Muah ate kais Mukraeb

 Muah ate kais Mukraeb 



Pengantar

Judul pada tulisan ini saya kutip dari nasihat ibu atau ayah dari setiap rumah tangga di dalam masyarakat Pah Amarasi. Bila berhadapan dengan makanan di piring, selalu ada yang mengingatkan, makanlah hingga selesai, jangan sisakan di piring (muah ate kais mukraeb). Nasihat dan sekaligus peringatan sederhana. Lalu apakah ada pesan di dalamnya? Saya tangkap sepenggal pesan di dalamnya. Itulah sebabnya saya merasa perlu menulis di sini.

Uraian Linguistik secara Singkat

Kalimat pada judul di atas dapat diurai sebagai berikut

Kalimat itu diucapkan oleh orang pertama tunggal yang ditujukan kepada orang kedua tunggal. Implisit pada kalimat itu subjek orang kedua tunggal, ho - kau - engkau - kamu. Bagaimana kita mengetahui bahwa kalimat itu ditujukan kepada orang kedua tunggal? Perhatikan kata kerjanya muah dan mukraeb. Pada kedua kata ini tersirat subjek ho orang kedua tunggal. Jadi nasihat itu ditujukan kepada orang kedua tunggal.

Bagaimana jika ditujukan kepada orang kedua jamak? Orang kedua jamak hi - kamu. Nasihat itu akan menjadi miah ate kais mikraeb. Kalimat itu bila diucapkan oleh seseorang di dalam kelompok mereka sendiri, ia akan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak,   hit -  kita. Kalimat itu akan menjadi taah ate kais takraeb - kita makan jangan sisakan. Kalimat ini mengindasikan bahwa pada kelompok orang itu, mereka saling mengingatkan dan menasihati agar tidak menyisakan makanan di piring.

Adakah implikasi pesan pada kalimat sederhana yang hanya mengingatkan dan menasihati agar tidak menyisakan makanan di piring alias makan sampai tuntas?

Pesan sosiologis

Masyarakat Pah Meto' bekerja sebagai peladang (tani lahan kering) dan peternak. Ada kalangan yang beternak sebagai sambilan, tetapi sebagai peladang berpindah itu sudah budaya walau zaman ini bergeser pola pikir dalam hal bertani. Masyarakat Pah Amarasi khususnya ladang berpindah sudah secara perlahan mulai ditinggalkan. Pendekatan bertani secara intensif pada lahan sempit makin trendy. Berbeda dengan masyarakat peladang masa lampau. Mereka akan berpindah tempat sehingga membutuhkan tenaga ekstra pada semua proses berladang itu. Maka, makanan yang diperoleh akan disebut usi mnahat. Sebutan yang demikian itu menempatkan makanan bagai tuan yang patut dihargai dan dihormati. Sebutir jagung atau padi yang sampai di dalam piring, merupakan hasil kerja keras dalam satuan waktu tertentu. Maka ketika disajikan, harus dimakan sampai selesai. Piring bersih. Bila ada bekas makanan di piring, itu membuktikan bahwa ada yang sudah menikmati secara baik dan telah pula mengenyangkannya. Sebaliknya bila orang yang makan tidak menuntaskan maka dianggap tidak menghormati Sang Tuan Makanan, tidak pula menghargai keringat dan kelelahan peladang. 

Ayah dan ibu sebagai peladang memberi pesan dan nasihat itu agar anak-anak menghormati kerja keras mereka. Anak-anak yang mengangkangi pesan dan nasihat ini akan mendapatkan ganjaran. Misalnya, akan mendapatkan jatah makan yang dikurangi atau bahkan tidak mendapat jatah makan bila sering melakukan apa yang disebut kraeb. Sementara anak yang makan hingga tuntas, bila dalam pengamatan orang tua terbukti anak itu bukan saja menghormati dan menghargai makanan tetapi juga kelelahan orang tua, maka ia akan mendapat jatah makan lebih pada giliran makan di waktu yang lain. Bahkan bila anak yang makan hingga tuntas dibarengi kerja keras yang memuaskan, orang tuanya akan memberikan apresiasi tertentu yang tidak disadari anak. Biasanya pada saat Natal, anak yang demikian akan mendapat hadiah dari orang tuanya.

