Niut-sae dalam Budaya Atoin' Meto sebagai Penyakit Budaya Religi

Niut-Sae dalam Budaya Atoin' Meto' sebagai Penyakit Budaya Religi


Pengantar

Niut-sae merupakan satu istilah yang familiar di telinga di kalangan etnis Timor. Kejadian niut-sae biasanya terjadi ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Pada saat tertentu dalam masa berduka, seseorang anggota keluarga akan mengalami gejala niut-sae. Bahkan hal itu sering terjadi sesudah masa berkabung berakhir dan sewaktu-waktu anggota keluarga tertentu akan mengalaminya.

Artikel pendek ini hendak mencoba mengurai apa dan bagaimana niut-sae sebagai budaya nir-ide kreasi padanya. Ia ada dalam budaya tetapi tidak dikreasikan oleh masyarakat berbudaya.

Konsep Niut-Sae dalam Kehidupan Budaya Atoin' Meto'

Bila menyebut niut-sae imej orang tertuju kepada orang yang kerasukan "setan". Apakah begitu? Jawabannya, tidak selalu begitu. Orang Timor, dalam anutan kepercayaan lama yang disebut Re'u di sana ada keyakinan bahwa orang yang meninggal dunia dan rohnya disebut nitu.   Artinya, jenazah (aof amates, ta'uf amates, uismina') yang kelihatan namanya nitu, dan roh (smanaf) yang keluar dari dalam tubuh namanya sama nitu juga. Jenazah akan dikuburkan, dan rohnya akan hidup selama-lamanya di alam lain. Roh yang demikian itu akan pergi dengan dituntun oleh roh dari seekor anjing penuntun jalan dan obor yang dinyalakan dengan sumber api dari gambar totem di tubuhnya.

Mengapa roh seekor anjing yang akan membawa nitu ke alam lain? Karena diyakini bahwa seekor anjing tidak akan pernah tersesat jalannya. Ia sekalipun berjalan jauh, ia akan kembali kepada tuannya, ke rumahnya, tempat kediamannya. Ketika ia tiba di tempat kediamannya, ia akan mengibas-ngibaskan ekornya kepada tuannya. Ia akan memanjakan dirinya pada tuannya. Roh anjing yang demikian itulah yang menuntun roh tuannya kembali ke alam lain, alam dari mana asal muasal mereka sebagai makhluk hidup yang hidup dalam alam kasar yakni, dunia dengan segala trik dan intrik di dalamnya.

Anjing yang semula hidup, dipukuli hingga tewas ketika mereka membawa jenazah (nitu) dari seseorang yang meninggal dunia. Sebaiknya anjing yang ditewaskan itu merupakan anjing kesayangan, anjing yang selalu hidup bersama dengan nitu itu sehingga akan lebih mudah dalam perjalanan mereka ke alam lain. Jasad/bangkai anjing itu kemudian ditempatkan pada sebatang pohon yang disebut 'nuuk-ba'i. Itulah sebabnya, bangkai anjing pada masa lalu hingga masa kini bila orang memelihara anjing dan anjingnya sakit, hingga mati, bangkainya ditempatkan di pohon itu. Sebutan kepada anjing hidup secara kasar yakni sroa-'nuuk-ba'i. Artinya, yang ditempatkan di pohon 'nuuk-ba'i. Rohnya kemudian berangkat bersama-sama dengan roh tuannya ke alam lain.

Nitu yang hidup di alam lain itu dapat saja kembali untuk melihat-lihat atau lebih keren lagi mengobservasi kehidupan orang-orang yang masih hidup di alam kasar. Jika perlu, sebelum berangkat ke alam lain itu, ia merasa perlu untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada mereka yang masih hidup. Penyampaian pesan-pesan penting itu dilakukan saat jenazahnya (nitu, aof-amates, ta'uf amates, uismina') masih ada pada masa berkabung. 

Dalam pada itulah nitu masuk ke dalam raga atau tubuh seseorang atau beberapa orang. Proses masuk itu disebut niut-sae, artinya secara harfiah, setan naik. Alam lain yang dimaksudkan itu posisinya tidak sejajar dengan alam kasar. Nitu itu akan pergi ke alam lain yang berada di bawah alam kasar ini. Di sana ia akan hidup selama-lamanya, entahkah kehidupan di sana seperti apa? baca: https://uminiibaki.blogspot.com/2022/02/kehidupan-seperti-apa-di-balik-sana.htmlSatu yang diyakini, posisi klasifikasinya yakni berada di bawah sehingga ia perlu "naik". Ketika ia naik, ia masuk ke dalam tubuh orang lain sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada mereka yang hidup. 

Orang yang kepadanya nitu nsae, orang itu disebut Aniut-saes, (aaz-Kotos) Kaniut-saes. (aaz-Ro'is).

Menghalau Niut-Sae

Bila kita bertanya, perlukah niut-sae dipelihara dan dilestarikan? Tidak! Kita tidak membutuhkan niut-sae sebagai budaya religi. Jika kita memelihara budaya ini sebagai bagian dari kehidupan dalam masyarakat dan dalam keimanan (religious), maka kita sedang berada dalam penyakit budaya religi. Mengapa?

Bila orang terus berada di dalam keyakinan seperti itu, ia menaruh harapannya hanya kepada roh orang mati, nitu dan akan selalu berpaling kepadanya. Orang tidak peduli akan Tuhan yang diyakini lebih berkuasa atas nitu manapun. Itulah sebabnya saya menyebutkan hal ini sebagai penyakit budaya religi.

Orang yang meyakini secara utuh akan adanya pesan-pesan baik dari nitu yang datang dan masuk, nsae pada seseorang, akan makin terperosok ke dalam kehidupan keagamaan yang gamang. Pada satu sisi yang terlihat secara formal beragama, tetapi nuansa keimanannya berada di simpang antara Tuhan dan nitu, roh orang mati.

Sementara itu dalam kehidupan bermasyarakat, hal seperti ini selalu saja ada. Mengapa ada? Karena orang meyakininya sebagai sesuatu yang benar-benar ada di tengah-tengah masyarakat. Nitu, roh orang mati tidak pergi jauh-jauh, padahal mereka telah mengantarkannya sampai di "pintu" menuju ke alam lain. Di pintu itu mereka menempatkan "roh" dari seekor anjing penujuk jalan yang akan membawanya ke tempat lain. Keyakinan bahwa nitu, roh orang mati itu tidak pergi jauh, menjadi sebab ia kembali.

Dapatkah ia dihalau?

Nitu  yang masuk ke dalam tubuh seseorang (nsae) dapat dihalau. Ia tidak boleh dibiarkan berada di dalam tubuh seseorang untuk dijadikan wadah saluran pesan yang dapat saja membuat kebingunan, kecemasan, bahkan sakit hati hingga dendam. Ia tidak dapat memberi penguatan iman, ia justru memberikan ketidakpastian iman. Maka, ia harus dihalau.

Menghalau nitu yang nsae pada seseorang bukan dengan menempatkan sesuatu pada tangannya, atau tapak kakinya, ujung ibu jari kakinya. Justru menempatkan sesuatu itu menjadi peluang padanya untuk memanfaatkan kondisi itu agar ia makin lama tinggal di dalam wadah yang dimasukinya, yakni tubuh seseoang. Ia harus segera dihalau. Mengahalaunya pun tidak boleh dengan keraguan. Orang yang mampu menghalau niut-saes, mestilah orang yang kuat dan teguh hatinya, kuat dan teguh keyakinannya. Bukan peragu, bukan seseorang yang bingung dan cemas. Ia mesti dapat berbicara secara tegas, tanpa keraguan sedikit pun. Nitu-saes itu akan segera keluar dari wadah yang dimasukinya.

Penutup

Niut-saes ~ nitu yang naik pada seseorang sesungguhnya tidak patut untuk ada di sekitar kehidupan sosial masyarakat dan kehidupan sebagai orang beragama. Faktanya, hal ini selalu ada dan menjadi pengganggu kenyamanan hidup bermasyarakat, sebab ia dapat saja memberikan pesan-pesan yang meninggalkan kesan buruk pada sesama. Kemudian sesama saling mencurigai, mendendam, hingga harmoni persaudaraan dan kekeluargaan terganggu. 

Nius saes - nitu yang naik pada seseorang sesungguhnya tidak patut diyakini dalam iman kaum beriman, kaum ber-Tuhan dalam agama semawi. Bila hal itu terjadi, baiklah mengujinya dalam Roh dan kebenaran agar tidak terjebak dalam pencobaan Iblis.


Lasiana, 22 Juni 2022
herobani68@gmail.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya