Hukum Adat di Kalangan Orang Amarasi Raya (tulisan berseri)
Hukum Adat a-la Atoin’ Meto’ Amarasi Raya
(1)
Heronimus Bani
Pengantar
Hari Minggu, (8/9/19), seorang mahasiswa
sekolah tinggi hokum mendatangi saya untuk berdiskusi setelah semalam
sebelumnya ia mengirim pesan melalui aplikasi WhatsApp. Kami berdiskusi tidak
seberapa lama berhubung kami mengalami kebingungan tentang materi yang ia bawa
sebagai tugas dari dosen yang menugaskan. Menariknya diskusi yang tidak berapa
lama ini jatuh pada permintaan sang dosen untuk mencatat dan mengurai sepuluh hokum
adat yang berlaku di tengah-tengah kehidupan bersama. Saya agak merasa geli
saja, berhubung terminology sepuluh hokum seperti Dasa Titah dalam Taurat/Torah.
Kami berdiskusi. Hasil diskusi yang tidak
seberapa itu saya minta untuk ditulis. Sementara saya sendiri mesti menulis
yang sudah saya sampaikan dengan ulasan yang kiranya menjadi materi belajar
pada diri sendiri dan komunitas pembaca yang mau membaca artikel ini.
Pertanyaan muncul ketika harus menulis
bagian ini adalah:
·
Ada
berapa banyak hukum adat di Amarasi Raya yang diakui dan diberlakukan dalam
kehidupan untuk menjaga ketertiban hidup bersama?
·
Sebagaimana
satu produk hukum tertulis, apakah hukum adat yang bersifat lisan terdapat di
dalamnya hak dan kewajiban dan sanksi-sanksi, serta apa wujud dari pemberian
sanksi?
Menjawab paling kurang dua pertanyaan di
atas, saya akan mencoba menulis secara berseri beberapa hukum adat yang berlaku
di dalam masyarakat adat Amarasi Raya.
Tulisan ini tentu tidak menjawab
keseluruhan permasalahan hukum adat, namun dapat memicu dan menginspirasi
sehingga sekiranya dapat ada yang suka untuk memperkaya.
Hukum Adat Perkawinan (Rais
Matsaos, Rais Mafe’e-Mamone’)
Bila berbicara tentang hukum adat,
ingatan dan imajinasi audiens sangat cepat terarah kepada : 1) Hukum adat
perkawinan, dan 2) Pakaian tradisional yang lebih keren menggunakan istilah
pakaian adat. Dua hal ini selalu amat cepat orang mengingatnya. Sementara orang
Amarasi Raya akan mengingat pada dua hal yang umum disebut noon reko –
noon re’uf (hal baik – hal buruk). Dalam hal baik, orang pun
ingat pada pesta sukacita, dan dalam hal buruk orang ingat pada upacara subat
(penguburan orang mati). Itulah sebabnya, ketika ada perpisahan, selalu ada
pesan, noon reko – noon re’uf te, atmatean nok beno (biarlah
kiranya kita saling berjumpa dalam hal baik dan buruk).
Berikut ini beberapa hal yang sudah saya
tulis dan jelaskan secara ringkas pada tulisan saya di https://uminiibaki.blogspot.com/2017/08/beragam-istilah-mengurus-perkawinan.html. Dalam hal
mengurus perkawinan di Amarasi Raya, seringkali antara kaum Ro’is dan Kotos
terdapat perbedaan istilah, namun secara prinsip sama. Puah-Manus merupakan
istilah umum yang dipakai untuk menghadapkan orang tua dua pihak yang
berhubungan dengan urusan perkawinan sepasang mempelai adat. Dalam hal Puah-Manus
unsur-unsur yang patut dipenuhi secara prioritas adalah, puah kninu’-manu
kninu’, haot-fatis, noni-bijae dan nonoheu’ (sea’ dan saeb).
·
Tahapan menuju Puah Kninu’-Manu Kninu’
Mengurus perkawinan menurut hukum adat
perkawinan pada masyarakat adat Amarasi Raya (Pah Amarasi), tahapannya yang
sekaligus menjadi hukum bagi para pemangku kepentingan dalam urusan itu, dapat
dilihat sebagai berikut.
ü
Atoin’
Mese’
Seorang pemuda
memperkenalkan diri pada orang tua kekasihnya. Pada saat ini, orang tua kekasihnya
bertanya tentang maksud perkenalannya. Ia memastikan bahwa ada seorang gadis yang
dicintainya di tempat dimana ia memperkenalkan diri. Selanjutnya, orang tua gadis
mengirim seseorang membawa kabar kepada orang tua dari sang pemuda. Orang yang
dikirim ini disebut, atoin’ mese’. Tugasnya, mengabarkan bahwa seorang
pemuda telah memperkenalkan diri pada orang tua dari kekasihnya.
Kalimat metaphor yang
sering dipakai adalah, hai asu nheek naan a’bibi mese’ nbi hai rene. Hai
miskau he mkoen om meu, reko te mihiin hi ‘marak ma hetis. Terjemahan
secara harfiah, anjing (pemburu) milik kami telah menangkap seekor kambing di
ladang milik kami. Kami menjemput (kiranya) datanglah ke tempat kami, baiklah
untuk mengenali tanda yang terdapat padanya.
Dalam hal orang
tua pihak pemuda berhalangan sehingga tidak datang secara sengaja dan sadar,
maka hal ini dicatat (diingat) sebagai satu sikap dan tindak yang patut
disanksi.
ü Ta’kini’ Asu-Fafi
Ketika atoin’
mese’ sudah membawa kabar sebagaimana disebutkan di atas, selanjutnya, orang
tua pihak pemuda datang bertemu dengan orang tua pihak gadis.
Ada dua istilah
yang digunakan dalam acara ini, ta’kini’ asu-fafi dan puah
ruum-ruum maun ruum-ruum, atau sering juga disebut puah nesif-maun nesif.
Acara ini dihadiri oleh orang tua kandung dua pihak dan beberapa orang yang
sifatnya intern sebelum menyampaikan hal in kepada pihak lain secara lebih
meluas.
Istilah ta’kini’
asu-fafi, dimaksudkan sebagai cara untuk mendiamkan suara-suara sumbang
bila si pemuda selalu datang bertemu dengan gadisnya. Orang-orang di sekitar
tidak perlu memperguncingkan kunjungan rutin si pemuda, pertemuan dan
pertemanannya dengan si gadis.
Dalam hal puah
ruum-ruum maun ruum-ruum atau puah nesif-maun nesif, orang tua
kandung dari pemuda memberikan tanda-tanda kesungguhan melalui tempat
sirih-pinang. Isi tempat sirih-pinang itu bernilai nominal tertentu yang tidak
ditentukan. Sesudah acara ini, dipercakapkan tahapan lanjutannya mengenai waktu
dan kesiapan menuju acara puncak mengurus perkawinan menurut hukum adat.
ü Puah kninu’-manu
kninu’
Dalam hal ini
istilah yang dipakai untuk sangat bervariasi. Saya memilih puah kninu’-manu
kninu’ (harfiah: pinang-sirih bersih). Maksudnya, pada pertemuan ini
seluruh pemangku kepentingan dihadirkan:
o
Tua-tua
adat (mnais harat)
o
Perangkat
Pemerintah desa (Ketua RT, Ketua RW, Kepala Dusun, Sekretariat Desa, dan Kepala
Desa)
o
Orang
tua kandung dan pihak terkait (Paman, Om, saudara laki-laki, kakak-adik
perempuan)
o
Keluarga
Besar dari dua pihak, terutama pihak Gadis
o
Pemangku
keagamaan (mis. dari pihak Gereja lokal)
Seremoni ini dilakukan
dengan menempatkan tempat sirih-pinang berkali-kali pada pasal-pasal aturan
yang berubah-ubah tidak menentu. Semua yang disebutkan di atas mendapat jatah
tempat sirih-pinang yang isinya bernilai nominal. Setiap tempat sirih-pinang
yang bernilai uang dalam jumlah tertentu itu disertai pernyataan dari mafefa’
(juru bicara) pihak keluarga laki-laki. Pernyataan itu bersifat mapua’
dan etus-tonas (mapua’ ~ memberi sirih-pinang untuk dimakan bersama-sama,
dan etus-tonas, pemberitahuan tentang sesuatu maksud).
Pada jabatan tertentu
seperti Kepala Dusun, Sekretariat Desa dan Kepala Desa, tidak bersifat mapua’
dan etus-tonas, tetapi bersifat penghormatan dan pamitan. Nilai
penghormatan sudah makin besar. Seringkali hal ini menjadi pemicu
ketidakberesan urusan oleh karena para pemangku kepentingan di desa (pemerintah
desa) mengambil hak yang berlebihan daripada orang tua kandung dan pemangku
kepentingan yang sesungguhnya. Atas alasan mereka membantu memperlancar urusan,
maka nilai yang diberikan kepada mereka ditentukan sendiri oleh Pemerintah
Desa, bahkan melalui Peraturan (keputusan kepala desa, peraturan kepala desa atau
Peraturan Desa).
Hal-hal yang diminta
dari pemerintah desa berupa:
o
Punu’-atu’ (biaya administrasi). Sekalipun ada
biaya administrasi tersebut, namun bila mengurus salah satu persyaratan untuk
pendaftaran pencatatan sipil, pasangan calon mempelai masih dibebani biaya
administrasi rutin.
o
Mapua’ Sukif-Toraf Ama’ ‘Nakaf (Staf Kepala
Desa)
o
Eek mepu-ranan (pamit)
o
Mapua’ mnais harat (biasanya mencapai 4 – 6 orang)
o
Hae
ma’kaaf – ‘Niim ma’kaaf (membuat kaki-tangan ringan). Maksudnya agar kepala
desa dan jajarannya membantu seluruh urusan perkawinan ini sampai tuntas.
Orang tua kandung
keluarga mendapat empat bagian:
o
Haot
Fatis (ada pula yang menyebut Suus Oef atau Oe maputu’ – Ai marara’)
o
Atoin
Mone’ dan kakak-adik perempuan (jika ada)
o
Sea’nonoheu’
o
Mapua’
nonot-asar (keluarga)
Seluruh seremoni
ini biasanya diakhiri pula dengan apa yang disebut mapua’ bebas,
nenit-sabat, maro-pono, tekar asik ma skuku’.
o
Mapua’ bebas, dimaksudkan untuk
menyampaikan tempat sirih-pinang pada orang tertentu yang hadir pada saat itu
atas petunjuk dari keluarga pihak gadis.
o
Nenit-sabat dan maro-pono, dimaksudkan untuk
masing-masing keluarga dua pihak
menyediakan sebotol arak/tuak untuk diminum bersama-sama dan saling memberi
tembakau dan daun lontar muda kering yang dipakai sebagai pembungkus tembakau
untuk merokok. Dalam hal nenit-sabat, sudah mengalami pergeseran dimana orang
tidak selalu menempatkan dua botol tuak di depan umum, tetapi diganti dengan do’a
untuk makan bersama sesudah seluruh seremoni itu berakhir.
o
Tekar asik ma skuku’, adalah acara
bersenang-senang.
Seluruh tempat
sirih-pinang yang disodorkan tidak terhitung di dalamnya biaya pesta
perkawinan. Biaya pesta perkawinan dihitung tersendiri, dan diserahkan bukan
pada seremoni pelaksanaan Puah Kninu’-Manu Kninu’.
Dalam hal sanksi,
biasanya terjadi bila salah kata, sikap dan tindakan. Para tua (mnais harat)
yang menilai apakah satu pernyataan yang dibuat kedua pihak yang duduk dalam
mengurus perkawinan itu keliru atau salah. Aneh bin ajaib, setiap kekeliruan
dan kesalahan baik dilakukan oleh pihak keluarga gadis, sanksinya dibebankan
kepada pihak keluarga pemuda. Lebih sakit lagi kalau yang keliru dan salah itu
adalah dari pihak keluarga pemuda.
Sudah sangat
jamak terjadi di kalangan orang Amarasi Raya dalam hal mengurus perkawinan. Tidak
mengherankan, suatu urusan perkawinan akan selalu menjadi hantu bagi pihak
keluarga pemuda. (bersambung)
Koro'oto, 8 September 2019
Komentar
Posting Komentar