Anak yang makan tuntas, bila ke pesta dimana disuguhkan makanan, ia tidak akan mengambil melebihi takaran makan yang biasanya ia lakukan di rumah. Ia akan mengambil jatah secukupnya agar tuntas tanpa tersisa di piring. Pemilik pesta merasa dihormati dan dihargai karena makanan yang disiapkan dinikmati hingga tuntas. Sebaliknya anak yang makan dengan menyisakan (kraeb) maka, di tempat pesta, ia akan mengambil lebih banyak atau sedikit sekalipun, sangat sering akan ada sisanya di piring. Para petugas cuci piring akan mencomel karena makanan sisa yang terbuang. Petugas dapur (ibu dapur) kecewa karena kelelahannya menyiapkan dan menyajikan tidak dihiraukan. 

Bagaimana bila hal ini kita pelajari di dunia sekuler dimana pembangunan infrastruktur menjadi sorotan di segala lini dan masa? Di dalam hal yang demikian kita mungkin perlu menyebutnya sebagai pesan politis. 

Akh... .


Pesan Politis

Masyarakat Pah Amarasi mengenal satu idiom mepu kraeb. Idiom itu kini dikenal publik Indonesia dengan satu kata mangkrak, atau terbengkalai. Kita menyaksikan program yang diproyekkan untuk menghasilkan infrastruktur kebanggaan. Infrastruktur yang memudahkan kegiatan masyarakat. Infrastruktur yang menjadi tolok ukur majunya peradaban masyarakat. Di antara program pembangunan infrastruktur yang diproyekkan itu bila tidak selesai dikerjakan,maka masyarakat Pah Amarasi akan menyebutkannya dengan istilah mepu kraeb. (Bila Anda yang sedang membaca artikel ini berasal dari pengguna bahasa Amarasi, mungkin Anda menyadari). 

Di dalam masyarakat Pah Amarasi pada masa pemerintahan Swapraja, tidak berlaku mepu kraeb. Pekerjaan harus tuntas seperti seorang anak yang diingatkan orang tuanya agar makanan di piring harus dimakan hingga tuntas. Bila makanan itu tidak tuntas yang disebut mnaah akraeb dimakan, siapakah yang akan memakannya? Orang tua. Ya, orang tua atau kakak akan makan jika makanan itu disisakan oleh anak (adik) yang belum paham makna menghargai dan menghormati keringat dan kelelahan. Pada anak yang sudah memahami makna itu, makanan sisa akan menjadi masalah padanya.

Lihatlah bagaimana proyek mangkrak mendapatkan sambutan opini di tengah masyarakat. Bila analogi bahwa masyarakat sebagai orang tua yang memberikan "makanan" pada pengelola negara (daerah dan desa), masyarakat manakah yang dengan sukacita menerima produk mangkrak alias mepu kraeb? Bukankah hal itu justru berdampak pada pengelola karena akan berakibat hukum, pada sisi yang sama masyarakat pembayar pajak dirugikan. Pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan berbagai program pemerintah dipastikan menggunakan pajak yang dihimpun dari masyarakat wajib pajak. 

Orang dapat berkelit bahwa pemerintah dapat melakukan hutang untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan realisasi program-program lainnya. Lalu kita bertanya, bagaimana membayar hutang? Tidakkah ada di antaranya dengan menggunakan pajak?


Muah ate kais mukraeb, mmepu te kais mukraeb

Demikian sepenggal refleksi ketika makan malam. Saya teringat pesan ayah (asaenenot-almarhum). Refleksi ini saya bawa dalam penggalan tulisan. Saya tempatkan di blog ini untuk mengingatkan diri dan menginspirasi pembaca. Semoga


Koro'oto Pah Amarasi, 5 Maret 2022

herobani68@gmail.com



Komentar

  1. Syalim.
    Uraian yg bagus dan luar biasa. Mks
    Maaf, bt tambah sadiki ttg kosa kata "makan" dlm bahasa Atoni sehari-hari (Amarasi, Amanuba, Amanatun, Amfoang, Mollo).
    1. Org I tunggal: uah, euk
    2. Org I jamak: tah, teuk
    3. Org II tunggal: muah, meuk
    4. Org II jamak: miah
    Itu saja yg bt tambah. Maaf kalo bt kaliru.
    Tuhan berkati.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya