Uki 'maef ~ bonggol pisang

Uki 'maef ~ Bonggol Pisang

Mula Aksara

Masyarakat adat Pah Amarasi (Amarasi Raya) dan pengguna Uab Meto' mengenal kata pada judul ini. Saya agak enggan menerjemahkannya langsung pada judul ini, namun saya teringat pembaca non pengguna Uab Meto' yang pasti akan bertanya tentang istilah itu. Maka, saya pun menerjemahkannya secara lurus, uki 'maef secara harfiah artinya, bonggol pisang.

Ada ada dengan uki 'maef? Menarik sekali orang Amarasi Raya yang sering menjadi pembicara terdepan sebagai mafefa', juru bicara. Mereka akan menggunakan kalimat yang sederhana namun sarat makna. Dua di antara idiom yang selalu digunakan dalam percakapan hingga perarakan pengantin ke rumah pihak keluarga laki-laki, yaitu; 1) beben uik ana' biasanya dipadankan dengan teuf ana'. 2) seib uik ana'.

Aksara dalam Idiom Bermakna

Saya pernah berbicara dalam satu kesempatan pada sepasang pengantin adat. Pada saat itu urusan pernikahan adat tidak sampai tuntas. Hukum adat perkawinan di dalam masyarakat Amarasi Raya sering "menggantung" urusan perkawinan adat dengan istilah heket antuu' ... ~ urusan ini sampai pada ... .

Jika urusan perkawinan secara adat ini antuu' ... berhenti sementara pada ... , sesungguhnya di sana ada yang menggantung. Mengapa?

Dengan cara yang manis dan indah para mafefa' mempunyai trik menghindari urusan lebih cepat tuntas. Mereka "menunda" dengan menggunakan kalimat bermakna, idiom, hai mina'at amtahan sin meu ... ~ kami menyerahkan mereka untuk sementara waktu pada ... . Kepada mereka yang disebutkan di ujung kalimat itulah sesungguhnya terletak "gantungan" itu. Kata kunci pada upacara yang demikian disebut nana'at antahan sin.

Contoh, bila orang tua dua pihak bersepakan mengurus perkawinan secara adat berhenti sementara di tangan Kepala Dusun,maka Kepala Dusun bersama orang tua dan perangkat lembaga kemasyarakatan di bawah Kepala Dusun, ikut bertanggung jawab dalam membina, membimbing dan mengarahkan (nsia ma nnaib) pasangan perkawinan adat ini agar kelak mereka akan lebih dewasa (nneek amnais)2 menghadapi rumah tangga, dan terlebih dalam waktu sedekat-dekatnya mengurus peresmian perkawinan menurut hukum-hukum perkawinan yang berlaku.

Saat perkawinan adat itu "menggantung" itulah saya menggunakan idiom uki 'maef. 

Bila sepasang suami-isteri telah resmi secara "menggantung" di tangan orang tua, maka mereka bagai uki 'maef yang ditanam di lahan yang bukan milik sendiri. Uki 'maef itu antara tumbuh atau tidak sudi tumbuh karena "malu" pada pemilik lahan. Bila sampai tumbuh bahkan sampai menghasilkan, mereka yang berada di luar sana akan merasa bergembira, tetapi lahan tempat tumbuhnya tunas pisang itu gundah, antara senang dan kecewa.

Maka, uiki 'maef ini mestinya segera dipindahkan ke lahan yang sesungguhnya, yaitu lahan darimana datangnya si laki-laki, suami dari perempuan yang dinikahi secara adat "menggantung" itu. Bila itu terjadi, maka langkah dan proses berlanjut dari "menggantung" menuju peresmian yang akhirnya akan menjadikan suami-isteri itu sah dan dapat berpindah tempat ke keluarga pihak laki-laki. Pada saat itulah uki 'maef ini dipindahkan bahkan dengan membawa hasilnya pula.

Apa artinya uki 'maef di sini? Pasangan suami-isteri itu bagai bonggol pisang yang ditanam sementara waktu. Mereka akan dipindahkan ke tempat sesungguhnya yaitu di rumah pihak keluarga laki-laki.

Maka, pada saat pemindahan itu, para mafefa' akan menyampaikan paling kurang apa yang disebutkan sebagai beben uik ana' - teuf ana', atau seib uik ana'.

  1. Beben uik ana' - teuf ana' artinya menanam anakan pisang atau anakan tebu. Di sini, yang dimaksudkan seperti yang saya beri contoh di atas, bahwa bonggol pisang telah bertunas. Maka tunas-tunas pohon pisang itu sekarang dipindahkan di lahan yang sesungguhnya. Lahan itu milik keluarga pihak suami. Pendektan beben uik ana' - teuf ana' ini biasanya berlaku pada masyarakat adat Amarasi Raya pengguna Uab Meto' Amarasi bergaya Kotos.
  2. Seib uik ana'. Pengguna Uab Meto' Amarasi bergaya Ro'is, menggunakan istilah seib uik ana'. Di sini, pasangan suami-isteri yang telah sah, ketika mempunyai anak mereka "diwajibkan" membagi anak-anak ke dalam paling kurang dua nama marga: marga suami, dan marga isteri. Bila ada permintaan untuk marga dari nenek, kadang-kadang nama marga suami yang dikorbankan.
Akhir Aksara
Tulisan ini tentu tidak lengkap informasinya. Sangat mungkin tulisan ini tidak memuaskan pembaca khususnya mengenai dua idiom terakhir. 

Ada keindahan dan kegundahan mengurus perkawinan menurut hukum adat pada masyarakat adat Amarasi Raya. Kedua hal ini berjalan beriringan sampai titik akhir pengurusan ini ketika pasangan suami-isteri telah tiba di dalam rumah pihak keluarga laki-laki. Ketika mereka mulai mengawali kehidupan baru, di sana mafefa' berhenti berpikir untuk menggunakan idiom dalam berbicara.

ha ha ...






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Koroh natiik Maria

Beragam Istilah mengurus Perkawinan Adat di Amarasi Raya