Hukum Adat di Kalangan Orang Amarasi Raya (seri-3)

Subat, Upacara sekaligus Hukum Adat (3)


Semua makhluk hidup di permukaan bumi ini, pada akhirnya akan mati. Manusia, salah satu di antara makhluk hidup sebagai yang diciptakan berbeda dengan makhluk hidup lainnya itu, pada akhirnya akan mati. Mati, sebagai kata atau istilah dalam Bahasa Indonesia ada pilihannya. Mati sebagai istilah yang terasa kurang sopan. Meninggal dan wafat, atau mangkat terasa lebih terhormat. Istilah manakah yang tepat? Seringkali itu hanyalah persoalan nilai rasa. 

Orang Amarasi sendiri punya sebutan untuk kematian dengan metafor yang menarik. Berikut ini istilah-istilah yang sudah pernah dibahas dalam pertemuan-pertemuan ilmiah gerejani di Klasis Amarasi Timur.

A.    Filosofi kehidupan dan kematian

1.      In nuut ee namsoup goen
Frase pendek di atas in  nuut  ee  namsoup  goen,  bila diterjemahkan secara harfiah artinya, kayu bakarnya telah habis terbakar. Frase ini adalah satu idiom yang dipakai oleh orang Amarasi untuk memberi makna pada kehidupan dan kematian.
Seseorang itu diasumsikan seperti kayu bakar (kayu kering/kayu api). Kayu kering/kayu api dapat bermanfaat di tungku perapian bila diberi api. Api itu dimulai dari percikan api. Percikan api didapatkan dari batu api yang dipantik. Percikan api yang kecil mulai hidup di pangkal kayu api. Kehangatanpun dimulai dengan adanya nyala api yang semula kecil. Makin lama makin besar. Semakin besar batang kayu pun terbakar dan ukurannya pun berkurang. Sampai akhirnya batang kayu kering/kayu api itu berakhir di ujung pangkalnya yang lain. Lalu tamatlah nyala api menjadi bara. Bara berubah menjadi abu.
Itulah gambaran kehidupan kematian secara filosofis dalam pandangan orang Amarasi Raya.

2.      Amoint ii na’feo’ mates
Setiap makhluk hidup, padanya terselip kematian. Pohon yang tumbuh dari benih: bijian, buah, atau cara lain, pasti akan memberi dampak pada lingkungannya. Misalnya memberi daun (sayur), bunga, dan buah. Hal lain yang dapat dinikmati dari pepohonan misalnya, kerindangan (hau ‘hafo’) tempat berteduh. Semua yang indah dan baik dari pepohonan, pada akhirnya akan berakhir (mati). Makhluk manusia yang merawat tanaman (pohon) seringkali merasa sangat sayang pada tanamannya, sehingga bila ada tanaman/pohon yang mati, akan disesalinya.
Hal yang mirip berlaku bagi manusia. Tidak ada kekekalan pada manusia. Manusia yang hidup di dunia ini diawali dari keberadaannya di dalam rahim ibu. Ia dilahirkan dalam penderitaan. Ia berusaha menjalani kehidupan bersama orang di sekitarnya selama mungkin, dengan memberi manfaat sebanyak mungkin. Sepanjang usaha untuk mengisi kehidupan dengan memberi kemanfaatan itu, ia menyadari bahwa kelak ia akan berakhir (meninggal). Kesadaran ini menyebabkan ia berusaha untuk menunda kematian, bila ia mengalami atau didera penderitaan berupa sakit-penyakit.
Manusia selalu menghindari kematian. Kata-kata yang sering diucapkan oleh para orang tua terhadap anak-anaknya bila melakukan perjalanan adalah: “hati-hati di jalan!” Frase pendek ini mengisyaratkan bahwa kematian dapat saja menjemput melalui kecelakaan. Orang yang memanjat pohon untuk kepentingan kehidupan sering diingatkan agar berhati-hati. Lalu, siapa yang sudah menyangka bahwa akan terjadi kecelakaan yang dapat merenggut nyawa. Siapa yang menyangka kalau seseorang jatuh dari pohon yang dipanjatnya lalu tewas seketika?
Maka, orang Amarasi Raya menyebutkannya dengan istilah, amoint ii na’feo’ mates, yang hidup menyelipkan kematian.

B.     Unsur Yang Terlibat dalam Subat

1.      Tuan duka (nuuk tuaf)
Peristiwa kematian terjadi dalam satu keluarga. seseorang dari dalam keluarga inti (batih) akan diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menjadi penghubung antara pemerintah (da: Kadus, Ketua RT/RW) dan pemangku agama/kepercayaan. Penerima tanggung jawab ini disebut Nuuk tuaf. Tugasnya adalah:
·         Memutuskan kesiapan waktu dan material untuk subat.
·         Menyerahkan segala pengurusan kepada pemerintah (desa adat/da) dan pemangku agama.
·         Bertanggung jawab untuk segala permasalahan yang timbul khususnya hal-hal intern (ketersediaan material dan pembiayaan) kecuali dalam hal mengutus haef, keamanan dan ketertiban menjadi tanggung jawab pemerintah (da).
·         Menerima kembali tanggung jawab selama kedukaan dan menyampaikan kepada keluarga batih dan keluarga luas/besar.

2.      Pemerintah (ana’ prenat)
Pemerintah (da) melalui perangkat terendahnya yaitu Kepala Dusun bekerja sama dengan pemangku lembaga kemasyarakatan (Ketua RT, Ketua RW) serta tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan. Pemerintah (da) yang berkewajiban memobilisasi masyarakat untuk melakukan persiapan dan pelaksanaan upacara subat.
Peranan yang dimainkannya adalah:
·         Mewujudkan adanya lubang tempat pemakaman (nopu mnanun).
·         Mewujudkan adanya peti jenazah (noup paran).
·         Mengirim utusan (haef) kepada keluarga yang jauh.
·         Menyiapkan perlengkapan tenda dan isinya berupa tempat duduk, dan jika mungkin perlengkapan pengeras suara (sound system).
·         Menunjuk tempat dan mobilisasi anggota masyarakat untuk mengolah material konsumsi untuk kepentingan pealyanan konsumsi.
·         Menyampaikan laporan akhir kepada tuan duka (nuuk tuaf) sekaligus menyerahkan kembali tanggung jawab setelah subat terlaksana.

3.      Pemangku Agama/Kepercayaan (amepu krei, ana’ asmanaf)
Dalam hal mengurus subat pemangku agama/kepercayaan diistilahkan sebagai ana’asmanaf (yang memegang roh). Pada masa ini orang seperti itu disebut amepu krei (pekerja gereja). Maksudnya adalah pendeta, penatua, dan diaken. Jika pekerja gereja itu dari kalangan katolik dan denominasi lainnya pun, pada masa ini mereka tetap disebut amepu krei. Peranan yang dimainkan adalah:
·         Bersama-sama tuan duka dan keluarga inti serta para tetangga terdekat melakukan do’a sebelum jenazah ditangisi/diratapi (nana’at).
·         Mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan upacara subat  yang sesuai agama/keyakinan orang yang sudah meninggal atau sesuai agama keluarganya. Hal ini harus dipercakapkan mengingat upacara keagamaan/keya-kinan harus sesuai agama yang dianut orang yang meninggal.
·         Para pemangku agama (khususnya dalam fungsi penatua dan diaken) bersama-sama melakukan tugas penghiburan pada malam-malam kedukaan (be’et, be’at, mete).
·         Para pemangku agama melakukan upacara puncak/utama, dan pengucapan syukur. Khusus untuk pengucapan syukur pemangku agama tidak memaksakan kehendak kepada keluarga.

4.      Utusan (Haef)
Siapa yang mengambil keputusan penetapan haef (utusan membawa kabar duka)? Jawabannya adalah pemerintah (da) yaitu Kepala Dusun (kadus). Dalam hal ini kadus tidak sendirian. Ia memanggil para ketua RT dan ketua RW untuk merundingkan hal ini serta sekaligus menunjuk haef.
Pada masa ini haef yang berangkat dibiayai oleh karena mereka berkendaraan bermotor. Biaya itu dibebankan kepada nuuk tuaf, (walau kadang ada pula yang memilih membiaya sendiri perjalanan itu). Peranan haef sederhana. Ia menerima daftar nama dari Ketua RT atau Ketua RW. Setelah itu pilihan transportasinya dapat berupa berjalan kaki, berkendaraan roda dua, atau harus roda empat. Biaya untuk mereka para haef diperhitungkan berdasarkan jauh-dekatnya.
Berbekal daftar nama anggota keluarga yang menetap di tempat jauh haef berangkat membawa kabar duka. Isi berita duka itu adalah meninggalnya seseorang bernama A; A tersebut adalah anggota keluarga dari ... Ia telah sakit (atau tiba-tiba) sehingga meninggal dunia. Selanjutnya haef memberitahukan bahwa orang yang ditinggal pergi oleh almarhum(mah, asaenenot) adalah bagian dari keluarga X1 misalnya. Ada ciri khusus yang disebutkan untuk memudahkan para penerima kabar/berita kematian itu.
Selanjutnya haef memberitahukan bahwa duka itu akan diakhiri dengan ‘kaki’ fuabona’, (hrfh: siram bunga), tarais tain (hrfh: buat perkara memang; maksudnya pesta duka); tuna’ fuabona’ (hrfh: letakkan bunga); neik nain in fuabona (hrfh: bawa memang bunganya). Semua istilah ini hendak menggambarkan bahwa keluarga berduka menyediakan konsumsi selama masa berkabung.
Bila kelurga berduka tidak menyediakan konsumsi selama masa berkabung, maka kemungkinan kabar itu berbunyi: paku-ai nmaten (hrfh: lampu-api padam; maksudnya tidak tersedia konsumsi selama masa berduka paling kurang 2 – 3 hari). Bila ketersediaan konsumsi hanya untuk pekerja maka, kabarnya adalah, haan pena’ neu a’oet hau-nopu (hrfh: masak jagung untuk orang yang potong kayu dan yang menggali lubang).
Jika ketiga jenis berita itu disampaikan kepada keluarga jauh, maka mereka akan mengetahui apa yang telah disampaikan oleh keluarga berduka kepada pemerintah (da) sehingga keputusan menyediakan konsumsi selama masa berkabung terjadi demikian itu.

5.      Peratap (Akurut-Akaet)
Pemangku agama setelah mendo’akan jenazah yang disemayamkan, akan diikuti oleh tindakan menangis dan meratap dari anggota keluarga. Mereka yang menangisi jenazah paling kurang ada dua sikap yaitu:
·      Menangis (nkae) dalam kesedihan semata.
·     Berkisah dalam tangis (nain). Kisahnya disampaikan dalam bahasa simbol yang butuh terjemahan makna.

6.      Melek Mata (Abe’et/Abe’at)
Kalangan keluarga dan khalayak di dalam kampung dan di luar kampung berkumpul pada malam hari selama masa berkabung. Istilah Amarasi: be’et atau be’at. Terkenal dalam bahasa Melayu Kupang, mete. Dalam be’et/mete merea bisa bernyanyi dan bercerita. Mereka membumbui mete dengan berjudi: bola guling, kartu remi, dan lain-lain. Perjudian pada mete biasanya berhenti setelah upacara subat berakhir, walau sering masih ada yang beralasan mete tiga malam. Mereka berjudi atas isin (Kades, atau Kadus, Ketua RW, Ketua RT) dengan alasan membantu tuan duka menanggung biaya penerangan, sekaligus menghibur khalayak yang ikut dalam mete. Benar atau tidaknya alasan mete yang dihiasi judi, tulisan ini tidak hendak memberi jawaban.


Demikian cuplikan materi yang pernah dibahas dalam pertemuan-pertemuan ilmiah para pemangku pelayanan di Klasis Amarasi Timur.


Koro'oto, 10 September 2019

Heronimus Bani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria