Ho mnao meu mee, tua? Posisi kata [ho] yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Kupang menjadi [lu] rasanya menurunkan derajat, harkat, dan kemuliaan orang yang menjadi sasaran percakapan.

Saya ingat seorang bapak (juga pendeta yang telah mangkat). Ia sangat marah bila orang menggunakan kata-kata beta, lu, sonde, bosong, botong, kotong, kitong, dalam percakapan sehari-hari. Bukan hanya sang pendeta ini saja, tetapi juga para guru SD pada masa lampau sangat tidak menghargai Bahasa Melayu Kupang yang dilafalkan anak-anak di sekolah. 

Padahal, Bahasa Melayu Kupang lebih dekat dengan Bahasa Daerah (misalnya, Uab Meto' Amarasi, Amanuban, Amanaatun, Amfo'an, dll) sehingga akan dengan mudah mengajarkan kepada siswa konteks berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Dalam konteks berbahasa daerah Uab Meto' Amarasi misalnya, ada dua strata yang dipakai dalam masyarakat. 

  • Strata kalangan usif, dan amaf
  • Strata kalangan umum
Di kalangan para usif dan amaf orang harus memberi rasa hormat dalam berbicara. Masyarakat harus memahami dan mengetahui posisi diri (tau tampa, tau diri MK), siapa dia dan siapa lawan bicaranya. Oleh karena itu orang harus berbicara dengan kata-kata yang sopan (n'auk uab). Contoh-contoh berikut ini telah hilang:
  • Tais ji nsae, usi', ucapan seperti ini disampaikan kepada pembesar ke-usif-an; Uispah, dan kalangan mereka di sonaf. Bila secara harfiah diterjemahkan akan menjadi, biarlah air laut segera pasang, ya, tuan raja. Padahal, yang dimaksudkan adalah, "Mari, silahkan makan, tuan raja!"
  • Tbukae nai, tua! ucapan seperti ini disampaikan sebagai rasa hormat kepada sesama, baik yang secara kematangan emosi maupun sesama generasi atau dari generasi yang lebih muda kepada yang lebih tua. Artinya, Mari kita makan! 
Dalam strata amaf, di dalamnya tergolonglah mereka yang mempunyai kedudukan di dalam masyarakat, termasuk seperti para pemimpin umat beragama. Oleh sebab itu, kalangan amaf digolongkan sebagai para pengayom masyarakat. Merekalah payung ('ne'o, tenuk) yang memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bila berbicara dengan mereka, kata-kata terpilih (diksi) mesti tepat sesuai jabatan, kedudukan, posisi di tengah masyarakat. 

Mari memperhatikan contoh-contoh berikut ini:

Misalkan seorang pejabat di dalam kampung (tokoh) atau di luar kampung, termasuk pejabat daerah tiba di satu kampung, ia akan mendapat penghormatan untuk mengambil tempat duduk secara terhormat. Maka, kata-kata yang diucapkan kepadanya akan nampak seperti berikut ini.
  •  Hai miskau he ttuun ok, tua! artinya, kami menjemput untuk mengambil tempat duduk.
Berbeda bila yang datang itu seseorang yang sama umur, posisi tidak jauh berbeda, kedudukan di tengah masyarakat sama sebagai sesama tokoh atau sesama anggota masyarakat, kalimat yang diucapkan dan berlaku umum seperti di bawah ini.
  • Attook teu naan, tua. Artinya, mari silahkan duduk di situ. 
Seringkali mereka tidak menggunakan kata, tua yang menunjukkan kehalusan budi berbicara.  Dalam konteks yang demikian, para linguist menempatkannya sebagai bahasa (yang) umum, (koine) di kalangan masyarakat. 

Mari memperhatikan contoh-contoh dialog dengan term bahasa (yang) umum di kalangan masyarakat
  • Tnao nai ~ jalan sudah
  • Tnao nai, tua ~ jalan sudah
  • Muah ~ makan
  • Muah main ~ makan sudah
  • Muah nai ~ makan sudah
  • Ho mnao meu mee? ~ Lu jalan pi mana? Kamu mau kemana?
  • Ho munsaa'? ~ Lu buat apa? Kamu buat apa?
Konteks lafal-lafal yang demikian dipahami sebagai sesuatu yang lumrah terjadi di tengah masyarakat ketika berada dalam suasana bukan formal.

Nah, bagaimana dengan "kasus" sang pendeta?

Benarlah bila sang pendeta merasa kurang nyaman dengan pertanyaan berupa lafal percakapan yang diarahkan kepadanya. Ibu, ho mnao meu mee? Ibu, lu jalan pi mana? Dalam konteks berbahasa, hal ini tidak salah. Mengapa? Karena diterjemahkan secara lurus oleh penggunanya dari kalimat berbahasa daerah miliknya. Apakah penggunanya tidak menyadari bahwa seorang pendeta termasuk kalangan "amaf" (tokoh) yang harus dihormati di tengah masyarakat?

Saya hendak memastikan bahwa pasti ia menghormati sang pendeta. Masalahnya adalah, ia tidak memahami konteks berbicara (dialog). 

Mari kita lihat bagaimana Bahasa Melayu Kupang untuk konteks yang demikian?

Masyarakat pengguna Bahasa Melayu Kupang akan menggunakan term yang menempatkan orang pada harkatnya dan posisinya. Mari memperhatikan contoh-contoh berikut ini
  • Mama, mama mau pi mana?. 
  • Mama mau pi mana?
  • Mau pi mana, mama?
  • Mau pi mana, bos?
Kalimat pertama hingga ketiga terasa sopan dan halus ditujukan kepada orang tua, bahkan sesama orang tua. Sementara kalangan umum pengguna Bahasa Melayu Kupang nyaman-nyaman saja dengan kata yang diterima sebagai yang halus dan sopan pula yaitu [bos]. 

Mari saya bawa keempat kalimat itu ke dalam Uab Meto' Amarasi dan Bahasa Indonesia

         Bahasa Melayu Kupang         Bahasa Amarasi                   Bahasa Indonesia

Mama, mama mau pi mana?.     Ain, ho he mnao on mee?       Ibu, kamu mau kemana?
Mama mau pi mana?                  Ain he mnao on mee?             Ibu mau kemana?
Mau pi mana, mama?                 He mnao on mee, ain?            Mau kemana, ibu?
Mau pi mana, bos?                     He mnao on mee, usi'?            Mau kemana, tuan (puan)?

Nah, perhatikan kalimat pertama hingga ketiga. Lalu bandingkan dengan kalimat keempat. Apakah secara sosial ada yang tidak nyaman di sana?

Tentu saja bagi pengguna Bahasa Melayu Kupang ada yang merasa kurang nyaman, dan ada yang merasa nyaman-nyaman saja, asalkan dapat menyesuaikan diri (tau tempat, tau diri).

Solusi pada Kasus Etika Berbicara dalam Konteks Atoin' Meto' di Pah Amarasi

Dalam "kasus" kecil yang disampaikan sang pendeta, saya beri solusi seperti ini.

Dalam pandangan Atoin' Meto' tentang orang-orang di luar pulau Timor, mereka diterima sebagai orang asing (kase). Pada semua kalangan keluarga orang Timor (Atoin' Meto') ada pada mereka nama-nama manis, sebutan indah dan terhormat yang memuliakan individu sekaligus memuliakan dan meninggikan harkat keluarga dan komunitasnya. 

Mari memperhatikan sebutan-sebutan seperti di bawah ini,

Abineno, sapaan terhormat dan mulia pada kalangan ini adalah Aam Sei, Ain Sei
Nubatonis, ada yang menyapa mereka dengan Aam Nuban, Ain Nuban, dan Aam Sopo, Ain Sopo
Ataupah, sapaan terhormat dan mulia pada kalangan ini adalah Aam Nabu, Ain Nabu
Kapitansapaan terhormat dan mulia pada kalangan ini adalah Aam Nabu, Ain Nabu
Otemusu, ada yang menyapa mereka dengan Aam Nabu, Ain Nabu, dan Aam Sanu Ain Sanu.

Nah,  Pembaca dapat bertanya pada setiap orang di Amarasi dan Pah Meto' pada umumnya. Mereka akan menyampaikan tentang sapaan manis, terhormat, mulia dan ditinggikan milik keluarganya atau komunitasnya.

Saya yang menulis catatan ini mempunyai nama keluarga besar Bani. Pada umumnya di Pah Amarasi orang menyapa dengan Aam Soo'i, Ain Soo'i,atau ada yang menyebut secara umum Sin bi Soo'i. Lafal tertentu menambah /n/ di belakang Soo'i menjadi Soo'in.

Jika demikian, apakah mereka yang berasal dari luar Pah Meto' atau tidak mendapatkan tempat terhormat dan mulia lagi ditinggikan di kalangan orang Amarasi (dan Pah Meto')?

Jawabannya, ada. Mereka yang datang dari luar (etnis lain) diterima dan ditempatkan sejajar dengan Atoin' Meto'. Mereka mendapatkan sapaan manis, terhormat, mulia dan ditinggikan pula. Mereka tidak dibedakan. Sapaan manis yang diberikan adalah Kefi. Oleh sebab itu mereka akan disapa dengan manis sebagai Aam Kefi dan Ain Kefi. 

Dalam "kasus" kecil sang pendeta yang bukan berasal dari kalangan Atoin' Meto' saya sarankan agar kepadanya disebutkan atau disapa dengan Ain Kefi, karena ia seorang perempuan "asing" yang berasal dari etnis lain. 

Akan menjadi indah bila ia disapa sebagai berikut, Ain Kefi mnao on mee? Tanpa menyebut jabatannya sebagai pendeta, ia tetap dihargai dalam percakapan itu walau konteksnya informal.

Saya sampaikan pula kepada sang pendeta bahwa semua gadis dari kalangan Atoin' Meto' di Pah Amarasi bila menikah dengan lelaki dari etnis lain (kase), maka dia pun akan mendapatkan sapaan, Kefi. Sebaliknya, bila gadis etnis lain (kase) menikah dengan lelaki dari kalangan Atoin' Meto' Pah Amarasi, maka ia akan tergolong sebagai atoin' meto' sehingga namanya tidak lagi kefi melainkan akan mengikuti suaminya.

Berikut saya petikkan percakapan saya dengan sang pendeta di aplikasi di WhatsApp 

Roni: 
Ajari mereka untuk menyapa begini, "Ibu, mau pi mana?" Tersirat di sana /ho/
Jika tidak begitu, tolong sampaikan secara terbuka kalau Puan pandita kurang nyaman.
Bila mungkin mereka lebih suka, pakailah Ain Kefi; sapaan umum halus dan terhormat untuk semua orang asing termasuk perempuan Amarasi yang suaminya etnis bukan Timor.

Sang Pendeta:
mungkin begitu bapa. Hanya belum bisa nyaman saja sampai sekarang ini, bapa. Ain kefi bisa untuk yang belum menikah? Bapa kayaknya harus tulis dulu.

Roni:
Ya, sangat bisa untuk yang belum menikah, tagal Puan Pandita bukan dari Amarasi.
Semua etnis yang bukan dari Pah Meto atau bukan Atoin' Meto' pasti kami sebut kefi.
Sementara perempuan muda yang menikah dengan etnis lain akan jadi kefi.
Perempuan muda dari etnis lain yang menikah dengan pemuda Amarasi dia akan jadi bagian dari suaminya, dan karena itu kefi yang melekat di dirinya akan gugur.
Contoh, isteri saya orang Rote. Sebelum menikah, dia kefi. Setelah menikah dia Soo'i; sementara kakak saya yang perempuan sebelum menikah, dia Soo'i, setelah menikah dengan suaminya orang Rote, dia jadi Ain Kefi.

Sang Pendeta
Pantas saja. Beta biasa dengar mama panggil tetangga sebelah rumah dengan ain kefi.

Penutup

Tulisan ini hanyalah suatu penjelasan sosial rasional oleh karena saya tidak mendasarkannya pada suatu riset yang sistematis. Kiranya dapat diterima oleh pembacanya. Kepada sang pendeta yang telah bertanya, saya sampaikan terima kasih. Tuhan memberkati dalam tugas dan pelayanan. Kiranya mau menjadi bagian dari cara berbahasa masyarakat pedesaan yang menempatkan kesopanan berbahasa lain menurut etika berbahasa daerahnya.

ha ha ha.... Uisneno nneek ma namnau ko, Ain Kefi


Koro'oto, 12 Agustus 2020
Heronimus Bani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria