Oe je 'So'en Hau goe Mnaitin

 Oe je 'So'en Hau goe Mnaitin


Pengantar

Setiap urusan perkawinan menurut huku adat perkawinan di Pah Amarasi, hampir selalu ada istilah ini walau tidak disebutkan oeh mereka yang menikah secara adat itu. Pengucapan kalimat bermakna (konotatif) di atas diucapkan oleh para pemuka adat. Mereka yang paham akan mengetahui makna di balik ungkapan konotatif itu. Sementara yang mendengar saja, hanya bingung dan bengong, apa artinya? Jika ada yang mengetahui dua jenis benda yang disebutkan di sana, mereka akan membayangkannya dan mengetahui bentuk, rupa dan wujudnya. Tapi, apakah mereka mengetahui maknanya?

Cobalah bertanya, apa makna di balik oe je 'so'en hau goe mnaitin?

Fakta dan Makna Filosofis

 Secara faktual ada dua benda yang disebutkan dalam idiom oe je 'so'en hau goe mnaitin. Kedua benda itu adalah air (oe) dan kayu (hau). Kata kerja yang digunakan pada idiom itu, untuk air, 'so'en, artinya menimba, ditimba, tertiba, dan untuk kayu, mnaitin artinya, ambil, mengambil, diambil, terambil. Jadi, bila kita menerjemahkan idiom itu secara lurus (harfiah), maka oe je 'so'en hau goe mnaitin artinya air tertimba dan kayu terambil. Unsur je  dan goe pada kalimat idom itu sebagai kata tunjuk. Jadi bila diterjemahkan kata per kata akan seperti ini, air itu ditimba, kayu  itu diambil. Kayu yang dimaksudkan di sini adalah kayu ranting kering yang dipakai sebagai bahan bakar. 

Nah, apa dan bagaimana ceritanya sehingga air dan kayu kering (kayu api sebagai bahan bakar) diikutkan dalam urusan perkawinan khususnya pada prosesi hukum adat perkawinan? 

Umumnya kalimat berkonotasi di atas oe je 'so'en hau goe mnaitin itu merupakan satu kalimat jawaban standar dari pengantin adat. Seorang pemuka adat akan bertanya, hi miteef ambi mee? (Kamu bertemu di mana?). Pertanyaan itu akan mendapatkan jawaban secara simbolik, hai miteef ambi oe je 'so'en ma hau goe mnaitin, tua. Kami bertemu di tempat menimba air dan tempat mengambil kayu (kering/api). Jawaban standar itu bila mereka mengetahuinya. Jika tidak mengetahuinya, maka jawaban pengantin adat itu bisa sesuai faktanya. Misalnya bertemu di pesta ketika berdansa, bertemu di media sosial feisbuk lalu dilanjutkan dengan bla bla bla, dan telpon-telpon, atau bla bla bla... Ada pula yang memberi jawaban, bertemu di tempat kerja dan lain-lain sesuai realita ketika di titik awal masa berpacaran.

Para muda memahami tempat-tempat pengambilan air dan kayu. Pada masa lampau tempat pengambilan air selalu ke sungai. Di sana ada pancuran sehingga mereka akan mengisi tempat air (a'sapa, a'book oe, a'tuke'/a'foke', a'fane') hingga penuh. Ada tempat air yang ketika sudah terisi tidak dapat lagi diletakkan di tanah. Pemanggulnya harus segera pergi membawa beban air bersih itu hingga tiba di rumah. Di rumah, air harus segera dipindahkan ke tempat air yang sudah tersedia (a'huna'), kumbang/guci. Sesudah melakukannya barulah ia boleh beristirahat. Tempat air itu dibuat dari daun lontar (a'sapa'). Tempat air yang lain dapat diletakkan di tanah. Di sumber air seperti itu ke sanalah mereka berpacaran (ma'kero', nahoten, mabnonon, mafrein). Kata-kata dalam kurung itu dipakai untuk memberi warna pada masa pacaran para muda di Pah Amarasi.

Apa maknanya dalam hidup keseharian masyarakat (pedesaan)?

Oe, air. Di dunia ini siapakah dan makhluk manakah yang hidup tanpa air? Sekalipun hanya setetes berupa embun, itu pun sudah cukup baginya untuk memuaskan dahaga, menyegarkan badan dan menghidupkan rasa dan raga. Sumber-sumber air selalu menjadi incaran makhluk manusia dan binatang. Sementara makhluk lain yang sudah ada di dalam air sungguh beruntung telah ada di sana, walau tak kurang pula rasa kecewanya bila habitat mereka terganggu oleh pencari kenikmatan sesaat.

Tumbuhan semak hingga pepohonan dengan segala cara dan pendekatan mereka gunakan secara alamiah agar dapat mempertahankan hidup ketika mereka kekurangan air. Sebutlah rerumputan yang mungkin paling mudah segera membuat dirinya mati sebentar oleh karena kekeringan melanda habitatnya, dan begitu datangnya hujan, ia bagai bangun sebentar menengok bila benar-benar telah hujan ia pun tumbuh dan berkembang. Sebutlah pula kaktus yang berada di padang pasir, apakah ia tidak berdaun? Orang menyangka ia tumbuhan berdaging belaka tanpa daun. Daun diperlukan tumbuhan untuk proses fotosintesis, lalu bagaimana kaktus memberlakukan proses alamiah itu pada dirinya di tempat tanpa air? Ia meruncingkan daunnya hingga menjadi duri. Dalam duri-duri itulah ia melakukan proses fotosintesis, dan ia bertahan hidup dengan menyimpan air pada batangnya.

Masih terdapat sangat beragam dan jutaan tanaman yang hidup-matinya bergantung pada air, sebagaimana manusia yang berakhlak mulia dalam kemanusiaannya dan binatang dengan perikebinatangannya.

Jika air menjadi kebutuhan vital, mengapa orang tidak memeliharanya? Di Pah Amarasi (dan mungkin Pah Meto'/Tanah Timor), orang menggunakan terminologi aplikatif, hau goe uun oe je matan (http://infontt.com/opini/hau-goe-uun-oe-je-matan/). Di sana para leluhur selalu mengkhususkan setiap area di sekitar sumber-sumber air agar tetap terpelihara habitat itu. Mereka membiarkan pepohonan tumbuh dalam radius tertentu. 

Sayangnya modernisasi dengan produk teknologi yang mempekerjakan alat bermesin telah menjadi penggila yang membabatrobohkan dan menggilas habis pepohonan pelindung sumber-sumber air. Tapi, pada saat yang sama tangan-tangan yang memegang kendali produk teknologi itu justru menadahkannya di sumber-sumber air itu untuk menyuap dahaga mereka.

Hau, kayu dalam konteks indiom yang disasar oleh tulisan ini, kayu dahan atau ranting kering. Di kampung-kampung (mungkin masih juga di sebahagian orang perkotaan) orang menggunakan kayu kering sebagai bahan bakar. Di tungku, api dapat dinyalakan bila ada kayu ranting/dahan kering. Nyalanya akan makin besar dimana di atasnya orang menempatkan tempat memasak sesuatu agar dapat dinikmati sebagai satu insan individu atau satu kehidupan bersama (regu, tim, keluarga, dan lain-lain).

Betapa pentingnya bahan bakar kayu (dahanr/ranting kering) (bbkk) sehingga orang harus mencarinya, mengumpulkan, memanggul agar dapat dibawa ke rumah. Di sana orang akan menghemat pemanfaatannya agar tenaga dan waktu tidak selalu diarahkan untuk mencari bbkk itu.

Api yang dibutuhkan dengan memanfaatkan bbkk itu memberikan kehangatan dan hal lain yang berharga yaitu sejumlah masakan yang telah melalui proses di tungku perapian dimana bbkk itu turut andil menjadikan segala sesuatu itu indah.

Kehangatan selalu diharapkan orang ketika udara di sekitar dingin menyengat kulit. Sebaliknya ketika udara di sekitar menyebabkan kegerahan dan kepanasan, orang membutuhkan nuansa kesegaran yang menjadikan mereka menjadi bugar rasa dan raga. Nuansa itu hanya dapat terjadi bila ada pepohonan. Pepohonan, keberadaannya bukan sekedar untuk dimanfaatkan batang besarnya untuk kepentingan membangun sesuatu bangunan dari yang bersifat sederhana, semi kompleks dan teramat kompleks. Pepohonan telah disediakan sedari awalnya untuk menjadi penyeimbang udara, penangkar air, dan penghisap racun yang dilepaskan di udara oleh makhluk hidup lain (manusia dan binatang). 

Jika demikian, bukankah pepohonan dalam ragam jenis dan keberadaannya di habitatnya masing-masing sangat berguna?

Orang di kampung mencari kehangatan pada malam hari dengan menyediakan api unggun. Mereka duduk mengelilingi api unggun, berdiang dan bercanda, atau akan menjadi lebih berkualitas bila peluang itu dapat dimanfaatkan untuk bercerita antara orang tua dan anak-anaknya.

Makna Cinta dalam Rumah Tangga berdasar idiom Oe-Hau

Ketika menulis artikel ini, saya tempatkan idiom itu di dinding akun feisbuk Tateut Pah Meto'. Saya memintakan diskusi dari para Feisbuker. Beberapa di antara mereka memberikan pendapatnya. Suatu diskusi dalam jaringan yang bermanfaat, walau tidak seluruh pendapat mesti disebut sebagai pendapat yang logis atau mungkin juga di luar nalar. Pendapat seseorang haruslah dapat dihargai dalam suatu diskusi dengan memperhatikan pokok permasalahan yang sedang didiskusikan sehingga tidak membias kemana-mana. Bila terjadi bias, akan menyebabkan ide pokok menjadi bias pula dan kaburlah tujuan diskusi yang bermakna.

 Johny Tiran Clemenz dalam kolom komentar memberikan tanggapan seperti ini. (Catatan, Penulis mengoreksi tata tulis yang baik dalam Bahasa Amarasi dan Bahasa Indonesia)

Istilah Oe je 'soe'n aa ma hau goe mnatin didapati saat proses pernikahan adat Amarasi..Bagaimana ceritanya?
Dalam proses perkawinan adat Amarasi, ada dua jenis yaitu:

1. Bifee Tunaf ma Fnao (masih gadis)
2. Bifee Oe Hau (janda, atau hamil mendahului proses nikah adat)..
Dalam prosesnya pun agak berbeda, misalnya untuk Bifee Tunaf Fnao, ada satu proses yaitu Tasanu' na'ko Ainf ee aifn aa ma ainf ee skaun (harfiah : menurunkan dari pangkuan dan gendongan ibu), sedang bifee Oe-hau tidak menggunakan tahapan ini.


Mengapa disebut Bife Oe Hau?
Karena, sin maktefan et oe je soe'n ee ma hau goe mnaitn ee" (harfiah : mereka bertemu di mata air, tempat menimba air dan di hutan tempat mengambil kayu api).


Ini bisa saja krna si perempua adalah janda, atau bisa juga karena terlanjur hamil sebelum nikah adat..
Tentu saja akan ada denda bagi si laki-laki kalau ternyata perempuan tersebut hamil. Denda tersebut berupa tabarab umi sniti ma ropo sniti (harfiah : memperbaiki kembali rumah yang miring dan rusak).. dendanya relatif, tergantung kesepakatan kedua pihak dan pmrintah/tua adat.

Sedangkan apabila si perempuan yang hamil tadi dan melahirkan anak sebelum proses nikah adat maka ada juga semacam ganti rugi kepada pihak orang tua perempuan yaitu Oe maputu ma ai marara (harfiah : air panas dan api panas berarang). Ini karena orang tua perempuan yang bersusah payah dan mengurus waktu proses persalinan tersebut.

Dalam hal pihak laki-laki tidak mau mengganti rugi, maka anak yg dilahirkan tersebut menjadi milik orang tua perempuan dan ikut marganya.Inilah yang disebut oe ma maka' na'aaf.


Demikian kira-kira sedikit dari banyaknya hal yang menyangkut hukum adat perkawinan pada masyarakat Pah Amarasi.

Pernyataan Johny Tiran Clemenz saya kutip lengkap oleh karena informasi yang disampaikannya penting untuk menjadi pengetahuan pada zaman ini. Zaman dimana nilai-nilai budaya yang terinternalisasi mulai bergeser dalam implementasinya. Hal ini tidak berarti pergeseran itu tidak penting sehingga segala hal di zaman lampau harus dipertahankan dan dilestarikan. Hal-hal yang harus dipertahankan adalah rasa hormat pada golongan orang yang terkaitpaut dalam suatu urusan perkawinan menurut hukum adat perkawinan.

Dalam hal urusan rumah tangga berdasarkankan cinta oe-hau, saya berkerinduan untuk membuka dan memberi makna baru padanya. Kita tidak sedang terpaku pada penjelasan sebagaimana yang disebutkan oleh Johny Tiran Clemenz. Semua yang disampaikan olehnya tidak seluruhnya ada dalam implementasi masa ini. Sebahagian orang mulai melakukan adaptasi-adaptasi pada hal-hal yang sifatnya sederhana untuk memberi ruang dan makna baru pada urusan perkawinan.

Berikut ini sedikit ruang dan makna baru yang saya maksudkan.

Oe-hau sebagai sesuatu yang menghidupan. Bila merujuk kepada fakta pentingnya air dan api, bukankah keduanya punya peranan penting dalam satu rumah tangga? Dimanakah rumah tangga yang tidak membutuhkan air. Mari kita pelajari sedikti sifiat-sifat air dan api.

  • Sifat-sifat Air

Beberapa sifat air seperti di bawah ini, http://akangguruku.blogspot.com/2014/05/sifat-sifat-air.html

  1. Menempati Ruang
  2. Mempunyai berat
  3. Permukaan tenang dan selalu mendatar
  4. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah
  5. Melarutkan beberapa zat
  6. Menekan ke segala arah
  7. Meresap melalui celah kecil
  8. Menekan ke segala arah.

Bila kita menganalogikan bahwa dalam satu rumah tangga ada air sebagai cinta itu, tidakkah kita akan berkata bahwa cinta menempati ruang hati, yang oleh karena ia mempunya massa jenis (berat) maka ia akan disimpan di dalam hati pemilik cinta itu. Dalam area tersimpan itu ia bekerja sedemikian rupa hingga nampak di permukaan (wajah) ada ketenangan. Ia akan selalu merendah (rendah hati) sehingga tidak menunjukkan kesombongan dan kepongahan yang menganggap dirinya lebih baik daripada yang lainnya. Cinta yang disimpan di dalam hati itu akan melarutkan masalah-masalah kehidupan rumah tangga. Ketika ia melewati celah kecil permasalahan komunikasi  sekalipun, ia dapat melegakan mereka yang dilewati, dan menekan masalah untuk dibuang ke arah yang lain, sambil berharap di sana ada kelegaan karena dahaga cinta di bagian itu dapat dihapuskan.


  • Sifat-Sifat Api
Adakah di antara kita yang mengetahui kapan api ditemukan? Bila kita bertanya secara tiba-tiba orang akan menjawab sekenanya saja. Lalu zaman digitalisasi ini mengantar kita untuk bertanya pada otak artifisial yang bernama mesin pencari di antaranya, Gugel. Ia akan memberikan jawaban itu kepada kita walau harus dikonfrontir dengan hasil-hasil penelitian yang akurasi dan validasinya tidak diragukan. Dalam hal ini saya pun tidak ingin berandai-andai.

Zaman purba dimana orang belum tiba pada masa sejarah, orang telah menemukan api. Ketika makhluk manusia sebagai makhluk nomaden, ia berpindah-pindah tempat untuk mencari dan menemukan makanannya. Di setiap tempat mereka akan berusaha untuk berteduh dari sengatan teriknya panas matahari atau mencari tempat yang memungkinkan mereka mendapatkan kehangatan di dalam gua ketika mereka kehujanan sehingga kuyup tubuh mereka.

Manusia purba Neanderthal pertama kalinya menggunakan api (https://sains.kompas.com/read/2018/07/20/). Informasi tentang hal penemuan api oleh manusia pada mulanya simpang siur. Ada pula yang menyebutkan bahwa sudah 250.000 tahun lampau telah ditemukan api oleh orang Afrika (brainly.co.id). Manakah yang paling tepat, bukan itu yang harus dipersoalkan di dalam tulisan ini.

Api, suatu unsur yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia. Kebutuhan paling mendasar di antaranya untuk menghangatkan ruang atau area terdekat dimana manusia itu berada. Kehangatan diperlukan pada semua orang yang merasa ada nuansa dingin di sekitar lokasi/area kehidupan kaum dan komunitas.

Api, selain dibutuhakn untuk kehangatan itu, ia diperlukan pula untuk kepentingan besar pada masa berladang. Pepohonan ditebas, area perladangan dan perkebunan akan dengan mudah menjadi bersih bila dibakar. Proses ini perlahan mulai dihilangkan walau masih ada di antaranya. Membakar kesiapan lahan untuk menanam merupakan cara terbaik ketika harus mengenyahkan pepohonan dan ranting-ranting kering di dalamnya.

Api, dibutuhkan manusia untuk memanggang dan memasak makanannya. Bahwa terdapat sejumlah makanan yang dapat dimakan secara langsung, namun sejumlah makanan lain pun harus dibakar/dipanggang atau dimasak terlebih dahulu sebelum disajikan untuk menjadi makanan di meja hidangan dengan segala aksesori pembangkit selera makan.

Nah, bagaimana dengan cinta yang mesti ditumbuhkembangkan dalam rumah tangga yang menggunakan "api" sebagai penghangatnya?

Seringkali orang menggunakan frase, api cinta sedang membara. Apakah frase seperti ini sudah mendeskripsikan kehangatan dan kenikmatan bercinta? Setiap orang dapat saja memberikan persepsi dari sudut pandang berbeda terhadap api cinta yang membara.

Satu hal patutlah diingat, cinta yang dimiliki setiap insan, selanjutnya bila dipasangkan antarsesama pemberi dan penerima cinta, terutama pada pasangan kekasih bakal suami-isteri, cinta itu bagai api. Ia dapat "menghangatkan" dan juga dapat "membara dan membakar". Kehangatan yang diberikan akan memberi nuansa keindahan dimana secara psikologis penikmatnya akan merasakan kenyamanan tiada terhingga. Sementara bila cinta telah "membara dan membakar" nuansa psikologisnya di sana tumbuh keberanian. Keberanian itu nyata pada dua insan sebagai pasangan kekasih.

Keberanian yang dilandasi cinta menjadi acuan untuk menyampaikan kepada para orang tua bahwa keduanya telah bersepakat untuk menjalin hubungan sebagai suami-isteri. Mereka telah dewasa baik fisik dan psikis untuk menjalani hidup dan penghidupan rumah tangga dengan segala aspeknya yang "naik-turun" bagai ombak di pantai yang tidak selalu tenang-tenang saja, tetapi sewaktu-waktu dapat saja menerjang hingga memukul karang-karang pantai.

Penutup

Cinta diterima insan ciptaan sang Khalik, Kreator Agung. Cinta itu dibenamkan di dalam sanubari, di kedalaman hati. Ia dapat diumbar secara serampangan pada mereka yang suka mengumbarnya hingga menghayutkan mereka bagai banjir (air ~ oe), dan membakar mereka bagai kebakaran (api ~ ai). 

Cinta yang diterima insan kreasi dari sang Kreator Agung itu begitu indahnya hingga simbol-simbol cinta utama itu diambil dari organ tubuh manusia yaitu jantung (bukan hati). Jantung yang berdetak kencang ketika pertama kali menyatakan cinta pada dia yang dicintai. Ketika untuk pertama kalinya jatuh cinta, Adam berkata, "Inilah dia tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku!" Suatu pernyataan bernada puitis. Selanjutnya keduanya penikmat cinta pertama itu melewati hari-hari indah di dalam Firdaus dimana mereka ditempatkan.

Cinta itu yang bagai air dan api itu ketika disatukan, tentulah air akan memenangkan api. Tetapi, apalah artinya air bila tanpa api ketika insan membutuhkan air hangat atau air panas? Apalah artinya air bila hendak dibekukan bila tanpa api (listrik)? 

Jadilah pemilik cinta yang mewujudkan unsur-unsur positif dari air dan api dalam rumah tangga, dan lingkungan pergaulanmu.


Koro'oto, 20 September 2020
Heronimus Bani  



Komentar

  1. Lengkap akurat.dan.perlu didokumentasikan dan dikomunikasikan. Semangat menggali dan.mengabadikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah mampir membaca blog ini. Blog ini saya khususkan untuk hal-hal yang sifatnya kebudayaan terancam punah. Mari Menulis

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya