Tateut Bu'it ma So'it

Tateut Bu'it ma So'it

gambar unggahan di ranah publik

Awal Aksara

Secara iseng saya buka-buka catatan-catatan saya yang sudah lama terlampaui. Saya temukan satu catatan pada tanggal 16 Oktober 2008. Saya ingat, ketika itu saya dan sejumlah orang berada dalam satu percakapan pra pernikahan sepasang kekasih. Pada saat itulah istilah ini kami dengarkan dan saya mencatatnya di dalam catatan harian.

Istilah itu bila diterjemahkan secara lurus (harfiah) artinya, menegakkan kembali sanggul dan sisir. Ungkapan yang digunakan itu sangat metafor sehingga dibutuhkan telaah pada seseorang yang mewakili pihak keluarga untuk segera dapat menangkap maksudnya. Seseorang itu dalam Uab Meto' disebut mafefa' yang oleh kalangan umum di Nusa Tenggara Timur disebut, jubir ~ juru bicara.

Peran jubir saya pernah lakoni dalam beberapa kali membantu mengurus pernikahan baik di sekitaran Kota Kupang hingga ke beberapa tempat di kampung dan sekitarnya.

Makna dan Praktiknya
Sebelum saya uraikan makna dari judul di atas, saya coba mencatat kesejajaran istilah yang maknanya sama di kalangan masyarakat pemuka masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah desa-desa pedalaman Nusa Tenggara Timur. Saya mendaftarkan paling kurang ada tiga idiom yang sering dipakai:

  • tutup malu 
  • tutup kembali pintu rumah 
  • tunaskan kembali tanaman yang patah, hancur 
Dari ketiga istilah dan satu istilah pada judul tulisan ini, sesungguhnya satu saja maknanya, yang secara lurus artinya, tutup malu. Istilah tutup malu sudah sangat familiar di dalam masyarakat adat Nusa Tenggara Timur. Istilah ini sangat kental di pendengaran ketika mengurus suatu pernikahan dimana sebelumnya sepasang kekasih itu telah melakukan hubungan badan layaknya suami-isteri.

Saya hendak mencontohkan. Pada satu kesempatan menghadiri percakapan pra pernikahan sepasang kekasih, jubir pihak keluarga perempuan menggunakan metafora dalam ceritan. Begini ceritanya,
Kami mempunyai sebidang tanah. Di sana kami tanami dengan berjenis tanaman, di antaranya ubi. Datanglah seekor kambing ke kebun itu. Ia merusak tanaman-tanaman di sana dengan cara memakan dan mencabuti. Beruntunglah, kami punya seekor anjing yang lincah. Ia berhasil menangkap kambing itu. Itulah sebabnya, pada saat ini kita bertemu agar saudara-saudara dapat menyampaikan kepada kami, bahwa, kambing yang ada di tangan kami ini adalah milik saudara-saudara.

Setelah sang jubir bercerita demikian, jubir dari pihak keluarga laki-laki pun menjawab,
Kami menyadari akan hal itu. Maka, kami pastikan bahwa kambing ini milik kami. Kami telah lalai sehingga ia terlepas berkeliaran hingga masuk ke kebun milik orang lain. Syukurlah, anjingnya tidak menerkam secara kasar, tetapi menggiringnya sampai di sini. Kami siap untuk membuat pemilik kebun kembali berseri wajah, tersenyum indah, dan menikmati hasil pada waktunya.

Dialog ini terasa seperti canda belaka, padahal, muatannya sangat sarat makna. Ada beban psikologis yang teramat berat pada pihak keluarga laki-laki (bakal calon pengantin pria). Mereka harus menyiapkan diri untuk menerima "sanksi" atas keteledoran anak lelaki mereka.

"Sanksi" itu akan nampak dalam pembuktian ketika sejumlah hal dimintakan oleh pihak keluarga perempuan.

Dalam contoh kasus yang saya alami pada 16 Oktober 2008, saya catat di sana untuk melakukan apa yang disebut tateut bu'it - so'it, maka pihak keluarga laki-laki harus membawa:
  • Beti' dan po'uk (selimut laki-laki dewasa dan selendangnya)
  • Tais dan po'uk (sarung perempuan dewasa dan selendangnya)
  • Kreni mnatu' (cincin mas) 3 gram
  • 'Noso' (kemeja)
  • Uang sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah)
Setelah semua ini disampaikan oleh pihak keluarga perempuan melalui jubirnya, ada penegasan tambahan, jangan tawar.

Saya yang hadir sekaligus menjadi jubir pihak keluarga laki-laki, mendiamkan saja. Posisi teramat lemah pada pihak kami oleh karena "kambing" telah merusak "tanaman" di dalam kebun/ladang, sehingga usaha untuk menjadikan pemilik kebun/ladang dapat tersenyum itulah yang sedang disampaikan.

Semua yang dimintakan itu demi menegakkan kembali sanggul (yang terlepas) dan sisir (yang terlepas). 

Pada kasus-kasus yang sama dengan pendekatan "denda" tutup malu yang sama, nilai dan wujud barang yang dimintakan tidak sama seperti yang saya alami pada Oktober 2008 itu.

Contoh kasus yang sama. Januari 2020, kami mengurus pernikahan anak yang kami adopsi. Ia telah melakukan apa yang sama seperti contoh-contoh di atas. Kami harus melakukan upaya tutup malu sebelum upacara pernikahan berlangsung. Istilah yang digunakan adalah, tateut tafani' amahonit in human ~ terjemahan harfiah ~ menegakkan kembali wajah orang tua (yang terlanjur malu).

Saya dengan ditemani oleh jubir yang kami beri mandat untuk mewakili kami. Sebentuk tempat sirih-pinang kami bawa. Di dalamnya kami tempatkan satu amplop berisi uang sebanyak dua ratus lima puluh ribu rupiah. Sebelumnya sang jubir menyampaikan maksud hati dengan menempatkan tempat-sirih pinang yang berisi satu lembar uang lima ribuan. Setelah uang lima ribu rupiah itu diterima, selanjutnya amplop berisi uang itu kami tempatkan di sana dengan diikuti penyampaian tentang menegakkan kembali wajah orang tua yang sudah malu akibat perbuatan kedua kekasih yang akan segera menikah secara resmi.

Banyak pasangan suami-isteri yang mengurus pernikahan dengan didahului ritual tutup malu. Pada etnis dan sub etnis tertentu di NTT, bahkan tutup malu itu diperhitungkan sejak janin di dalam kandungan, dilahirkan, digendong oleh saudara-saudara, sampai saat mengurus pernikahan berlangsung. Semua itu diperhitungkan sebagai "denda adat" akibat tidak mengurus anak mereka.

Walau demikian, para pasangan suami-isteri muda tidak boleh kuatir tentang pernikahan, apalagi bila telah terlebih dahulu menjalani kehidupan sebagai pasangan suami-isteri (kumpul kebo). Hikmat dan kebijaksanaan pada orang tua dan para jubir akan menemukan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan persoalan itu, sehingga tahapan dalam prosesi pernikahan akan berlangsung secara aman dan nyaman.

Penutup
Uraian ini tidak hendak menghantui para pasangan muda yang sedang asyik-masyuk berbisik untuk menjadi pasangan suami-isteri kelak. Lanjutkan keasyikan itu dengan mengontrol diri. Kontrol diri sajalah yang akan menghindarkan mereka dari sanksi denda adat yang istilahnya beragam-ragam dan bervariasi menurut bahasa daerah dalam etnis-etnis di NTT.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peniti, Bawang Putih, Genoak, antara Mitos, Pengetahuan dan Kepercayaan

Lopo dan Maknanya

Koroh natiik Maria