Fajar Harapan tak Menyapu Mendung Senja
Fajar Harapan tak Menyapu Mendung Senja
Ketika kaum unggas menyambut datangnya fajar baru pada hari ini, mendung masih rindu membungkus mayapada. Ia tidak rela melepas pelukannya bagai kekasih yang tak rela ditinggal. Ia terus memeluk sepanjang hari ini, bahkan ketika senja menjelang.
Mentari bersinar sebentar saja. Kaum bergegas mengantarkan jemuran yang telah mengantar aroma apek beberapa hari ini. Rasanya para kaum hendak menahan laju bergesernya sang penguasa hari siang dalam sendu mayanya. Tapi berjubel tapak tangan sejagad pun tak mampu menahannya walau sedetik saja. Ia terus bergerak seturut sistem yang sudah baku patronannya pada semesta alam ini.
Angin berhembus perlahan-lahan saja. Ia terus memberikan nuansa kesejukan walau sebentar saja beriringan dengan mentari yang memberikan secercah harapan pada hari ini. Angin terus menyapa permukaan bumi bersama isinya. Semuanya tetap dalam sistem yang tidak banyak berubah kecuali pada makhluk hidup yang disebut sebagai berakhlak mulia dan berakal sehat.
Dalam akhlak yang mulia itu manusia menyadari akan bahaya yang dapat mengancam dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu manusia harus selalu waspada. Dalam kewaspadaan itu manusia tetap harus bekerja keras dengan mengandalkan akal sehat dan tenaganya. Pada sisi ini perhitungan untung-rugi bagai neraca yang diharapkan ada kesetimbangan antara menjaga kelestarian alam dan manfaatnya yang menguntungkan bagi manusia.
Fajar pagi telah berlalu untuk seeharian ini. Mendung dan hujan terus memeluk bumi dimana kaum dan berjenis makhluk hidup berada. Tiada yang dapat menggantikan fajar pagi itu kecuali dirinya sendiri yang akan timbul pada saat yang tepat dalam patokan sang Khaliknya. Lalu, tiada pula yang akan menata mendung dan hujan agar berhenti sejenak berhubung kesibukan kaum dalam komunitas-komunitas. Ilmuwan pun hanya memprediksi dengan sebutan prakiraan cuaca agar mengingatkan kaum dan komunitas berada dalam kewaspadaan.
Sesosok lelaki dewasa tersenyum pada isterinya dalam beberapa hari ini. Sang isteri tak memelas apalagi merajuk. Ia terus menemani sang suami yang sedang sekarat pada hari-hari menjelang ajal. Saat ia terbaring lemah, sang isteri makin tabah dan bertahan dalam emosi yang menggejolak . Sang sosok lelaki yang sakit itu telah menunjukkan tanda-tanda menjelang ajalnya dalam beberapa waktu terakhir ini. Ia tidak mengeluh, karena ia menyadari akan kondisinya yang sudah makin tidak kuat. Ia telah didera sakit atas kecelakaan yang pernah hampir merenggut nyawanya.
Ketika fajar pagi tiba, mentari hendak menyapa, sementara sosok lelaki paruh baya ini menghembuskan nafas ditunggui isteri tercintanya itu. Ia tidak lagi berkesempatan menyaksikan datangnya mentari pagi yang bagai merayap perlahan naik, dan naik. Ia merelakan raganya dibungkus mendung pagi hingga senja ini. Mendung yang mirip terlihat pada rona dan air muka istrinya, anak serta sesama saudara dan komunitas di dalam kampung ini.
Lonceng gereja ditabuh pagi ini sebanyak 12 kali pertanda seseorang dewasa telah meninggal dunia. Mendung pagi menjadi saksi kesaktian maut menjemput. Rerumputan bergoyang entah karena bingung atau menyetujui penjemputan itu. Kerelaan harus diwujudkan oleh mereka yang duduk mengelilingi pembaringan. Keikhlasan harus ditunjukkan oleh mereka yang mencintai sosok lelaki itu. Ia pergi ia untuk selamanya.
Mendung di wajah komunitas yang sedang berdukacita saat ini bagai telah dibekukan oleh mendung dan hujan yang terus-menerus mengguyur bumi.
Fajar harapan yang muncul di pagi hari nampak pada anak-anak yang duduk mengelilingi pembaringan dimana jenazah dibaringkan. Fajar itu tak mampu menyapu mendungnya emosi yang mengantar pada cucuran air mata.
#catatansenja
Koro'oto, 25 Februari 2021
Mentari bersinar sebentar saja. Kaum bergegas mengantarkan jemuran yang telah mengantar aroma apek beberapa hari ini. Rasanya para kaum hendak menahan laju bergesernya sang penguasa hari siang dalam sendu mayanya. Tapi berjubel tapak tangan sejagad pun tak mampu menahannya walau sedetik saja. Ia terus bergerak seturut sistem yang sudah baku patronannya pada semesta alam ini.
Angin berhembus perlahan-lahan saja. Ia terus memberikan nuansa kesejukan walau sebentar saja beriringan dengan mentari yang memberikan secercah harapan pada hari ini. Angin terus menyapa permukaan bumi bersama isinya. Semuanya tetap dalam sistem yang tidak banyak berubah kecuali pada makhluk hidup yang disebut sebagai berakhlak mulia dan berakal sehat.
Dalam akhlak yang mulia itu manusia menyadari akan bahaya yang dapat mengancam dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu manusia harus selalu waspada. Dalam kewaspadaan itu manusia tetap harus bekerja keras dengan mengandalkan akal sehat dan tenaganya. Pada sisi ini perhitungan untung-rugi bagai neraca yang diharapkan ada kesetimbangan antara menjaga kelestarian alam dan manfaatnya yang menguntungkan bagi manusia.
Fajar pagi telah berlalu untuk seeharian ini. Mendung dan hujan terus memeluk bumi dimana kaum dan berjenis makhluk hidup berada. Tiada yang dapat menggantikan fajar pagi itu kecuali dirinya sendiri yang akan timbul pada saat yang tepat dalam patokan sang Khaliknya. Lalu, tiada pula yang akan menata mendung dan hujan agar berhenti sejenak berhubung kesibukan kaum dalam komunitas-komunitas. Ilmuwan pun hanya memprediksi dengan sebutan prakiraan cuaca agar mengingatkan kaum dan komunitas berada dalam kewaspadaan.
Sesosok lelaki dewasa tersenyum pada isterinya dalam beberapa hari ini. Sang isteri tak memelas apalagi merajuk. Ia terus menemani sang suami yang sedang sekarat pada hari-hari menjelang ajal. Saat ia terbaring lemah, sang isteri makin tabah dan bertahan dalam emosi yang menggejolak . Sang sosok lelaki yang sakit itu telah menunjukkan tanda-tanda menjelang ajalnya dalam beberapa waktu terakhir ini. Ia tidak mengeluh, karena ia menyadari akan kondisinya yang sudah makin tidak kuat. Ia telah didera sakit atas kecelakaan yang pernah hampir merenggut nyawanya.
Ketika fajar pagi tiba, mentari hendak menyapa, sementara sosok lelaki paruh baya ini menghembuskan nafas ditunggui isteri tercintanya itu. Ia tidak lagi berkesempatan menyaksikan datangnya mentari pagi yang bagai merayap perlahan naik, dan naik. Ia merelakan raganya dibungkus mendung pagi hingga senja ini. Mendung yang mirip terlihat pada rona dan air muka istrinya, anak serta sesama saudara dan komunitas di dalam kampung ini.
Lonceng gereja ditabuh pagi ini sebanyak 12 kali pertanda seseorang dewasa telah meninggal dunia. Mendung pagi menjadi saksi kesaktian maut menjemput. Rerumputan bergoyang entah karena bingung atau menyetujui penjemputan itu. Kerelaan harus diwujudkan oleh mereka yang duduk mengelilingi pembaringan. Keikhlasan harus ditunjukkan oleh mereka yang mencintai sosok lelaki itu. Ia pergi ia untuk selamanya.
Mendung di wajah komunitas yang sedang berdukacita saat ini bagai telah dibekukan oleh mendung dan hujan yang terus-menerus mengguyur bumi.
Fajar harapan yang muncul di pagi hari nampak pada anak-anak yang duduk mengelilingi pembaringan dimana jenazah dibaringkan. Fajar itu tak mampu menyapu mendungnya emosi yang mengantar pada cucuran air mata.
#catatansenja
Koro'oto, 25 Februari 2021
Turut berdukacita yang mendalam bapak..🙏🙏
BalasHapusSatu catatan untuk sebuah Konsisten dalam nmenulis masih sulit bagi saya. Pak Roni luar biasa. Bisa jadi cerpen.
BalasHapusTerima kasih pak Rossi dan ibu Nuraini. Dua sahabat sudah mampir di sini.
BalasHapusIkut berduka cita
BalasHapusWow, luar biasa. Super!
BalasHapusPenyampaian berita duka melalui ungkapan yang luar biasa.