Tangisan tanpa Pelukan

 Tangisan tanpa Pelukan



Hari ini, Jumat (26/02/21), di kampung kami sebagaimana hari kemarin, Kamis (25/02/21) mendung masih terus membayangi hari siang. Surya  dan cahayanya tak mendapatkan peluang untuk menampakkan diri, walau sesekali terlihat ia bagai mencuri peluang di celah mega yang berarak membawa berton-ton bongkahan tetes air yang sewaktu-waktu akan dicurahkan ke bumi.

Becek tak terhiraukan. Rintik hingga hujan seadanya sampai menderas, siapa peduli. Semua orang yang hadir dalam dua peristiwa duka terus mengikuti dua upacara subat dalam rangka menguburkan dua jenazah orang-orang terkasih di dalam kampung ini. Mendung terus menggelayut. Ia bagai melekat rekat di pelukan cinta sepasang kekasih yang hendak berpisah. Air mata terus membasahi pipi para peratap. Kerongkongan para peratat bagai tersumbat. Suara normal menjadi abnormal pada pendengaran pelayat.

Satu peti berisi jenazah seorang ayah yang meninggalkan 4 orang anak telah diusung pergi ke arah Timur. Di sana para pengusung akan menguburkan jenazahnya bersama-sama dengan Gembala Jemaat yang hadir melaksanakan tugas keimamatannya. Sang Gembala Jemaat sendiri sedang merasakan pening di kepalanya yang diselingi pilek dan batuk tetapi, ia harus tetap memimpin upacara subat tersebut dengan mengantar peti berisi jenazah itu sampai ke tempat yang disediakan.

Sementara itu, persiapan untuk upacara yang sama sedang dilangsungkan di rumah duka kedua. Di sana keluarga duka menunggu dalam harapan datangnya seorang anak dari tempat jauh. Ia dikabarkan dalam penerbangan dari Waingapu ke Kupang. Ia akan tiba beberapa saat sebelum upacara dilangsungkan. Ternyata, ia tiba ketika upacara sedang berlangsung, bahkan tepat ketika Sang Gembala Jemaat sedang menyampaikan refleksi pencerahan di tengah mendung.

Sang Gembala Jemaat berhenti sejenak. Para pelayat menitikkan air mata dalam hening sementara gadis berumur 17-an ini histeris. Seorang saudaranya memapah dirinya menuju dapur. Ia terus menangis dan meratapi jenazah ayahnya. Ia belum diperkenankan tiba di tempat upacara subat agar tidak mengganggu jalannya upacara itu. 

Sang Gembala Jemaat melanjutkan tugasnya menyampaikan refleksi pencerahan. Firman Tuhan disampaikan dengan cara yang khas Sang Gembala Jemaat. Di antara kalimat yang diucapkan, ia berkata, "... tangisan tanpa pelukan... ." Kalimat ini kemudian menggoda untuk dijadikan satu artikel pada senja ini sebagai catatan senja.

Ya, ketika seorang anak menangis, dapat saja seorang ayah atau ibu memeluk dan menghiburkan. Orang tua mana yang membiarkan anaknya yang jatuh sakit dan menangis? Hanya orang tua pecundang saja yang melakukan pembiaran. Orang tua yang peduli pada anak, ia akan memeluk dan menghiburnya.

Pelukan dan penghiburan orang tua pada anak memberi dampak pada hubungan emosi yang makin kuat. Maka, sangat tepat bila seorang ayah meninggal dunia, saat itu anak-anak menangisi jenazahnya. Saat itu, tangisan anak tanpa pelukan ayah. Jika yang meninggal dunia ibunya, maka tangan anak tanpa pelukan ibu.

Dapatkah Anda merasakannya?


Koro'oto, 26 Februari 2021

Komentar

  1. Ijin share tulisannya pak. Soalnya rasanya dapat sekali 😇🙏🏻

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria