Hukum Adat di Kalangan Orang Amarasi Raya (seri-2)

'Soko-Noo', Hukum Adat Menjaga Keseimbangan Alam
(2)

Heronimus Bani

Pengantar
Kemarin saya mengetengahkan hukum perkawinan yang mungkin masih akan terus berkembang bila didiskusikan. Istilah-istilah yang digukan dalam seremoni perkawinan menurut hukum adat a-la orang Amarasi Raya hampir selalu berubah, termasuk di dalamnya perubahan bila menggunakan pendekatan maso minta, meminang. Ada istilah Ripa'-Oko' yang isinya sama dengan meminang. Sayangnya, seringkali maso minta atau meminang itu masih dibarengi dengan mapua'.

Hari ini saya mengetengahkan satu hukum adat yang juga dikenal orang Amarasi Raya dan Atoin' Meto' pada umumnya dengan istilah berbeda. Orang Amarasi Raya pun masih punya varian istilah untuk menjaga keseimbangan alam. Pengetahuan yang saya ketahui istilah itu disebut 'Soko-Noo'. Tanda-tanda di depan dan belakang masing-masing mewakili satu fonem.

'Soko-Noo' untuk Keseimbangan Alam
Hukum Adat yang satu ini mempunyai beberapa istilah yang kiranya terpisah, namun bila ditelusuri menolong kita untuk segera memahami maksudnya.
  • Oe je matan, Hau Goe Uun, artinya sumber air dan pepohonan. Pasal ini mengingatkan orang akan pentingnya menjaga sumber-sumber air. Di area sekitar sumber air masyarakat pengguna air tidak diperkenankan merusak (menebang pepohonan). Ada hubungan antara sumber air (mata air), dan pepohonan.
  • Eka 'Ho'e. Bagian yang satu ini merupakan satu area yang khusus di perbukitan (mendekati puncak bukit). Di lereng-lereng masyarakat membuka lahan (ladang) untuk menanam padi dan jagung, jenis kacangan, ubi dan labu. Di puncak bukit masyarakat dilarang menebang pepohonan di sana. Tujuannya, untuk menjaga agar air hujan yang turun deras tidak menggerus area ladang, area itu sekaligus sebagai area tangkapan air.
  • 'Soko, satu tanda yang diberikan sebagai larangan pada pihak lain dan khalayak. Wujud larangan itu dengan menempatkan beberapa helai daun gewang di area larangan. Siapapun tidak diperkenankan masuk ke area itu, kecuali yang menaruh tanda. 'Soko dapat berlaku umum untuk melarang masyarakat tidak mengambil hasil mamar sekalipun mamar itu miliknya sendiri sampai dengan saat dimana 'soko diturunkan.
  • 'Sako', terasa mirip dengan 'soko. Tidak. 'Sako', tindakan membersihkan pinggiran ladang yang siap dibakar. Bila membakar area yang hendak dijadikan ladang, sementara tumpukan kayu dan dedaunan (misalnya, gewang) menumpuk di batas (nakat) dengan ladang orang lain, maka harus ada pemisahan yang cukup. Pemisahan itu diatur agar ketika api merambat, api yang datang dari dalam ladang yang dibakar itu tidak merambat keluar memasuki area ladang milik orang lain.
Semua ini masing-masing ada sanksinya. Sanksi diberikan ketika orang melakukan pelanggaran. Zaman bergeser dan nilai pengakuan serta kepatuhan pada aturan yang demikian mulai perlahan pudar.



Koro'oto, 10 September 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria