Kisah Pesta dari TPU
Kisah Pesta dari TPU
Kisah belaka. Suatu hari, di satu area
tempat pemakaman umum. Para smanaf yang hidup di area itu berdendang riang
dalam pesta di permukaan bumi yang disebutkan orang hidup sebagai TPU. Para Smanaf
adalah roh-roh yang masih menunggu persetujuan berangkAN alias masuk daftar
tunggu kloter berikutnya. Sambil menunggu nama kloter dipanggil malak, mereka
melakukan apa yang pernah mereka lakukan di permukaan bumi ketika masih sebagai
manusia.
Di pesta hari itu:
ada kegiatan melihat-lihat sofi.
Ada yang duduk minum moke plus berjenis
sopi.
Ada yang menikmati kopi.
Ada yang menyegarkan smanaf dengan soft
drink.
Mereka yang datang kemudian, melakukan
selfi.
Olahragawan atau atlit tidak ada cara
menarik lain, jadi salto saja.
Smanaf dari tentara dan polisi melakukan
salvo.
Sementara smanaf politisi dan birokrat
calon politisi buat slogan.
Sastrawan mencari pinsil untuk menulis
sya’ir,
dan penyanyi rindu tampil kembali
sebagai seleb,
pelaku media sosial mau menjadi
selegram.
Pelacur dan pelakor bertelanjang dada
sambil melakukan vlog.
Sejuta hal dilakukan di sana menurut
kebiasaan hidup.
Semuanya melakukan apa yang boleh
disebutkan sebagai reactivity atau reactivities di seberang sana yang tidak
kelihatan kasat mata manusia, kecuali orang yang disebutkan dalam bahasa lokal mata tboran, mata tembus alam lain.
Ketika pesta sedang berlangsung,
berbondong-bondong orang membawa satu keranda jenazah.
Ada tangis mengiringi,
ada tawa bergirang,
ada emosi tertuang,
ada galau menghadang,
ada duka mengambang,
ada rindu yang tumbang.
Ada kasih yang digantung.
Ada kata dari bibir penguasa kota.
Ada akta iman dari imam.
Hening?
Tidak!
Para smanaf berangkat beramai-ramai
membawa semua perlengkapan menyambut dANangnya smanaf baru. Setelah keranda
jenazah diletakkan di liang lahat, imam memimpin ritual subat. Merdunya
nyanyian dari suara-suara sumbang di bibir jurang kecil mengiringi do’a imam.
Bunga mengharum di sekitar udara TPU. Jurang kecil ditutup dengan beton
bersemen, meninggalkan rongga pemberi ruang pernapasan rupanya.
Ritual selesai. Para smanaf bergirang atas
pertambahan jumlah di sana. Petugas stANistik di kalangan mereka segera mencatat
untuk masuk dalam kloter terakhir berhubung ia baru tiba. Ia melaporkan diri
bernama Ama ‘Naek berasal dari Pah Meto’, suku Atoni’.
Berikut dialog petugas statistik yang
bernama Bil Angan (BA) dengan Ama ‘Naek (AN)
BA
:
“Siapa nama anda?”
AN
:
“Ama ‘Naek.”
BA
:
“Ama ‘Naek. Anda dari suku apa
ketika masih di permukaan bumi?”
AN
:
“Aku suku Atoni’”
BA
:
“Ya. Suku Atoni’ ada anak sukunya.
Anda anak suku apa?”
AN
:
“Anak suku Amnasi’.”
BA
:
“Yang benar, kau sudah mati badan,
sekarang sisa smanaf mau tunggu kloter berangkat, jangan menipu! Tapi, ya,
tidak apa-apa. Biarlah, itu sudah sifatmu yang kami ketahui juga sebagai
petugas stANistik. Sebagai suku Atoni’ kamu makan apa dan minum apa?”
AN
:
“Makan peen mate’ dan minum oe mate’.”
BA
:
“Kamu sudah di kuburan pun masih
berbicara seperti itu. Kamu makan apa? Dan minum apa ketika masih di
permukaan bumi!”
AN
:
“Peen meto’, makanan kami suku Atoni’.
Olah jadi peen bose. Sering sekali jadi peen tutu’. Ada juga jadi peen temef.
Kamu mau saya buat cerita apa lagi? Minum oe mate’, sesekali buat jadi oef
campur daging fafi. Kalau rasa hebat oef campur siis bijae ada yang bilang
sisi bjae. Kau mau apa? Kadang minum tua mina’ deng tua mafu sampai duduk
tuamauf di tempat. Sering juga minum boen oef. Semua namiin.”
BA
:
“Makanya kamu sampai di sini
sama-sama dengan kami yang sedang tunggu kloter berangkAN. Baik. Selamat
bergabung.”
Lonceng terdengar berbunyi. Ternyata
smanaf dari koster yang menabuhnya. Semua smanaf berkumpul. Mereka mengadakan
konferensi smanaf. Pemimpin konferensi disebut dalam bahasa mereka Konofraa’. Matanya
merah menyala seperti bara api. Hawa yang keluar dari mulutnya panas. Suaranya
bagai mengantar panas ketika terdengar di telinga.
“Saudara-saudara. Hari ini kita kedatangan
satu smanaf lagi. Dia orang penting. Mari kita sambut Ama ‘Naek dengan tepuk
tangan yang paling meriah dan tos.”
Mereka bertepuk tangan sambil
melakukan tos. Tos dengan ‘koma’ berisi oe mate’, gelas teh, cangkir kopi, soke
sopi, dan lain-lain. Tidak lupa ada yang mengantarkan tempat sirih-pinang pada Ama
‘Naek.
“Saudara-saudara. Berhubung Ama ‘Naek
orang penting, pasti kuburannya akan dipoles dengan teramat indah, rapih dan
megah. Rumahnya pasti amat besar sehingga akan menghalangi setiap upacara
pemakaman di sini. Lihat saja, bulan lalu seorang petani miskin yang dikuburkan
di sana itu. Namanya Taintoson. Tapi, hari ini nisannya luar biasa. Ketika
hidup, hidupnya tidak karuan. Tapi, hari ini, kuburannya dijagai Yesus. Yesus
yang angkat tangan memberkati yang menjaga kuburannya. Lubang kubur yang
panjangnya dua meter dengan lebar 1,50 meter. Area itu ditambah lagi, sehingga
Taintoson berkuasa atas area seluas tiga meter kali empat meter. Rumahnya bertiang
beton. Padahal di permukaan bumi sana, isteri-anaknya tinggal di rumah yang
dibangun atas bantuan pemerintah pusAN melalui program satu juta rumah.”
“Jadi, saudara-saudara. Kita tunggu
saja. Pasti Ama ‘Naek punya lebih dari Taintoson.”
Ama ‘Naek merasa tersinggung.
Ia berdiri dan berkata, “Saudara-saudara.
Sekalipun aku terkenal di permukaan bumi. Aku seorang pejabat. Tapi biarlah
kuburan dan batu nisanku dibuat seadanya. Aku telah berpesan agar tidak makan
tempat seperti tempatnya Taintoson. Aku bukanlah seperti yang dikatakan oleh saudara
Konofraa’ yang mulia. Aku punya harta untuk kepentingan mereka yang masih
hidup. Aku yang tersisa smanaf ini tidak butuh itu semua. Ini saja. Terima
kasih. Sebaiknya, konferensi ini bubar. Jikia perlu kembali ke kloter
masing-masing.”
Terdengar lonceng panggilan kloter
berbunyi. Ama ‘Naek dipanggil. Ia diperbolehkan masuk ke kloter yang akan
segera berangkat. Ia termasuk dalam golongan pelaku kalam yang benar.
Terjadi perdebatan di antara para
smanaf. Bagaimana mungkin. Dia Ama ‘Naek yang tidak tulus ketika menjadi pejabat.
Perdebatan dihentikan, ketika Ama ‘Naek turun dari kendaraan yang akan membawa
rombongan kloter itu. Ama ‘Naek hendak memberi salam pada semuanya. Ternyata,
keberangkANan itu ditunda karena masih menunggu satu smanaf yang sedang
diupacarakan di permukaan bumi. Imam sedang mengantarkan onggokan daging busuk
yang tenggelam di laut akibat mencari ikan yang dilindungi.
Oh ...
Pesta lagi.
Kuburan baru lagi.
Nisan baru lagi.
Area TPU akan ada rumah lagi.
Lokasi dipersempit lagi.
Orang hidup masih banyak akan mati
lagi.
Amarasi Raya, 17/01/19
By : Heronimus Bani
Kisah Pesta dari TPU
Kisah belaka. Suatu hari, di satu area
tempat pemakaman umum. Para smanaf yang hidup di area itu berdendang riang
dalam pesta di permukaan bumi yang disebutkan orang hidup sebagai TPU. Para Smanaf
adalah roh-roh yang masih menunggu persetujuan berangkAN alias masuk daftar
tunggu kloter berikutnya. Sambil menunggu nama kloter dipanggil malak, mereka
melakukan apa yang pernah mereka lakukan di permukaan bumi ketika masih sebagai
manusia.
Di pesta hari itu:
ada kegiatan melihat-lihat sofi.
Ada yang duduk minum moke plus berjenis
sopi.
Ada yang menikmati kopi.
Ada yang menyegarkan smanaf dengan soft
drink.
Mereka yang datang kemudian, melakukan
selfi.
Olahragawan atau atlit tidak ada cara
menarik lain, jadi salto saja.
Smanaf dari tentara dan polisi melakukan
salvo.
Sementara smanaf politisi dan birokrat
calon politisi buat slogan.
Sastrawan mencari pinsil untuk menulis
sya’ir,
dan penyanyi rindu tampil kembali
sebagai seleb,
pelaku media sosial mau menjadi
selegram.
Pelacur dan pelakor bertelanjang dada
sambil melakukan vlog.
Sejuta hal dilakukan di sana menurut
kebiasaan hidup.
Semuanya melakukan apa yang boleh
disebutkan sebagai reactivity atau reactivities di seberang sana yang tidak
kelihatan kasat mata manusia, kecuali orang yang disebutkan dalam bahasa lokal mata tboran, mata tembus alam lain.
Ketika pesta sedang berlangsung,
berbondong-bondong orang membawa satu keranda jenazah.
Ada tangis mengiringi,
ada tawa bergirang,
ada emosi tertuang,
ada galau menghadang,
ada duka mengambang,
ada rindu yang tumbang.
Ada kasih yang digantung.
Ada kata dari bibir penguasa kota.
Ada akta iman dari imam.
Hening?
Tidak!
Para smanaf berangkat beramai-ramai
membawa semua perlengkapan menyambut dANangnya smanaf baru. Setelah keranda
jenazah diletakkan di liang lahat, imam memimpin ritual subat. Merdunya
nyanyian dari suara-suara sumbang di bibir jurang kecil mengiringi do’a imam.
Bunga mengharum di sekitar udara TPU. Jurang kecil ditutup dengan beton
bersemen, meninggalkan rongga pemberi ruang pernapasan rupanya.
Ritual selesai. Para smanaf bergirang atas
pertambahan jumlah di sana. Petugas stANistik di kalangan mereka segera mencatat
untuk masuk dalam kloter terakhir berhubung ia baru tiba. Ia melaporkan diri
bernama Ama ‘Naek berasal dari Pah Meto’, suku Atoni’.
Berikut dialog petugas statistik yang
bernama Bil Angan (BA) dengan Ama ‘Naek (AN)
BA
|
:
|
“Siapa nama anda?”
|
AN
|
:
|
“Ama ‘Naek.”
|
BA
|
:
|
“Ama ‘Naek. Anda dari suku apa
ketika masih di permukaan bumi?”
|
AN
|
:
|
“Aku suku Atoni’”
|
BA
|
:
|
“Ya. Suku Atoni’ ada anak sukunya.
Anda anak suku apa?”
|
AN
|
:
|
“Anak suku Amnasi’.”
|
BA
|
:
|
“Yang benar, kau sudah mati badan,
sekarang sisa smanaf mau tunggu kloter berangkat, jangan menipu! Tapi, ya,
tidak apa-apa. Biarlah, itu sudah sifatmu yang kami ketahui juga sebagai
petugas stANistik. Sebagai suku Atoni’ kamu makan apa dan minum apa?”
|
AN
|
:
|
“Makan peen mate’ dan minum oe mate’.”
|
BA
|
:
|
“Kamu sudah di kuburan pun masih
berbicara seperti itu. Kamu makan apa? Dan minum apa ketika masih di
permukaan bumi!”
|
AN
|
:
|
“Peen meto’, makanan kami suku Atoni’.
Olah jadi peen bose. Sering sekali jadi peen tutu’. Ada juga jadi peen temef.
Kamu mau saya buat cerita apa lagi? Minum oe mate’, sesekali buat jadi oef
campur daging fafi. Kalau rasa hebat oef campur siis bijae ada yang bilang
sisi bjae. Kau mau apa? Kadang minum tua mina’ deng tua mafu sampai duduk
tuamauf di tempat. Sering juga minum boen oef. Semua namiin.”
|
BA
|
:
|
“Makanya kamu sampai di sini
sama-sama dengan kami yang sedang tunggu kloter berangkAN. Baik. Selamat
bergabung.”
|
Lonceng terdengar berbunyi. Ternyata
smanaf dari koster yang menabuhnya. Semua smanaf berkumpul. Mereka mengadakan
konferensi smanaf. Pemimpin konferensi disebut dalam bahasa mereka Konofraa’. Matanya
merah menyala seperti bara api. Hawa yang keluar dari mulutnya panas. Suaranya
bagai mengantar panas ketika terdengar di telinga.
“Saudara-saudara. Hari ini kita kedatangan
satu smanaf lagi. Dia orang penting. Mari kita sambut Ama ‘Naek dengan tepuk
tangan yang paling meriah dan tos.”
Mereka bertepuk tangan sambil
melakukan tos. Tos dengan ‘koma’ berisi oe mate’, gelas teh, cangkir kopi, soke
sopi, dan lain-lain. Tidak lupa ada yang mengantarkan tempat sirih-pinang pada Ama
‘Naek.
“Saudara-saudara. Berhubung Ama ‘Naek
orang penting, pasti kuburannya akan dipoles dengan teramat indah, rapih dan
megah. Rumahnya pasti amat besar sehingga akan menghalangi setiap upacara
pemakaman di sini. Lihat saja, bulan lalu seorang petani miskin yang dikuburkan
di sana itu. Namanya Taintoson. Tapi, hari ini nisannya luar biasa. Ketika
hidup, hidupnya tidak karuan. Tapi, hari ini, kuburannya dijagai Yesus. Yesus
yang angkat tangan memberkati yang menjaga kuburannya. Lubang kubur yang
panjangnya dua meter dengan lebar 1,50 meter. Area itu ditambah lagi, sehingga
Taintoson berkuasa atas area seluas tiga meter kali empat meter. Rumahnya bertiang
beton. Padahal di permukaan bumi sana, isteri-anaknya tinggal di rumah yang
dibangun atas bantuan pemerintah pusAN melalui program satu juta rumah.”
“Jadi, saudara-saudara. Kita tunggu
saja. Pasti Ama ‘Naek punya lebih dari Taintoson.”
Ama ‘Naek merasa tersinggung.
Ia berdiri dan berkata, “Saudara-saudara.
Sekalipun aku terkenal di permukaan bumi. Aku seorang pejabat. Tapi biarlah
kuburan dan batu nisanku dibuat seadanya. Aku telah berpesan agar tidak makan
tempat seperti tempatnya Taintoson. Aku bukanlah seperti yang dikatakan oleh saudara
Konofraa’ yang mulia. Aku punya harta untuk kepentingan mereka yang masih
hidup. Aku yang tersisa smanaf ini tidak butuh itu semua. Ini saja. Terima
kasih. Sebaiknya, konferensi ini bubar. Jikia perlu kembali ke kloter
masing-masing.”
Terdengar lonceng panggilan kloter
berbunyi. Ama ‘Naek dipanggil. Ia diperbolehkan masuk ke kloter yang akan
segera berangkat. Ia termasuk dalam golongan pelaku kalam yang benar.
Terjadi perdebatan di antara para
smanaf. Bagaimana mungkin. Dia Ama ‘Naek yang tidak tulus ketika menjadi pejabat.
Perdebatan dihentikan, ketika Ama ‘Naek turun dari kendaraan yang akan membawa
rombongan kloter itu. Ama ‘Naek hendak memberi salam pada semuanya. Ternyata,
keberangkANan itu ditunda karena masih menunggu satu smanaf yang sedang
diupacarakan di permukaan bumi. Imam sedang mengantarkan onggokan daging busuk
yang tenggelam di laut akibat mencari ikan yang dilindungi.
Oh ...
Pesta lagi.
Kuburan baru lagi.
Nisan baru lagi.
Area TPU akan ada rumah lagi.
Lokasi dipersempit lagi.
Orang hidup masih banyak akan mati
lagi.
Amarasi Raya, 17/01/19
By : Heronimus Bani
Komentar
Posting Komentar